Masuk Daftar
My Getplus

Mencari Penghuni Awal Natuna

Budaya prasejarah ditemukan di Natuna. Namun, penanggalan pasti penghuni awal masih dicari.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 02 Feb 2020
Masjid besar di Pulau Natuna. (Anak Rantau/Shutterstock).

Syahdan, Sultan Johor Alaudin Riayat Syah mempunyai seorang putri bernama Tengku Fatimah. Tapi sultan malu karena sang putri lumpuh. Tengku Fatimah pun diasingkan ke Pulau Serindit. Di sana, ia bertemu dengan Demang Megat, pemuda asal Phatani yang terdampar. Mereka lalu menikah. Keduanya membentuk pemerintahan baru di Pulau Serindit.

Demang Megat digelari Orang Kaya Serindit Dina Mahkota. Perkampungan pertama yang mereka dirikan disebut Mahligai. Rumah-rumah dibangun dari Kayu Bungur. Dari nama kayu inilah kemudian Pulau Serindit berganti nama menjadi Pulau Bunguran, salah satu pulau di Natuna. 

Begitulah cerita rakyat yang dikenal di Natuna. Kisah itu disampaikan oleh Sonny C. Wibisono, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara Diskusi Sambil Ngopi Kita bertema "Ada Apa dengan Natuna" di gedung Puslit Arkenas, Jakarta, Kamis (30/1). 

Advertising
Advertising

"Mereka tahunya Johor. Tapi apakah baru masa Johor saja (Natuna, red.) dihuni?" tanya Sonny memancing diskusi. 

"Ceritanya selalu tentang Demang Megat. Masyarakat tahunya begitu. Jadi ada gap antara fiksi dan fakta. Yang mana sejarahnya?" tanyanya lagi. 

Riwayat Natuna tak cukup dipelajari hanya lewat legenda dan dongeng. Apalagi untuk mengungkap identitasnya.

Baca juga: Kepulauan Natuna Pada Masa Kuno

Dalam sejarahnya, Natuna memang pernah menjadi bagian dari daulat wilayah besar Johor-Riau. Kelangsungan pemerintahannya di bawah Orang Kayo, di tengah budaya Islam yang berkembang. Namun, riwayat masyarakat Natuna mungkin bisa ditarik lebih jauh ke belakang.

Di Pulau Bunguran, pulau terbesar di Natuna, memiliki banyak situs arkeologi. Khususnya di sepanjang pantai. Ada satu situs bernama Batu Sindu, bukit di Semenanjung Senubing, pantai timur Bunguran. Di sinilah jejak hunian awal di Natuna ditemukan. Bukti-bukti artefak didapatkan di antaranya beliung batu dan pecahan tembikar berslip merah polos. Tembikar jenis ini mencirikan peralatan penutur bahasa Austronesia.

Ada pula yang berhias tatap bercap atau berukir. Corak ini dikenal sebagai corak Batu Melayu. Biasanya ditemukan di situs-situs Asia Tenggara Daratan dan di Borneo, seperti di Gua Sireh. Pertanggalannya dari sekira 5.000 tahun lalu. 

Ditemukan juga pecahan tembikar berhias geometris pola tumpal dan garis. Tembikar seperti ini populer di kawasan Sahuyn, Vietnam, dan Kalanay, Filipina.

"Ini tempat-tempat yang berhadapan dengan Natuna," kata Sonny. "Jadi ada satu kelompok besar yang tinggal di peradaban Laut Cina Selatan."

Temuan-temuan itu mengindikasikan adanya interaksi Natuna dengan kawasan perairan Laut Cina Selatan. "Belum ada data pertanggalan yang mendukung, jadi belum tahu kapan interaksi terjadi," kata Sonny.

Beralih dari Batu Sindu, masih di pulau yang sama, di Desa Setapang, sebelah utara Kota Ranai ditemukan sisa permukiman dan keranda kayu. Keranda kayu ini berupa perahu lesung. Diduga ia dijadikan peti kubur. Keranda semacam ini juga ditemukan di Batu Bayan, selatan Kota Ranai.

Bentuk kerandanya mirip dengan temuan di Sulawesi Selatan dari Bulukumba sampai Pulau Selayar. Keranda kubur juga ditemukan di Vietnam dan diidentifikasi sebagai bagian dari budaya Dong Son. 

"Tak jauh dari peti kubur (di Setapang, red.), pada kedalaman yang sejajar ditemukan mangkuk. Tampaknya bagian dari bekal kubur dari peti kubur. Rangka atau tulangnya tak lagi bersisa," jelas Sonny.

Arkeolog Puslit Arkenas, Naniek Harkantiningsih dalam Arkeologi Perbatasan Natuna: Perlintasan Budaya dan Niaga menulis, warga pernah mendapatkan keramik utuh di sekitar lokasi ini. Keramik itu bergaya Dinasti Yuan dari abad ke-13 sampai ke-14. 

