Masuk Daftar
My Getplus

Selayang Pandang Lily Suhairy

Kualitas bermusiknya konon lebih baik daripada Ismail Marzuki.

Oleh: Fandy Hutari | 22 Apr 2018
Lily Suhairy hidup dalam himpinan ekonomi yang sulit. Foto: Vista, 28 Februari 1970.

Saat ini Erwin Gutawa, Addie MS, dan Ananda Sukarlan merupakan nama besar komponis Indonesia. Dahulu, ada nama beken macam WR Supratman dan Ismail Marzuki. Nama komponis Lily Suhairy mungkin terdengar asing di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia.

Lily lahir di Bogor pada 23 Desember 1915. Saat usianya masih kanak-kanak, dia menetap di Sumatra Utara.

Lily ahli bermain biola. Menurut Hadely Hasibuan di dalam otobiografinya Memoar Mantan Menteri Penurunan Harga, Lily adalah murid Francois de Haan, seorang violis Belanda yang mengajarkan bermain biola di Medan pada akhir 1930-an.

Advertising
Advertising

Namun hal itu dibantah Koko Hendri Lubis, penulis dan peneliti sejarah Kota Medan. Menurut Koko, sewaktu usia Lily masih tujuh tahun dan tinggal di Brastagi, guru musiknya orang Jerman.

“Sewaktu tinggal di Medan sejak 1930, dia belajar main biola dengan Boris Mariev, guru biola kenamaan di Medan asal Rusia. Dia pimpinan musik tonil Bolero,” kata Koko kepada Historia.

Pada usia 19 tahun, Lily bekerja di perusahaan rekaman His Master’s Voice di Singapura. Dia menciptakan lagu pertamanya, “Hatiku Patah”, ketika ditolak seorang gadis. Tiga tahun merantau, Lily kembali ke Medan. Mulailah dia berkarya.

Karier Lily sebagai musisi profesional menanjak saat pendudukan Jepang. Hadely menyebut, dia menjadi salah seorang pemimpin sandiwara Asia Raya.

Menurut buku Sejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Sumatera Utara, di masa pendudukan Jepang, dia menciptakan lagu-lagu yang menyindir kehidupan di zaman Jepang seperti “Makan Sirih” dan “Aras Kabu”.

Keberaniannya ini bukan tanpa risiko. Menurut Koko, dia pernah ditangkap Jepang gara-gara lagu “Bayangan”, karena liriknya dinilai menyindir pemerintah pendudukan Jepang.

Saat masa revolusi, Lily membuat lagu perjuangan berjudul “Pemuda Indonesia”. Lagu itu menggelorakan semangat publik. Akibat lagu tersebut, dia pernah ditahan dan disiksa Belanda.

Menariknya, justru di masa-masa sulit itulah Lily produktif berkarya, antara lain menelorkan lagu “Bunga Tanjung”, “Bunga Teratai”, “Selendang Pelangi”, dan “Rayuan Kencana”.

Lagu Berlanggam Melayu

Sebagai musisi dan komponis, Lily bukan hanya dikenal di Medan. Tapi juga sohor di Malaysia dan Singapura. Bahkan banyak lagu ciptaannya dijiplak musisi Malaysia.

Dalam Vista, 28 Februari 1970, penulis Sori Siregar menulis dia sempat menanyakan hal itu kepada Lily. Apa jawabannya: “Tidak apa. Mereka toh kawan-kawan saya.”

Mayoritas lagu ciptaan Lily berlanggam Melayu. Salah satu yang populer pada 1950-an adalah lagu “Selayang Pandang”. Pada 1970, lagu ini pernah masuk dalam album piringan hitam The Rollies dengan nama pencipta disebut anonim. Lily protes. Pihak perusahaan rekaman mengaku tak tahu

Namun, Lily bukan hanya menciptakan lagu berlanggam Melayu. Dia juga membuat lagu “Memori”, berdasarkan puisi Z. Pangaduan Lubis. Lagu dan syair ini diciptakan untuk mengenang penyair Chairil Anwar.

Selain itu, ada lagu “Marilah Sayang”, berdasarkan puisi Aldian Aripin yang termuat dalam kumpulan puisinya Oh, Nostalgia.

“Unsur kemelayuan tak terdengar di lagu-lagu itu,” ujar Sori.

Lebih Baik dari Ismail Marzuki?

Kepiawaiannya bermusik tak membuat hidup Lily makmur. Semasa hidupnya, selama 25 tahun, Lily bertugas sebagai pemimpin Orkes Studio Medan di RRI Nusantara III. Meski honornya terbilang kecil, dia tak pernah mengeluh.

Sori Siregar mengisahkan keadaan ekonomi Lily jauh dari cukup. “Rumah saya sudah jelek, tapi rumah Lily lebih jelek lagi dan dia sudah beberapa bulan tidak sanggup membayar rekening listrik rumahnya,” kata Sori.

“Saya dan penyair Z. Pangaduan Lubis, selalu dimintainya uang untuk ongkos becak pulang,” lanjut Sori.

Sebenarnya, nasib Lily mungkin bisa berubah jika saja dia mau ikut hijrah ke Malaysia saat diajak sahabatnya, Ahmad Djafar. Atau memenuhi panggilan sebuah penerbit di Jakarta. Namun, dia tak beranjak dari Medan.

“Saya ingin menjadi saksi dari penderitaan kawan-kawan di sini. Saya tidak akan bahagia di sana (Malaysia atau Jakarta),” kata Lily, dikisahkan Sori.

Lily wafat pada 2 Oktober 1979 dalam keadaan ekonomi yang memprihatinkan. Menurut Harian Bukit Barisan, 4 Oktober 1979, Lily dimakamkan pada 3 Oktober 1979 di Taman Bahagia Makam Pahlawan Medan.

Berkat dedikasinya, Lily pernah mendapatkan penghargaan dari PWI Cabang Medan pada 1975 dan Departemen P & K pada Maret 1979. Namanya diabadikan menjadi nama taman di Jalan Palang Merah, Medan.

Namanya kini nyaris dilupakan. Padahal, menurut Hadely yang didengarnya dari para pakar musik, kualitas Lily sebagai komponis mungkin melebihi Ismail Marzuki.

Bahkan, kata Koko, Lily bisa membuat notasi musik (not balok) kalau mendengar pesawat lewat. Koko menyebut, Lily sudah menciptakan lebih dari 200 lagu semasa hidupnya.

TAG

Musik Komponis

ARTIKEL TERKAIT

Eric Carmen dan "All By Myself" Komponis dari Betawi God Bless di Mata Roy Jeconiah Ray "The Doors" Prajurit Rock n’Roll Aretha Franklin dan Hegemoni Maskulinitas Musik Rock Pendiri Pink Floyd Peduli Palestina Alkisah Bing Slamet Koes Plus dan Mantan Perwira AURI Orba Benci Musik Cengeng Anak Presiden Main Band