Masuk Daftar
My Getplus

Lelaki Idaman Perempuan Jawa Kuno

Tampan, pandai berpuisi, dan gagah perkasa adalah ciri-ciri lelaki yang disukai perempuan Jawa pada zaman kuno.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 19 Agt 2019
Rama menghajar raksasa Kabanda dengan panahnya dalam relief cerita Ramayana di Candi Prambanan.

Pangeran Aja resah ketika Putri Indumati mendekat. Kalut hatinya saat melihat sang putri. Namun, dia harus segera mengumumkan cintanya. Begitu banyak pesaing yang berebut perhatian adik Raja Bhoja dalam swayembara itu.

“Engkau kabut dingin untuk dambaku yang membara, Guntur gemuruh untuk hasratku, kilat petir yang menerangi kegelapan hatiku,” rayunya.

Pangeran Aja adalah dambaan perempuan dalam semesta Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Dia tampan mempesona. Berdarah mulia pula. Belum lagi dia pandai bersyair dan mencipta puisi.

Advertising
Advertising

Sayangnya, Pangeran Aja belum menjadi raja. Inilah yang membuatnya gentar. Pesaingnya dalam swayambara adalah raja-raja besar dari negara-negara kenamaan. Namun, dia terus berusaha membujuk sang putri dengan syairnya.

“Tak ada lainnya yang lebih mempesona daripada kau menatap dengan mata menerawang jauh, tenggelam dalam pikiran sambil memegang pudak di pangkuan…Belum pernah dan takkan pernah ada yang sepertimu,” ujarnya.

Baca juga: Katakan Cinta dengan Kelopak Bunga

Sang putri tertenung ketika melihat betapa manis sang pangeran. Dia tak kuasa. Selain karena Pangeran Aja adalah penjelmaan kekasihnya pada kehidupannya yang lalu, dia juga lelaki yang menggetarkan hatinya di antara raja-raja yang datang ke swayembara. Ketampanan lelaki itu sudah tak asing bagi khalayak swayembara.

Selain tampan, Mpu Monaguna juga mendeskripsikan Pangeran Aja sebagai pangeran muda yang perkasa dalam kitab puisi. Dia putra Raghu, penyair yang berani dan unik. Kebajikannya tak terhingga. Seluk beluk kitab suci mewujud dalam dirinya.

Pakar kesusastraan Jawa Kuno, P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan menerangkan, pejabat istana yang ideal, apalagi seorang raja, pangeran, atau bangsawan bukan hanya harus dapat menikmati keindahan puisi dan membawakannya. Mereka juga harus dapat menulis puisi sendiri dan mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran secara spontan.

Kedudukan penyair dan puisinya dalam kebudayaan Jawa Kuno, khususnya dalam kehidupan keraton, begitu terpandang. “Tak mungkin membayangkan tokoh-tokoh utama dalam kisah-kisah fiksi epik yang justru dimaksudkan untuk menampilkan tokoh idaman, tidak sungguh terdidik dalam bidang puisi,” tulis Zoetmulder.

Baca juga: Pejabat Harus dapat Membuat Puisi

Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menerangkan swayembara memberi kesempatan perempuan untuk memilih calon suaminya. Dalam kesempatan itu biasanya laki-laki akan saling menunjukkan kebolehannya di depan si perempuan.

Swayambara diserap dari bahasa Sanskerta, yang berarti: pilihan sendiri, atau pemilihan suami oleh seorang putri dalam suatu pertemuan umum para peminang,” jelasnya.

Dalam dunia penceritaan Kakawin Sumanasantaka, swayembara yang diadakan raja Bhoja bagi adiknya adalah yang pertama yang pernah dilakukan. Indumati sempat kebingungan dan merasa canggung karena harus memilih sendiri calon suaminya.  

Perhelatan memperebutkan hati perempuan ini bisa dijumpai pula dalam kisah Ramayana. Kendati ditulis dua abad sebelum kisah ini, Indumati dan Pangeran Aja merupakan nenek dan kakek yang kemudian menurunkan Rama, tokoh utama Ramayana.

Di sana, pangeran, raja dan bangsawan bukannya harus lomba bersyair untuk memenangkan Sita. Ceritanya, kakak-adik, Rama dan Laksmana atas saran Wiswamitra, pergi menuju Mithila, tempat raja Janaka mengadakan swayembara untuk putrinya, Sita. Siapapun yang bisa melenturkan busur muncul pada hari Sita dilahirkan akan dipilih menjadi suaminya.

Raja-raja yang menjadi peserta swayembara tak ada yang mampu. Sementara ketika Rama mencoba melenturkannya, busur itu patah.

Keperkasaan juga menjadi materi yang ditonjolkan para ksatria ketika mereka ingin menarik perhatian perempuan. Itu yang kemudian menjadi bahan pertimbangan Indumati dalam swayembara versi Kakawin Sumanasantaka. Masing-masing raja diumumkan sebagai raja yang andal di medan perang.

Misalnya, Raja Magadha. “Dalam kepahlawanan dan kebajikan siapa yang lebih unggul daripada dia sebagai raja?” ujar Sunanda, dayang yang mengumumkan keunggulan sang raja kepada putri Indumati.

Baca juga: Romansa dalam Relief Candi

Keterampilan berperang diuji pula dalam swayembara versi kitab Mahabarata. Ini seperti yang diikuti Bhisma, yang berlomba mewakili adik tirinya, Wichitrawirya. Tesnya berupa perang tanding antara putra-putra bangsawan. Pemenangnya dianggap pantas mendapatkan ketiga putri Raja Darmahumbara, yaitu Amba, Ambika, dan Ambalika.

Dikisahkan nyali para peserta ciut ketika melihat kehadiran sang Resi. “Bhisma dikenal sakti dan pandai gunakan segala macam senjata. Selain itu, kesetiaan dan keteguhan hatinya membuat semua orang segan kepadanya,” jelas Dwi.

Kebolehan bangsawan dalam bermain senjata juga menjadi tantangan ketika mereka berebut perhatian Drupadi, putri Kerajaan Pancala. Siapa yang berhasil memanah tepat sasaran, dia berhak mengawini Drupadi.

“Karna berhasil memanah tepat sasaran, namun ditolak Drupadi karena dia tak mau menikah dengan putra seorang kusir,” jelas Dwi. Akhirnya, Arjuna-lah yang dipilih sang putri. Panahnya tepat sasaran, sekaligus dia merupakan keturunan langsung para raja.

TAG

Cinta

ARTIKEL TERKAIT

D.I. Pandjaitan Cari Jodoh di Tengah Perang Cinta Mati Bupati Madiun Kala Sang Raja Ditolak Cintanya Kegagalan Cinta dalam Kisah Zaman Kuno Mengenal Sosok Dewi Cinta Mesopotamia Kisah Romansa Masa Lalu Memuja Dewi Cinta Mesopotamia Puisi Cinta Soe Hok Gie Kisah Asmara Dua Perwarta Elegi Cinta Pierre Tendean dan Rukmini