Keramik memang menjadi komoditas impor di kawasan Natuna. Berdasarkan catatan Naniek yang dipublikasikan dalam “Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh”, termuat dalam Di Balik Peradaban Keramik Natuna, sebagian besar adalah keramik yang berasal dari Tiongkok abad ke-9 sampai ke-20, mencakup era Dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing.

Keramik yang bukan dari Tiongkok baru ada mulai abad ke-14. Temuan keramik Vietnam, misalnya, berasal dari abad ke-14 hingga ke-15. Ditemukan juga keramik Thailand dari sekira abad ke-15 sampai ke-16, keramik Belanda dari abad ke-19-20, keramik Jepang dari abad ke-19-20, keramik Inggris dari abad ke-20, dan keramik Singkawang dari abad ke-20.

"Temuan ini membuktikan bahwa Pulau Natuna merupakan salah satu pusat dan perlintasan niaga, dari sekira abad ke- 9 sampai ke-20," tulis Naniek.

Baca juga: Jejak Cina di Natuna

Sementara itu, menurut Sonny, temuan di Natuna memiliki kesamaan dengan di Situs Kota Cina di Sumatra Utara, Muarojambi di Jambi, dan Palembang. Ini memperlihatkan adanya jaringan pelayaran.

Dari banyaknya temuan, terlihat kejayaan perniagaan yang melibatkan Pulau Natuna dimulai dari abad ke-9 sampai ke-10. Pada masa itu Sriwijaya tengah berkembang. Perniagaan terus meningkat pada abad ke-11 sampai ke-13. 

Selanjutnya ada Situs Sepempang. Ditemukan kubur yang bagian kepalanya di arah barat laut, dan bagian kaki di tenggara. Namun tak ditemukan bekal kubur.

Rangka manusia ditemukan pula di Situs Tanjung. Di tangan kirinya ditemukan gelang perunggu. Sama seperti sebelumnya, posisi kepala berada di arah barat daya, kakinya di timur laut. “Kalau begini sudah pasti bukan muslim. Kuburan Islam arahnya utara,” kata Sonny. 

Rangka manusia lain yang ditemukan di situs itu memiliki barang-barang berupa senjata besi, seperti pisau dan keris. Dari sini terlihat, jenis bekal kubur di situs-situs kuno Natuna berbeda-beda.

"Apakah masing-masing mewakili suatu etnis tertentu? Jadi, Natuna tidak hanya satu jenis etnis. Ada banyak etnis di Natuna? Karena Natuna bisa dilewati banyak pelayaran," kata Sonny.

Hingga kini, para peneliti masih mencari penanggalan pasti kapan penghuni paling awal di Natuna. "Kami sempat mengajak Bu Hera (Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, red.) untuk mengetes DNA-nya tapi belum dapat hasilnya," kata Sonny.

Sayangnya, banyak situs yang sudah tak utuh. Kebanyakan karena ulah pemacok atau pemburu benda kuno yang mencari dengan cara menusuk-nusuk tanah menggunakan tongkat besi. Akibatnya kini para arkeolog kesulitan mengamati bukti cara hidup manusia pada masa lalu.

"Kita keduluan 20 tahun. Sudah banyak yang hilang," kata Sonny. 

Baca juga: Natuna di Mata Penjelajah Eropa

Sementara hubungan Natuna dengan Johor bukan cuma sebatas legenda. Sumber sejarah dan arsip tentang Kesultanan Johor memperjelas hubungan keduanya. Kebesarannya berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. 

Naniek menjelaskan, Kesultanan Johor-Riau menerima sumpah setia dari masyarakat di kawasan yang membentang dari bagian selatan jazirah Melayu, Kepulauan Riau termasuk Singapura masa kini, Kepulauan Anambas, Tambelan, dan Kepulauan Natuna, kawasan sekitar Sungai Sambas di Kalimantan barat-daya dan Siak di Sumatra tengah-timur. 

"Kesultanan Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah para penguasa Kampar, bendahara Pahang, dan Trengganu adalah kawulanya," jelas Naniek.

Jejak pemerintahan Melayu di Natuna terlihat di pesisir Selatan seperti Segeram, Sedanau, dan Pulau Tiga. Ada peninggalan kuburan Islam yang orientasinya ke utara. Nisan-nisannya dari batu karang laut.

"Temuan-temuan di Natuna mengagetkan kita. Natuna itu kecil, tak pernah menjadi Sriwijaya, tak pernah jadi kerajaan besar,” ujar Sonny. "Temuan-temuan ini menunjukkan ada organisasi besar untuk mengatur perdagangan kala itu."

TAG

natuna

ARTIKEL TERKAIT

Cara Lama Berlayar Ke Natuna Menjaga Natuna Kepulauan Natuna Pada Masa Kuno Alarm Perang Dunia Ketiga ​​​​​​​Jejak Cina di Natuna Natuna di Mata Penjelajah Eropa Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Menapak Tilas Ken Angrok Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional