Dari 154 pulau di Natuna, hanya 27 pulau yang dihuni. Sudah lama Kepulauan Natuna seakan sendirian di laut lepas. Letaknya pun lebih dekat dengan wilayah Malaysia.
“Mereka cerita, sebelum 1995 kalau mencari kebutuhan pokok mereka harus keluar pulau, mereka pakai kapal kayu pinisi atau kapal besi perintis, ditempuh selama tiga hari,” kata Sonny C. Wibisono, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara Diskusi Sambil Ngopi Kita bertema “Ada Apa dengan Natuna” di gedung Puslit Arkenas, Jakarta, belum lama ini.
Padahal, Natuna bukannya terpencil. Ia berada di tengah perlintasan perekonomian internasional sejak dulu. Karenanya, sampai sekarang Laut Cina Selatan terutama Laut Natuna menjadi sasaran klaim dari beberapa negara yang berbatasan dengan wilayah itu.
Baca juga: Mencari Penghuni Awal Natuna
“Natuna justru bagian depan. Bukan pulau terluar. Ia yang terdepan dibanding Jakarta. Karena orientasi kita orientasi Jakarta. Justru ini jadi beranda depan,” ujar Sonny.
Hingga kini masih terjadi klaim terhadap Natuna yang dilontarkan negara-negara di Laut Cina Selatan. Kendati pada 2002 negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, termasuk Indonesia, telah melakukan perundingan dengan Tiongkok dan telah menandatangani deklarasi pemanfaatan Laut Cina Selatan secara damai.
Natuna Dikuasai Johor
Kedudukan politik Kepulauan Natuna memang punya cerita panjang. Sejarawan yang juga guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Djoko Marihandono menemukan arsip penyerahan hampir 300 pulau dari Sultan Johor ke Sultan Riau Lingga. Salah satunya Natuna. Dari sejarahnya kedua kesultanan itu masih berkerabat. Status Kerajaan Riau Lingga merupakan wilayah Raja Muda atau perdana menteri dari Kerajaan Johor.
Dalam sebuah catatan utusan Belanda di Riau, William Valentyn, pada 1687 disebutkan beberapa wilayah di bawah naungan Johor. Antara lain Trenganu, Pahang, Sedili, Dungun, Rembau, Muar, Bengkalis, Siak, Pulau Pinang, Tioman, Pulau Auer, Pulau Temaja, Siantan, Bunguran, Pulau Laut, Sarasan, Subi, Tambelan, Sundala, dan Lingga.
“Berdasarkan sumber tertulis itu, pada 1687, Bunguran (sekarang termasuk Kepulauan Natuna, red.) sudah masuk dalam salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Johor,” kata Djoko.
Baca juga: Kepulauan Natuna Pada Masa Kuno
Namun kemudian ada perjanjian antara Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Residen Riau pada 1 Desember 1857. Di dalamnya disebutkan soal daerah yang masuk ke dalam daerah Kerajaan Melayu Lingga Riau. Di antaranya Pulau Natuna sebelah utara diperintah Orang Kaya Pulau Laut, pulau-pulau Natuna selatan di bawah Orang Kaya Subi, Pulau Serasan di bawah Orang Kaya Serasan, Pulau Tambelan di bawah Petinggi Tambelan.
Perjanjian diperkuat lagi antara Sultan Abdurrahman Muazam Syah dan Residen Riau Willem Albert De Kanter pada 18 Mei 1905. Intinya, pulau-pulau Natuna termasuk ke daerah taklukkan Kerajaan Melayu Lingga Riau.
“Suatu hal yang biasa bila raja menghadiahkan sebuah pulau dari pulau-pulau yang dimilikinya yang jumlahnya lebih dari 300 pulau itu kepada kerabatnya,” jelas Djoko.
Kendati begitu, menurut Djoko, penyerahan hampir sebanyak 300 pulau dari Raja Johor kepada Raja Riau Lingga merupakan bagian dari diplomasi pemerintah Kolonial Belanda dalam melakukan negosiasi dengan Inggris. Ini yang akhirnya dituangkan dalam Traktat Sumatra yang ditandatangai pada 1871.
Baca juga: Jejak Cina di Natuna
Traktat itu menyerahkan wilayah Inggris yang berada di Bengkulu kepada Belanda. Penyerahan itu tak cukup imbang jika dibandingkan dengan penyerahan Malaka yang berada di bawah kekuasaan Belanda kepada Inggris.
“Patut diduga dan perlu diteliti lebih lanjut bahwa penyerahan 300 pulau kepada pemerintah Belanda merupakan bagian dari persiapan dilaksanakan Traktat Sumatra,” jelasnya.
Saat dikuasai Belanda, Kesultanan Riau Lingga tak begitu saja menerima keberadaannya. Strateginya, kesultanan tak melarang penduduk melakukan perompakan. Padahal pemerintah kolonial sudah membentuk pengawas agar perompak tak masuk ke pulau-pulau itu.
“Ini terkait kepercayaan mereka, Belanda dianggap kafir, karenanya ditentang. Upaya penumpasan perompakan di Riau tak pernah beres. Sultan sendiri yang melindunginya,” kata Djoko. “Ini juga salah satu perjuangan bumiputra melawan kolonialis.”
Merawat Pulau Natuna
Kenyataannya, arsip-arsip bersejarah mengenainya sudah banyak yang hilang. Kepulauan Natuna menjadi kian rawan dimiliki negara lain.
“Arsip Pulau Tujuh sudah tak ada lagi, harus cari di Belanda. Natuna bagian dari Pulau Tujuh kalau zaman Kolonial Belanda,” jelas Djoko.“Kelemahan kita tidak ada tradisi tulis. Kita kehilangan arah.”
Karenanya, menurut Djoko, perlu untuk merawat pulau-pulau, terutama yang terletak di perbatasan. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya. Pulau-pulau ini akhirnya jatuh ke tangan Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional. Malaysia dianggap mampu mengembangkan pulau dengan baik. Sementara sebelumnya Pulau Sipadan hanyalah pulau kosong yang tak dimanfaatkan Indonesia.
Baca juga: Natuna di Mata Penjelajah Eropa
“Pulau-pulau ini (Kepulauan Natuna, red.) kalau tak dikelola berpotensi hilang. [Lepasnya] Ligitan karena Malaysia sudah kelola pulau itu. Jadi kata kuncinya jangan membiarkan pulau-pulau itu terlantar,” ujar Djoko.
Sementara menurut Sonny, salah satu upaya memanfaatkan Kepulauan Natuna adalah lewat pendekatan kebudayaan. Penelitian arkeologi salah satunya. Ia bersama Puslit Arkenas telah memulai penelitian arkeologi pada 2010. Penelitian itu mengungkap penghunian awal di Natuna dan perannya sebagai persimpangan perdagangan internasional sejak dulu.
“Sekarang di Natuna sedang ada pembangunan museum. Kami sengaja mempertontonkan penemuan ini di kabupaten. Menggunakan data arkeologi untuk meng-counter nine dash line,” jelas Sonny. Nine dash line (sembilan garis putus-putus) adalah wilayah-wilayah yang diklaim Tiongkok di Laut Cina Selatan.