HARI Puisi Sedunia diperingati setiap 21 Maret. Perayaan ini pertama kali digelar pada 1999 oleh UNESCO untuk mempromosikan puisi sebagai cara berkomunikasi lintas batas dan perbedaan kebudayaan.
Indonesia memiliki penyair-penyair hebat. Misalnya, Chairil Anwar, Si Binatang Jalang yang dipandang sebagai salah satu penyair pelopor Angkatan ‘45. Sajak-sajaknya yang revolusioner dan menggugah semangat perjuangan membuatnya berurusan dengan penguasa Jepang.
Selain Chairil Anwar, ada juga penyair wanita, Maria Amin, yang produktif menulis sajak dan prosa pada 1940-an. Maria lahir di Bengkulu tahun 1921. Tamatan sekolah menengah atas ini memiliki perhatian terhadap pergolakan politik. Ia menuliskan pandangannya dalam bentuk puisi dan prosa.
Adik Maria, Johany Amin dalam memoarnya, Untuk Anak dan Cucuku, mengenang saat masih belia, sekitar umur dua belas tahun, mengikuti kakaknya menghadiri rapat organisasi politik untuk mencari jalan kemerdekaan Indonesia. “Sering kali kalau ia berpidato, ada sekarang ini namanya intel mengikuti, dan bila isi pidatonya mengenai kemerdekaan, ia diketok mejanya supaya berhenti berbicara,” kata Johany.
Baca juga: Ketika Chairil Anwar Digelandang Serdadu Jepang
Ketertarikan Maria terhadap sastra membuatnya aktif memproduksi sajak dan prosa. Ia menjadi salah satu penyair wanita yang menjadi ikon dalam sejarah sastra zaman Jepang. Menurut sastrawan Ajip Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia, karya-karya Maria Amin beberapa kali muncul dalam majalah Poedjangga Baroe. “Maria Amin oleh kekecewaan melihat kehidupan sosial politik lalu lari ke dalam dunia simbolis,” tulis Ajip.
Sastrawan H.B. Jassin menyebut jalan simbolik yang dilakukan Maria Amin merupakan salah satu cara untuk melepaskan diri dari sensor Jepang. Jepang menerapkan sensor ketat bagi para seniman, baik pengarang, penyair maupun pegiat seni lainnya, yang hendak mempublikasikan karyanya yang bermuatan semangat perjuangan atau nasionalisme.
“Simbolik yang halus dan indah terdapat pada beberapa karangan Maria Amin, yang beberapa di antaranya bisa lolos dari sensor Jepang dan dimuat dalam Panji Pustaka. Sindiran-sindiran diselipkannya dengan halus dalam perbandingan simbolik yang kadang-kadang jauh dari penjelmaan hidup dalam masyarakat yang disindirnya,” tulis Jassin.
Salah satunya dalam prosa “Tengoklah Dunia Sana”, Maria Amin menggambarkan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia sebagai ikan dalam akuarium. “Di dalam akwarium ia melihat penghidupan pelbagai ragam ikan, dalamnya ia melihat persamaan dengan masyarakat manusia, yang kecil dan lemah jadi mangsa yang besar dan ganas,” kata Jassin.
Baca juga: Ketika Chairil Anwar Berdebat dengan Serdadu Belanda
Korrie Layun Rampan dalam Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia menyebut sajak Maria Amin berjudul “Aku Menyingkir” menggambarkan keakuan sebagai cerminan ketakutan massal. “Manusia serba kosong rohani-jasmani akibat perang yang berkepanjangan,” tulis Korrie.
Sebaliknya, dalam sajak “Kapal Udara”, Maria menggambarkan semangat kejayaan masa depan walau masih dipertanyakan. Melalui sajak tersebut, ia mencoba menggugah semangat bangsa Indonesia untuk mampu berdiri di kaki sendiri, salah satunya mampu memiliki kapal udara.
