Pulau itu menjulang di Laut Lambri. Jaraknya satu hari satu malam jika berlayar ke arah barat dari Pulau Sumatra. Di sekitarnya ombak menggelora. Mega berarak.
Pada setiap musim semi beberapa ekor naga suka datang ke sana, bermain-main. Kalau sudah begitu, air liurnya banyak tertinggal di pulau. Karenanya orang menyebutnya sebagai Pulau Liur Naga.
Fei Xin, seorang personel militer yang ikut berlayar bersama Cheng Ho dalam buku Catatan Umum Perjalanan di Lautan (Xingcha Shenglan) menjelaskan ketika masih segar, air liur naga bentuknya seperti lemak. Warnanya hitam dan kuning. Baunya amis. Tapi nanti, bentuknya akan berubah menjadi gumpalan padat.
Penduduk asli di sekitar Pulau Liur Naga suka berperahu ke sana untuk mengumpulkan dan membawa pulang gumpalan liur naga itu. Bila menghadapi ombak yang dahsyat, sering terbalik perahunya. Orang pun terjatuh ke dalam laut. Mereka terpaksa berenang ke darat dengan satu tangan memegang pinggiran perahu yang terbalik dan satu tangan lain mengayun dalam air.
Mereka rela bersusah-payah memungutnya karena rupanya liur itu begitu berharga di pasaran. Kalau dijual di pasar Sumatra, satu tahil liur naga bisa dihargai 12 uang emas setempat. Sementara satu kati liur naga akan dibayar dengan uang emas 192 biji, sama dengan 490.000 (ada yang menulis 9.000) uang kepengan Tiongkok.
“Artinya tidak murah,” ujar Fei Xin.
Pulau Liur Naga merupakan terjemahan dari bahasa Mandarin, Long Xian Yu dalam karya Fei Xin dari tahun 1436. Ceritanya mirip dengan kisah dari catatan yang lebih tua karya Chao Ju-kua, petugas urusan perdagangan luar negeri di Fukien. Kisahnya dibuat pada abad ke-13.
Baca juga: Liur yang Lezat
Chao Ju-kua menulis kalau di Laut Barat Ta-shi ada naga dalam jumlah besar. Ketika seekor naga berbaring di atas batu, ludahnya mengapung di atas air, kelamaan berubah menjadi keras.
“Para nelayan mengumpulkannya sebagai zat yang paling berharga,” catanya.
Rupanya catatan Chao Ju-kua mengutip buku yang lebih kuno milik Chou Ch’u-fei berjudul Ling-wai-tai-ta (
Kendati sejak lama disebut berasal dari naga, Fei Xin dalam catatannya menjelaskan, zat berharga itu bisa juga ditemukan dari dalam perut ikan besar. “Ukuran ikannya sebesar peck Tiongkok dan berbau amis. Jika dibakar baunya murni dan enak,” catatnya.
W. P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tiongkok menerjemahkannya sebagai ambergris yang kini umumnya dikenal sebagai muntahan ikan paus.
Asal usul ambergris kala itu sepertinya masih membingungkan orang Tiongkok. Tempat, yang katanya, banyak ditemukan ambergris kenyataannya juga masih begitu asing bagi para pelayarnya. Menurut Groeneveldt, pantai barat Sumatra tak pernah dijelaskan dalam literatur geografi negara itu.
“Sepertinya tak ada perdagangan atau kontak dengan wilayah itu. Ketika wilayah ini (barat Sumatra, red.) dijelaskan, seringkali disamakan dengan Persia, atau mayoritas dengan Arabia,” tulisnya.
Namun, Groeneveldt berpendapat, pulau di mana banyak ditemukan air liur naga itu pastilah Pulau We, pulau vulkanik kecil di barat laut Pulau Sumatra. Kalau bukan, berarti pulau lain yang lebih kecil, yang ada di sekitar wilayah itu.
Baca juga: Haus Berburu Paus
Sementara, Yuanzhi Kong, peneliti dari Fakultas Bahasa Timur Universitas Peking (Kota Beijing) mengindentifikasi, pulau yang dimaksud adalah Pulau Breueh (Pulau Bras), pulau kecil di sebelah barat Pulau We.
Wilayah itu kemungkinan memang cukup banyak menghasilkan ambergris. Berdasarkan catatan resmi Dinasti Ming, Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming), pada 1433, negeri bernama Sumatra membawa upeti berupa darah naga. Sumatra yang dimaksud nampaknya merujuk pada nama ibukota atau permukiman utama di pesisir. Bukannya nama yang digunakan untuk menyebut seluruh pulau seperti sekarang. Letaknya di sebelah barat Melaka.
Setelah beberapa kali berganti penguasa, Sumatra masih mengirim upeti, tetapi lebih beragam. Ambergris masih menjadi salah satunya.
Sejarawan Arizona State University, Karl H. Dannenfeldt dalam “Ambergris: The Search for Its Origin’ terbit di The University of Chicago Press Journals, menjelaskan ambergris pertama kali diperkenalkan ke dalam obat-obatan, masakan, dan parfum oleh orang-orang Arab. Mereka menyebutnya dengan istilah anbar. Kisah asal usul versi mereka juga tak kalah mitologis.
Karya paling berpengaruh yang menyebut ambergris kebanyakan dihasilkan oleh dokter. Misalnya, Ibn Sina (Avienna) pada sekira 1037 mengira kalau ambergris berasal dari air mancur di laut.
Lalu tabib abad ke-11 Yuhanna ibn Sarabi (Serapion the Younger), menyatakan bahwa ambergris adalah jamur yang dihasilkan di laut, sama seperti jamur yang terbentuk di darat. Jamur itu lalu terdampar di pantai oleh badai.
Pun Ibnu Rusyd (Averroes), seorang filsuf dan pemikir dari Andalusia pada sekira 1198. Dia melaporkan bahwa ambergris adalah spesies kapur barus yang muncul dari air mancur di laut.
Baca juga: Adakah Putri Duyung?
Berbagai spekulasi itu akhirnya diadaptasi ke dalam kisah fiksi. Dalam salah satu kisah Seribu Satu Malam yang terkenal, Sinbad Sang Pelaut diceritakan bagaimana Sinbad terdampar di sebuah pulau. Dia menemukan mata air ambergris mentah yang mengalir seperti lilin atau permen karet ke laut. Aliran ini yang kemudian tertelan oleh monster-monster dari laut dalam.
Ambergris kemudian membakar perut paus. Lalu mereka memuntahkannya. Muntahan itu kemudian membeku di permukaan laut. Ombak melemparkannya ke darat, di mana ia dikumpulkan dan dijual.
“Ambergris yang tidak mengalir ke laut membeku di tepi sungai dan menghiasi seluruh lembah dengan aroma seperti kesturi,” lanjut kisah itu.
Kini diketahui kalau air liur monster laut itu sesungguhnya adalah hasil sekresi saluran pencernaan paus sperma. Meski tak lagi dihubungkan dengan makhluk mitologis, nilainya tetap tak berubah. Harganya tetap melambung. Di situs penjualan Alibaba misalnya, kini ambergris harganya mencapai 23.000 dolar AS atau 326,5 juta rupiah per kilonya.