Masuk Daftar
My Getplus

Wadah Pembahasan Arah Kebudayaan dari Beragam Masa

Momen pembahasan arah gerak budaya yang bersemangat sama namun di masa yang berbeda.

Oleh: Nur Janti | 09 Nov 2018
Para anggota dan pemakalah dalam Kongres Kebudayaan pertama 1918. Sumber: Bianglala Budaya.

SETELAH 100 tahun sejak pertamakali diselenggarakan pada 1918, Kongres Kebudayaan akan kembali digelar pada 3-4 Desember 2018. Kongres ini selain berupaya mengingatkan kembali semangat persatuan, juga membahas kondisi budaya terkini dengan makin masifnya arus informasi dan gerak budaya.

“Ada kebutuhan untuk merumuskan kembali arah gerak kebudayaan karena kondisi revolusi industri 4.0 saat ini dan keadaan dunia yang cepat berubah,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam Konferensi Pers Kongres Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Jumat (9/11).

Persiapan kongres sudah dimulai sejak Maret lalu lewat kongres kecil di tingkat kabupaten/kota yang membahas berbagai bidang. Ada 27 rumusan dari masing-masing bidang, seperti wayang, kesehatan tradisional, infrastukrur dll. Tiap daerah menyusun pokok kebudayaannya sesuai masalah yang dialami masing-masing daerah.

Advertising
Advertising

Hingga hari ini sudah ada 206 daerah yang mengirimkan rumusan pokok kebudayaan. Menurut Hilmar, strategi kebudayaan akan berjalan kalau perumusannya dirasakan kepemilikannya oleh publik. Maka dari itu, penyusunan kongres untuk pertama kali dilakukan dari bawah.

“Perumusan yang dilakukan dari bawah merupakan buah dari kecerdasan kolektif, bukan hasil pikiran dari para ahli. Ini adalah upaya menghimpun pendapat yang sifatnya sangat masif dan menjadi perbedaan utama dari kongres sebelumnya,” kata Hilmar.

Pada kongres-kongres sebelumya penelusuran gagasan tentang kebudayaan nasional dilakukan melalui penyampaian makalah. Penyampaian oleh para ahli ini, di satu sisi tidak menyentuh masalah di akar rumput. Di samping itu, ekspresi budaya yang beragam tidak bisa disampaikan hanya lewat tulisan dan lisan. Oleh karenanya, dalam kongres kali ini Direktorat Kebudayaan memberi ruang apresiasi berupa pentas seni oleh para seniman dari berbagai bidang.

Lebih lanjut Hilmar mengatakan, hasil kongres akan mengeluarkan rumusan strategi kebudayan yang disusun oleh 17 orang, termasuk di dalamnya Menteri Pendidikan dan Kebudayan Muhadjir Effendy. Rumusan ini kemudian diserahkan pada presiden dan menjadi salah satu acuan dalam pembangunan nasional sesuai amanat UU No. 5 tahun 2017.

Kilas Balik Kongres Pertama

Diselenggarakan pertama kali tahun 1918, Kongres Kebudayan mulanya merupakan Kongres Bahasa Jawa yang diprakarsai intelektual bumiputera dan Belanda: Raden Sastrowijono, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Pangeran Prangwadono, dan D van Hinloopen.

“Jelas ada keperluan untuk menyelenggarakan Kongres Budaya pada 1918 karna saat itu sedang ada kebangkitan nasional sementara beberapa masyarakat masih terbagi-bagi dalam kelompok etnis,” kata Hilmar.

Kehadiran tokoh luar Jawa, seperti Dr. Hoesein Djajadiningrat menambah usulan baru bahwa kongres sebaiknya tidak terbatas pada orang Jawa saja sehingga menjadi forum bagi para ilmuwan untuk membahas inisiatif baru tentang budaya.

Dalam kongres yang diselenggarakan di Solo, 5-7 Juli 1918, Sastrowijono sebagai ketua panitia menyatakan keprihatinannya atas ketidaktahuan masyarakat bawah akan budayanya sendiri. “Sebuah bangsa baru akan mampu memiliki jatidirinya apabila bangsa itu bertumpu pada sejarah dan budayanya sendiri,” kata Sastrowijono, seperti yang termuat dalam Bianglala Budaya.  Ia juga menekankan pentingnya pendidikan budaya untuk mengimbangi pengaruh dari kebudayaan Eropa di era kolonial.

Perhatian tentang perkembangan budaya menjadi bahasan utama dalam kongres tersebut. Sastrowijono dalam pidatonya menghimbau seluruh rakyat Jawa baik mereka yang dari Sunda, Madura, atau Jawa Tengah agar bersama-sama membahas arah perkembangan budaya dalam cita-cita kemerdekaan.

TAG

Kolonial Budaya

ARTIKEL TERKAIT

Kisah Bupati Sepuh Menjegal Multatuli Tolo' Sang "Robinhood" Makassar Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Sepuluh Warisan Kolonial yang Meresahkan Thierry Baudet: Harusnya Indonesia Masih Jajahan Belanda Riwayat Erasmus Huis: Peran Baru Sebuah Pusat Kebudayaan (1970-Sekarang) Riwayat Erasmus Huis: Titik Balik Diplomasi (1960-1971)