PADA 28 September 1571, kegaduhan terjadi di Kesultanan Aceh. Sultan Alau’ddin Ri’ayat Syah al-Kahar, yang berkuasa sejak 1539, baru saja wafat. Sultan ini sangat dihormati rakyatnya karena berhasil melindungi Aceh dari serangan Portugis dan menyusun Undang-Undang Dasar Negara, Dustur Negara.
Baca juga: Kisah martir Portugis di Aceh
Sepeninggalnya, tahta sultan dijabat oleh putranya, Ali Ri’ayat Syah. Pada masanya, timbul benih-benih perpecahan di kalangan keluarga kesultanan. Puncaknya terjadi setelah sultan ini wafat pada 1579. Konflik berdarah pun tak terhindarkan. Ini membawa Aceh ke dalam situasi tanpa hukum. Beberapa sultan kemudian mencoba mengembalikan hukum.
Sepanjang 1579, Aceh mengalami tiga kali pergantian sultan. Seorang anak berumur empat tahun, putra Ali Ri’ayat Syah, sempat memimpin Aceh meski tak lama. Dia terbunuh akibat konflik perebutan tahta. Penggantinya adalah Raja Seri Alam, putra Alau’ddin Ri’ayat Syah al-Kahar sekaligus adik Ali Ri’ayat Syah. Dia datang ke Aceh dari Pariaman (Sumatra Barat) menuntut penobatan dirinya sebagai sultan. Tuntutannya dipenuhi, tapi hanya bertahta dua bulan. Kekejaman dan perangainya yang jahat memicu pemberontakan rakyat yang digalang sebagian keluarga kesultanan. Dia tewas. Sultan penggantinya, Zainal ‘Abidin, memiliki riwayat yang sama: kejam dan kemudian tewas di tangan rakyat.
Baca juga: Inilah daftar kekejaman raja-raja di Nusantara
M. Djunus Djamil dalam Gadjah Putih Iskandar Muda, menyebut masa itu sebagai “zaman huruhara”. Wibawa kesultanan menurun, keamanan rakyat tak terjamin, para penjahat leluasa merampok harta rakyat, orangkaya (golongan bangsawan) memeras rakyat, dan hukum pun runtuh.
Situasi sedikit berubah ketika Alau’ddin Perak (dari Perak, Semenanjung Malaya) naik tahta pada 1580. Dia mengatasi kekacauan dan mengembalikan hukum di Aceh. “Beliau termasuk salah seorang yang sungguh-sungguh ikut memikirkan keselamatan Aceh dalam huru-hara itu,” tulis Djamil. “Dalam pimpinannya, keamanan telah pulih kembali.” Sayangnya, keadaan itu hanya bertahan enam tahun. Pada 1586, Alau’ddin Perak terbunuh akibat konflik dengan pembesar kesultanan.
Aceh kembali memasuki masa kekacauan hingga 1589. Setelah memasuki dasawarsa gelap itu, kesultanan secara perlahan kembali berwibawa, hukum mulai bertegak meski kesultanan cenderung absolut memasuki abad ke-17. “Aceh mengalami perkembangan baru,” tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Masa Iskandar Muda.
Baca juga: Gaya berpakaian Sultan Iskandar Muda
Iskandar Muda, Sultan Aceh yang berkuasa sejak 1607, berusaha menegakkan hukum secara keras, terutama berkaitan dengan pidana demi mengembalikan keberadaan hukum dan wibawa kesultanan. Dia melanjutkan usaha sultan dua periode sebelumnya, Alau’ddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1589-1604).
Sultan sebelum Iskandar Muda, Ali Ri’ayat (1604-1607), sempat menyeret kesultanan Aceh ke dalam konflik internal. Akibatnya, menurut Rusdi Sufi dalam Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, “Aceh menjadi kancah perampokan, pembunuhan, dan ketidakteraturan yang menyedihkan.”
