Bocah pirang itu sangat aktif dan selalu riang. Berjalan ke sana ke mari, memainkan benda apapun yang menarik perhatiannya, atau menirukan orang dewasa melakuan pekerjaan memenuhi hari-harinya. Orang-orang sangat menyukainya. “Dia adalah magnet. Semua orang ingin menjumpainya,” kata Wendy Elizabeth, sang ibu.
Dalam sebuah pesta di rumahnya, bocah itu memainkan gitar, drum, dan piano mainan yang menjadi hadiahnya secara bergantian. Aksinya mengundang tawa para hadirin, terutama sang ibu. Cobain sejak kecil sudah menyukai musik.
Namun, masa indah Cobain tak berlangsung lama. Belum lagi usianya menginjak 10 tahun, Donald Leland Cobain dan Wendy Elizabeth, bercerai –satu fenomena yang belum lumrah kala itu di Aberdeen, Washinton, Amerika Serikat, kota tempat tinggal mereka. Cobain amat terpukul dan malu bahkan sejak baru mendengar rencana perceraian itu. “Dia mencabuti lampu-lampu, mengunci baby sitter dan Kim (Kimberly Cobain, adik) di luar dan menjadi sulit diatur,” kenang ibu Cobain. Cobain menjadi pemberontak sejak saat itu.
Perubahan 180 derajat dalam perjalanan hidup Cobain itu menjadi salah satu kekuatan film dokumenter Cobain: Montage of Heck besutan sutradara Brett Morgen ini. Morgen lihai menghadirkan perpindahan dari satu fase ke fase berikutnya secara halus. Adegan Cobain kecil bahagia yang begitu kuat lantaran musik scoring yang pas (dari lagu Nirvana berjudul “All Appologies” bikinan Cobain yang dimainkan secara instrumental) itu berganti muram melalui bridge berupa adegan wawancara ibunda Cobain.
Adegan demi adegan masa sulit Cobain yang penuh perjuangan untuk lepas dari penderitaan dan menjadi musisi terus berjalan secara kronologis setelah itu. Pemilihan alur kronologis lagi-lagi menjadi kelebihan Morgen mengingat perjalanan hidup Cobain sarat pasang-surut –pemilihan alur lain justru sangat mungkin membingungkan penonton.
Sketsa Perlawanan
Akibat perceraian orangtuanya, Cobain menjadi pendamba kebebasan, bersikap tertutup, temperamental, dan akhirnya pecandu narkoba. Cobain benci dunia yang menurutnya penuh kepalsuan. Cobain sempat berusaha mengakhiri hidupnya meski gagal.
Kecintaannya pada musik akhirnya membuat dia berangsur bisa melupakan kesulitan hidup. Cobain menemukan “cinta” pada musik punk rock. Dia membentuk grup musik Nirvana bersama Krist Novoselic pada 1985. Dukungan pacarnya, Tracy Marander, tak hanya membuatnya kembali menemukan kebahagiaan tapi juga meningkatkan karier musiknya.
Cobain serius memperjuangkan diri dan Nirvana menjadi band sukses. Sama seperti sketsa-sketsa yang dibuatnya –sejak kecil Cobain hobi menggambar–, tema lagu-lagu Nirvana mayoritas tentang perlawanan terhadap kepalsuan, ketidakadilan, dan antikemapanan. Ketika akhirnya Nirvana masuk dapur rekaman dan bintangnya melesat cepat, waktu Cobain lebih banyak disita oleh urusan bermusik. Nirvana menjadi ikon grunge, genre musik yang merupakan bagian dari punk. Dia kembali mendapatkan kebahagiaan tatkala menikah dengan Courtney Love dan mendapatkan keturunan.
Namun, Cobain tetap sosok antikemapanan. Popularitas membuatnya tersiksa. Terlebih, banyak media justru lebih senang memberitakan kehidupan pribadinya ketimbang kreativitas bermusiknya. “Aku merasa seperti diawasi 24 jam sehari,” tulis Cobain dalam diary-nya. Hal itulah yang membuatnya selalu menghindari kamera dan pena para juruwarta. Kebebasan dan privasi merupakan hal mendasar baginya.
Betapapun, popularitas justru membuat Cobain berangsur terjun ke lembah siksaan hidup. Tekanan yang dipikul Cobain terasa kian berat. Puncaknya, saat dia curiga istrinya main serong di London. Cobain akhirnya memilih mengakhiri semuanya.
Pada 8 April 1994, Cobain ditemukan tewas bunuh diri di garasi rumahnya di Lake Washington, Seattle. Hasil otopsi memperkirakan dia menghembuskan nafas terakhir tiga hari sebelumnya.
Tertolong Arsip
Ketidaksukaan Cobain akan popularitas mengakibatkan dokumentasi wawancara Cobain sangat minim. Dokumentasi Nirvana pun lebih banyak menghadirkan omongan teman-teman Cobain (Novoselic dan Dave Grohl). Hal itu menjadi kesulitan tersendiri bagi Morgen. Pendapat dan gagasan Cobain bukan tak ada, tapi sangat sedikit, berupa rekaman singkat wawancara dan rekaman suara pribadinya.
Beruntung, Cobain rajin menulis diary dan mencatat apapun serta menggambar sketsa. Dengan arsip-arsip itulah, yang didapatkan dengan izin dari keluarga, Morgen menggarap film ini. Ditambah dokumen-dokumen visual maupun suara plus wawancara orang-orang terdekat, Morgen berhasil menutup celah-celah yang ditinggalkan oleh ketiadaan sang bintang utama.
Celah-celah di sisi visual yang diakibatkan minimnya dokumentasi, terutama masa kecil hingga perjuangan Cobain menjadi musisi, dengan jeli ditutup Morgen dengan menggunakan animasi. Adegan-adegan masa remaja Cobain, seperti ketika berusaha bunuh diri atau melepas keperjakaannya, hadir lewat animasi. Pun sketsa-sketsa karya Cobain hadir lewat animasi yang tekniknya mirip rotoscoping Richard Linklater dalam film Waking Life. Animasi tak hanya membuat visual film ini jadi variatif, tapi juga jauh lebih hidup. Meski tak sama persis, penggunaan animasi mungkin bisa membawa film ini mendekati film dokumenter Freddie Mercury: The Great Pretender produksi BBC yang menyajikan banyak wawancara Freddie.
Namun, tiada gading yang tak retak. Ketiadaan wawancara drumer Dave Grohl –meski dia sudah diwawancarai– tak hanya mengurangi keutuhan bangunan cerita, tapi juga menimbulkan pertanyaan ada apa. Selain basis Krist Novoselic, Grohl-lah orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersama Cobain dalam karier musik mereka.
Yang juga disayangkan, Morgen minim menyajikan perkembangan bermusik Cobain dan Nirvana. Kebintangan Cobain bagaimanapun tak bisa lepas dari proses berkarya Nirvana. Kehidupan di dalam Nirvana hanya dihadirkan selintas, seakan berjalan mulus tanpa setitik konflik yang pasti menghinggapi tiap grup band manapun.
Tapi, sudahlah. Begini pun montase kehidupan sang ikon tak kekurangan warna. Terang maupun gelap jelas terlihat mewarnai jalan hidupnya.
[pages]