Masuk Daftar
My Getplus

Melihat Lebih Dekat "Lukisan" Kehidupan Margaret Keane

Biopik pelukis kontroversial yang dikemas dengan “lukisan” realita sosial.

Oleh: Randy Wirayudha | 27 Agt 2021
Drama biopik "Big Eyes" yang mengungkit kisah kontroversial pelukis perempuan Margaret Keane (The Weinstein Company)

MARGARET (Amy Adams) akhirnya mengambil keputusan berat dalam hidupnya pada suatu hari itu di tahun 1958. Sejumlah lukisan di dinding rumahnya ia copoti. Setelah koper-koper pakaian dan peralatan lukisnya selesai dikemas, ia nyalakan mesin mobil. Tancap gas. Ia tak mau lagi menengok ke belakang, ke rumahnya di California Utara. Perceraian dengan suaminya, Frank Ulbrich, menjadi pil pahit yang tak perlu dimasukkan dalam “laci” ingatannya.

Margaret membawa Jane kecil (diperankan Delaney Raye) untuk memulai kehidupan baru di San Francisco. Berbekal bakat melukis, Margaret lalu melamar pekerjaan sebagai ilustrator di sebuah pabrik furnitur. Ia juga mendapat kenalan baru, Walter Keane (Christoph Waltz), seorang makelar properti yang mengaku jadi pelukis amatir.

Walter terkesan dengan hasil karya Margaret berupa karakter-karakter anak kecil dengan ekspresi buram. Yang menjadikan lukisan cat akrilik di atas kanvas itu unik adalah semua karakter punya proporsi mata besar. Kebanyakan lukisan anak kecil itu menggunakan Jane sebagai modelnya, yang dikreasikan menjadi anak perempuan atau bahkan bocah laki-laki.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sengkarut Drama Emma dalam Empat Musim

Benih-benih asmara perlahan tumbuh di antara keduanya sampai kemudian menikah. Margaret mau menikahi Walter demi mempertahankan hak asuh Jane yang sedang digugat Frank. Di era 1950-an, seorang ibu tunggal dianggap tak layak mengasuh anak dan menikahi Walter adalah solusi terbaik.

Bab baru kehidupan Margaret itulah yang mengantar ke adegan-adegan selanjutnya film bertajuk Big Eyes. Drama biopik garapan sutradara kondang Tim Burton ini mengisahkan lika-liku dan kontroversi kisah Peggy Doris Hawkins yang punya banyak alias: Margaret Ulbrich, Margaret Keane, Margaret McGuire.

Adegan pertemuan Margaret dengan Keane di sebuah pameran terbuka (The Weinstein Company)

Baik Margaret maupun Walter, bermimpi punya galeri sendiri. Walter konsisten melukis dengan tema perkotaan Eropa dan Margaret konsisten dengan lukisan-lukisan bocah bermata besar. Margaret mengaku lukisan-lukisannya sangat personal.

“Aku percaya kita bisa melihat banyak hal dengan mata. Mata adalah jendela jiwa. Mata adalah caraku mengekspresikan emosiku. Ketika kecil aku pernah dioperasi dan membuatku tuli sementara hingga tak bisa mendengar apapun. Jadi aku hanya bisa menatap dan bergantung pada mata orang lain,” kata Margaret.

Baca juga: Kisah Matematikawan yang Dipandang Sebelah Mata

Bagi Walter, mata besar ciri khas Margaret itu begitu menarik. Pada suatu hari di  tahun 1960, ia bahkan sampai memamerkannya di beberapa bidang tembok sebuah klub malam. Berkat bantuan Dick Nolan (Danny Huston), wartawan gosip dan pencari sensasi asal The Examiner, karya-karya itu mulai populer di kalangan sosialita.

Namun secara picik, Walter mengakui lukisan-lukisan itu adalah karyanya. Padahal, identitas pelukis di sudut kiri bawah lukisannya tertulis “Keane”.

Adegan Margaret yang mulai tertekan karena karyanya diklaim sang suami (The Weinstein Company)

Kritikus seni senior John Canaday (Terence Stamp) meremehkannya. Namun lukisan-lukisan itu tetap laku di pasaran sampai Walter bisa memiliki galeri sendiri.

Margaret pun mulai tertekan. Ia tak rela karyanya diakui sebagai karya sang suami. Ia merasa terjebak. Di satu pihak ia ingin diakui sebagai senimannya, di lain pihak, sang suamilah yang mampu menggaet para pembeli sampai mereka punya rumah mewah.

Baca juga: A Private War, Perang Batin si Wartawati Perang

Margaret terpaksa terus berbohong pada Jane yang mulai dewasa (diperankan Madeleine Arthur) bahwa lukisan-lukisan yang membuat mereka kaya adalah karya Walter. Konfliknya akhirnya mencapai puncak di New York’s World Fair 1964. Karya 100 anak bermata besar dalam satu kanvas yang dipamerkan jadi target kritik tajam Canaday. Walter yang frustrasi dalam keadaan mabuk membuat Margaret dan Jane kabur dari rumah dan menetap di Hawaii.

Bagaimana Margaret dan putrinya kembali membuka “kanvas” kehidupan baru mereka? Saksikan sendiri drama yang penuh warna itu di aplikasi daring Mola TV.

Lukisan Realita Kaum Perempuan

Tim Burton mengemas Big Eyes dengan tone gambar bernuansa pastel agar penonton lebih mudah merasakan suasana era 1950-an dan 1960-an. Music scoring yang landai, syahdu tapi khas pada masanya garapan komposer Danny Elfman menambah kuat nuansa era tersebut.

Big Eyes juga memberikan insight tersendiri –terlepas dari pendalaman seni rupa secara artistik– terkait realitas kehidupan kaum perempuan di masa itu yang masih relevan saat ini. Saat itu kaum perempuan masih dipandang sebelah mata, terutama di keluarga yang jadi unit terkecil kehidupan masyarakat.

Realitas bahwa seorang perempuan yang bercerai secara hukum dianggap tak layak mengasuh anaknya sendiri menjadi pesan yang coba disampaikan Burton. Burton juga gamblang menggambarkan situasi di mana untuk mendapatkan pekerjaan seorang perempuan selalu disyaratkan izin laki-laki di keluarganya, entah suami atau ayah. Pun di dunia seni, amat langka kaum perempuan saat itu mendapat pengakuan dari media massa.

Baca juga: Seberg Melawan Arus

Sutradara Timothy Walter 'Tim' Burton saat mengarahkan Amy Adams yang memerankan Margaret (The Weinstein Company)

Amy Adams si pemeran Margaret juga patut diapresiasi. Ia begitu apik memerankan sosok perempuan di masa itu yang selalu hanya bisa diam dan pasif. Kala itu amat langka perempuan yang berani bersuara tanpa izin suami atau ayah mereka.

“Kisah mereka merepresentasikan kenyataan, di mana gagasan mimpi keluarga Amerika yang ideal dengan seorang suami, istri, dan anak-anak mulai berubah. Dengan kisah keluarga Keane, Anda melihat hubungan yang tak berfungsi sebagaimana mestinya, di mana mereka menciptakan keluarga melalui lukisan anak-anak yang aneh itu. Kisah mereka, secara simbolis, menjadi representasi perubahan masa dari era 1950-an. Mereka menangkap semangat perubahan itu dengan cara yang aneh,” kata Burton kepada Direct Conversations, 22 Desember 2014.

Siapa Margaret Keane?

Berkeliling Eropa sampai belajar di sekolah seni Beaux Arts selalu diumbar Walter kala menerangkan dari mana ia mendapat bakat seninya. Padahal, sebagaimana digambarkan dalam Big Eyes, Walter sebetulnya tak pernah bisa melukis. Bagaimana dengan Margaret?

Sayangnya, latar belakang Margaret sangat minim digambarkan dalam Big Eyes. Hanya ada dua penjelasan tentang masa lalunya, yakni ia tumbuh dalam lingkungan keluarga dengan ajaran Gereja Methodist dan pernah mengenyam studi seni di Watkins Art Institute di Nashville.

Baca juga: Zainal Beta, Sang Pelukis Tanah Air

Peggi Doris Hawkins alias Margaret Keane yang turut 'nongol' sebagai cameo di biopik Big Eyes (The Weinstein Company)

Margaret lahir di Nashville, Tennessee, Amerika Serikat pada 15 September 1927 dengan nama Peggy Doris Hawkins. Terutupnya keluarga membuat informasi mengenai latar belakang keluarganya cukup minim.

