Setiap orang terdidik diharapkan dapat menulis puisi. Keahlian berpuisi merupakan bagian dari pendidikan umum yang harus diikuti oleh setiap pegawai istana pada masa lalu.
Pakar kesusastraan Jawa Kuno, P.J. Zoetmulder menerangkan, pejabat istana yang ideal, apalagi seorang raja, pangeran, atau bangsawan bukan hanya harus dapat menikmati keindahan puisi dan membawakannya. Mereka juga harus dapat menulis puisi sendiri dan mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran secara spontan.
Kedudukan penyair dan puisinya dalam kebudayaan Jawa Kuno, khususnya dalam kehidupan keraton, begitu terpandang. Hal itu pun digambarkan dalam berbagai kisah fiksi pada masa itu.
“Tak mungkin membayangkan tokoh-tokoh utama dalam kisah-kisah fiksi epik yang justru dimaksudkan untuk menampilkan tokoh idaman, tidak sungguh terdidik dalam bidang puisi,” tulis Zoetmulder dalam Kalangwan.
Misalnya, dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular dari masa keemasan Majapahit, disebutkan seorang pangeran muda suka bergaul dengan para kawi agar dapat menjadikan mereka teladan dalam membuat syair (pralapita).
Baca juga: Majapahit dalam kisah Panji
Ada pula tokoh Panji. Dalam penggambaran sastra kidung, dia begitu digilai perempuan. Bukan hanya karena daya tariknya yang tak tertahankan, melainkan juga karena Panji pandai menulis puisi dan menabuh gamelan.
Lalu dalam suatu bagian panjang dari Kakawin Sumanasantaka menyajikan kisah sayembara Putri Indumati. Kisah yang sama, juga dijumpai dalam Raghuvamsa karangan Kalidasa. “Sampai di sini syair Jawa dan India berjalan paralel, tetapi yang tak disebut dalam versi India, ialah reaksi khas dari para pelamar yang ditolak,” jelas Zoetmulder.
Raja Angga, misalnya, mencoba mencari pelipur lara dalam sebuah palambang yang terdiri atas dua bait yang ditulis pada pegangan takhtanya. Di sampingnya, Raja Awanti menyatakan cintanya kepada sang putri dengan menuangkannya ke dalam papan tulis dan kepandaiannya dalam menggerakan alat tulis berupa tanah yang lancip.
“Dia dapat mengungkapkan cintanya dalam syair-syair yang demikian sempurna, sehingga sesuai dengan sebuah lambang,” kata Zoetmulder.
Namun, ketika Raja Awanti juga ditolak, dia menyatakan rasa putus asanya dalam sebuah syair bhasa yang mengharukan. Itu ditulisnya pada sarung kerisnya.
Raja lainnya, Pratipa pun kemudian mencatat tiga bait dari sebuah kakawin di atas sebuah pudak. Itu untuk sekadar menyalurkan rasa malunya ketika sang putri lewat tanpa tergerak sedikit pun.
“Dengan mengubah cerita dari India itu sedemikian rupa, terbuktilah dengan terang, betapa kepandaian seorang pangeran sebagai seorang penyair dihargai dalam kehidupan keraton di Jawa pada zaman dulu,” jelas Zoetmulder.
Baca juga: Prapanca, pujangga Majapahit yang diasingkan
Tak hanya dalam karya fiksi, Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama mengisahkan Hayam Wuruk yang melakukan perjalanan ke Lumajang sempat mencatat keindahan yang dilihatnya dalam bentuk syair bhasa dan kidung.
Kemudian dalam epilognya di Bharatayuddha, Mpu Panuluh mengisahkan sedikit Raja Jayabhaya. Syair-syair sang raja begitu indah dan manis tanpa cacat. Dia seorang penyair yang tak ada tandingannya. Pantas dipilih sebagai guru dan sebuah sumber bagi inspirasi puitis.
Adapun Mpu Monaguna, yang menggubah Sumanasantaka, juga menceritakan hal serupa pada akhir syairnya. Sri Baginda Warsajaya, pernah menjadi gurunya dalam seni puisi dan membimbingnya dengan penuh kesabaran seperti layaknya seorang raja.
Baca juga: Nama sebenarnya penulis Nagarakrtagama
Ada juga Jayakatwang, pangeran Kadiri yang menyerang Singhasari. Menurut Pararaton, dia pernah menggubah sebuah kidung menjelang ajalnya dalam tawanan. Judulnya, Wukir Polaman.
Apakah hasil karya mereka juga pantas ditempatkan dalam sastra Jawa Kuno? Menurut Zoetmulder ini masalah lain. Pasalnya, di antara syair-syair Jawa Kuno yang sampai pada masa kini tak ada satu pun yang menyebutkan seorang raja atau pangeran sebagai penciptanya.
“Berlainan dengan sastra Jawa di kemudian hari, yaitu periode Surakarta (akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 M, red.), yang dapat menunjukkan raja-raja di antara para penyairnya, seperti Pakubuwono III dan IV,” jelas Zoetmulder.
Baca juga: Keraguan terhadap Pararaton
Bukan cuma bagi para pangeran dan raja. Kemampuan dan pengalaman dalam aneka cabang kesenian juga sangat dihargai untuk dimiliki para dayang yang melayani seorang putri raja. Dalam Sumanasantaka diketahui mereka diberikan penghargaan sesuai dengan kemajuannya. Bila mereka sampai pada tingkat seorang kawi dan mahir dalam setiap bentuk kegiatan artistik, mereka dihadiahi sebuah cincin.
Kendati begitu, penggambaran seorang kawi atau penyair tak selalu positif. Itu terkait cap ketidaksetiaan yang melekat dalam diri seorang penyair.
Mpu Tanakung dalam Wrttasancaya mengisahkan seorang penyair dan kekasihnya yang terpisah sementara karena sang penyair berkelana di tengah hutan untuk mencari ilham. Namun di sisi lain penyair itu disindir, bahwa keindahan seorang perempuan yang menyebabkan dia tak setia dan memikatnya sehingga dia jauh dari istrinya yang sah.