Tak semua karya Maria lolos sensor Jepang. Prosa “Tengoklah Dunia Sana”, “Dengar Keluhan Pohon Mangga”, dan “Penuh Rahasia”, tidak hanya tak lolos sensor, bahkan membuat Maria masuk daftar hitam yang dicurigai Jepang.
Johany menceritakan, Maria pernah bekerja sama dengan Usmar Ismail di Lembaga Kebudayaan membuat sajak-sajak, yang salah satunya menceritakan sebatang pohon jarak. Kala itu Lembaga Kebudayaan berada di bawah Sendenbu (Departemen Propaganda) yang dipimpin oleh Hitoshi Shimizu. Usmar Ismail dan beberapa orang menjadi anggotanya.
“Maria Amin sendiri pernah protes soal seni, katanya: ‘Menciptakan seni itu dibuat kedok sebagai alat promosi perang dan sebagainya. Atau sebagai alat propaganda, susah kalau kita menghendaki arti seni atau budaya, sesuai dengan arti sebenarnya’,” kata Johany.
Baca juga: Delapan Perempuan Gebetan Chairil Anwar
Hal itu membuat Maria mengundurkan diri dari Lembaga Kebudayaan. Ia merasa tidak sejalan dengan pengertian seni yang digunakan sebagai alat propaganda Jepang. Shimizu bertanya alasan Maria keluar, dijawab oleh Maria karena hendak berumah tangga. Tak puas dengan jawaban Maria, Shimizu berkata bahwa meski penyair wanita memutuskan untuk menikah, ia masih dapat menulis buku, terlebih Maria baru saja mengarang sajak berjudul “Awan”.
“Digambarkannya awan berambut panjang seperti wanita cantik, kemudian digambarkannya seperti macan atau jadi macan. Dengan sajak ini, Shimizu memanggil Maria Amin dan bertanya mengapa menulis begitu? Dijawab Maria Amin: ‘Saya melihat begitu di langit (di belakang sebenarnya diartikan politik)’,” kata Johany.
Keputusan Maria keluar dari Lembaga Kebudayaan membuat Shimizu curiga. Pada sore hari, Shimizu dengan memakai kain sarung dan kopiah, mengintai rumah Maria. Malam harinya, kata Johany, Shimizu terlihat mondar mandir, sehingga tetangga rumahnya curiga dan mengira Shimizu kekasih Maria. Di lain hari, ada orang Jepang yang menawari Maria untuk memimpin suatu majalah atau surat kabar. Tawaran tersebut ditolak Maria.
Setelah keluar dari Lembaga Kebudayaan, Maria tetap aktif dalam pergerakan dengan masuk Lembaga Putri. Tak hanya aktif di dunia sastra, Maria juga ambil bagian dalam revolusi kemerdekaan. Seperti Johany yang berjuang di garis depan, Maria juga bersama para wanita mendirikan Wanita Pembantu Perjuangan (WAP). Pascarevolusi, Maria kembali menggeluti dunia sastra.
Baca juga: Berpulangnya Sang Penyair Kiri
Ramadhan K.H. dalam Ramadhan K.H. Tiga Perempat Abad menyebut pada paruh kedua dasawarsa 1950-an, ia bersama Maria Amin, Utuy Tatang Sontani, S. Anantaguna. M. Balfas, Trisno Sumardjo, dan Agam Wispi diundang berkunjung ke Cina oleh sebuah lembaga yang menghimpun para pengarang negara tersebut.
Catatan hasil lawatan tersebut, atas permintaan redaksi majalah Konfrontasi, dimuat dalam majalah kebudayaan pimpinan Soedjatmoko dengan tajuk “Serakan Bintang Sekitar Yang Tse”, yang menggambarkan perihal pandangan para pengarang negeri itu mengenai kesusastraan dan perannya di tengah kehidupan masyarakat.
Maria Amin tutup usia pada 16 November 1988. Karya-karyanya dapat ditemukan dalam antologi Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948) susunan H.B. Jassin dan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979) susunan Toety Heraty.*