Sebelumnya, pada masa Al-Mukammil, upaya penegakan hukum dilakukan, dari pidana hingga menyangkut soal moral, terutama perzinahan. Seorang perempuan bersuami yang terbukti berzina dapat dihukum mati atau dipotong hidung, kemaluan (jika laki-laki), dan telinganya, bahkan dilemparkan ke gajah. Francois Martin, pedagang Prancis yang mengunjungi Aceh pada 1602, menyatakan, “Itu adalah hukuman yang lazim. Pasangan yang berzina akan dilemparkan ke hadapan seekor gajah yang akan menginjak mereka sampai mati.” Catatannya diterbitkan pada 1604, lalu termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.
Baca juga: Di masa lampau, gajah Aceh menjadi simbol keagungan
Selain itu, Martin menulis bahwa sultan juga dapat menghukum langsung laki-laki yang melihat perempuan dan gajah miliknya. Hukumannya tak main-main. Mata dicungkil atau kemaluan dipotong. Sedangkan hukuman bagi pencuri adalah potong tangan.
Sultan Iskandar Muda menegakkan hukum agak berbeda dengan Al-Mukammil. Dia membagi pengadilan dalam empat kategori: pidana, agama, perdata, dan niaga. Tiap pengadilan itu mempunyai ketua dari kelompok masyarakat yang berbeda. Dalam pengadilan pidana dan perdata, misalnya, orangkaya menjadi ketuanya. Sementara itu, kadi (hakim dari kalangan agamawan) menjadi ketua dalam peradilan perdata dan niaga.
Uniknya, pembagian pengadilan ini sama sekali tak menghilangkan hak-hak istimewa sultan menghukum orang-orang bersalah seperti hak menusuk dengan galah, mempertontonkan seseorang yang dihukum mati dengan dijepit di antara dua batang kayu yang dibelah; menyayat daging seseorang; dan menumbuk kepala seseorang dengan sebuah alu (sroh).
Baca juga: Melacak jejak misterius Suku Mante di Aceh
Tak diperoleh keterangan yang cukup mengenai undang-undang khusus yang digunakan dalam pengadilan-pengadilan itu. Hanya keterangan mengenai hukuman dan pelaksanaannya yang banyak diketahui, terutama untuk pidana. Tapi, Anthony Reid dalam Dari Ekspansi Hingga Krisis menyatakan, “ada banyak bukti mengenai pelaksanaan syariah (Islam) atau hukum Allah.” Penerapan ini berlaku untuk kasus pencurian sesuatu yang berharga, paling tidak seperempat dinar, hukumannya potong tangan kanan dan kiri hingga kaki kanan dan kiri, tergantung berapa kali seseorang melakukan pencurian. Hingga 1688, hukuman ini masih diterapkan.
William Dampier, seorang penjelajah dan penulis asal Inggris, menyaksikan sendiri orang-orang yang tak punya tangan dan kaki karena kasus pencurian. Orang-orang ini menjadi pengemis dan banyak tersua di pasar-pasar Aceh pada 1688.
Baca juga: Penemuan koin emas membuktikan hubungan Aceh-Ottoman
Dalam bukunya yang lain, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga, Anthony Reid menyebut praktik hukuman pemotongan tubuh untuk para penjahat ini melampaui ketentuan-ketentuan hukum Islam. Pemotongan tubuh ini terkadang meliputi hidung, bibir, dan telinga. Praktik ini kerap terjadi pada masa Iskandar Muda.
Tapi, menurut Rusdi Sufi, praktik ini berkembang sesuai situasi pada zamannya. Hal ini diperkuat oleh catatan Agustin De Beaulieu, pelaut Prancis yang mengunjungi Aceh pada 1621. Dalam catatannya, “Kekejaman Iskandar Muda” termuat dalam Sumatera Tempo Doeloe, dia mengutip pembelaan Iskandar Muda yang pernah menyaksikan Aceh menjadi surga untuk para pembunuh dan pembegal; tempat yang kuat menghancurkan yang lemah sehingga orang harus mempertahankan diri terhadap perampok bersenjata di tengah hari, dan orang harus membentengi rumahnya di malam hari.