“Orangtuanya tercatat bernama David R. Hawkins, kelahiran Alabama dan Jessie J. Hawkins yang asli Tennessee. Kedua orangtuanya lahir di masa pergantian abad. David disebutkan mencari nafkah sebagai agen asuransi. Mereka tinggal di rumah sewa di Dyersburg dengan bulanan USD25 dolar,” tulis Cletus Nelson dan Adam Parfrey dalam Citizen Keane: The Big Lies Behind the Big Eyes.

Baca juga: Misteri Kematian Pelukis Frida Kahlo

Margaret kecil merupakan gadis pemalu dan introvert. Ia sering sakit-sakitan dan seperti yang digambarkan dalam film, telinga kirinya pernah tuli sementara setelah menjalani operasi mastoid (infeksi tonjolan telinga) pada usia dua tahun. Maka itu ia hanya mengandalkan tatapan mata kala berkomunikasi dengan orang lain.

“Cukup lama ia tuli pada telinga kirinya dan seraya merenung secara spiritual, di masa itu juga Margaret menemukan dan mengembangkan obsesinya. Pada wawancara tahun 2012 ia mengatakan: ‘Saya selalu senang melukis. Saat kecil saya selalu menggambar’,” imbuh Nelson dan Parfrey.

Margaret semasa muda (kiri) dan Amy Adams yang memerankan sosoknya (majalah LIFE edisi 20 November 1970/The Weinstein Company)

Sang ibu yang melihat bakat alami Margaret lalu mengarahkan putrinya ikut berbagai kelas seni di masa sekolah dasar. Di situlah Margaret mulai mengalihwahanakan hobinya menggambar di buku tulis ke kanvas.

Sejak kecil pula Margaret terobsesi melukis mata besar. Inspirasinya lahir dari dua faktor. Selain karena faktor kesehatan di atas, di mana ia menggantungkan ekspresi lewat mata, Margaret juga terilhami keyakinannya sebagai anggota Gereja Methodist yang merupakan aliran Protestan yang tetap meyakini adanya Tuhan tapi mempertanyakan banyak hal yang terjadi di dunia.

“Mata (besar) itu menyiratkan tanya. Kenapa, kenapa ada penderitaan? Apa tujuan kehidupan. Saya melukiskan perasaan terdalam saya dan saya mencari jawaban atas banyak pertanyaan,” kata Margaret dikutip Jennifer Warner dalam Big Eyes and All.

Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr

Inspirasi itu lalu ia interpretasi dan ekspresikan ke atas kanvas menggunakan cat akrilik ataupun cat minyak dengan gaya “kitsch” (sketsa yang populer sejak akhir abad ke-19). Beranjak remaja saat sekolah di Watkins Art Institute, Margaret mulai terpengaruh beberapa seniman seperti Frederick Dielman (1847-1935) dan Amedeo Modigliani (1884-1920). Dari Dielman, Margaret memperdalam gaya kitsch dan dari Modigliani, Margaret mendapat pengaruh tentang potret perempuan.

Setelah menikah dengan Frank Ulbrich pada 1948 dan kemudian melahirkan Jane, Margaret tetap melukis potret perempuan dewasa. Baru dari Jane yang kemudian sering dijadikannya model lukisanlah Margaret melukis seorang anak bermata besar.

“Ketika putri saya masih bayi, saya sudah mulai melukis potret dirinya dan saya melukisnya dengan mata yang lebih besar dari mata normal,” sambung Margaret, dikutip Nelson dan Parfrey.

Sosok Walter Stanley Keane (kanan) yang diperankan Christoph Waltz (Youngstown Vindicator edisi 10 Desember 1961/The Weinstein Company)

Setelah bercerai dengan Ulbrich pada 1955 karena alasan yang tak pernah diungkapkannya, Margaret menikah lagi dengan Walter Keane di tahun yang ditemuinya pertamakali dalam sebuah pameran lukisan di taman terbuka. Keduanya lalu pindah ke San Francisco.

Kehidupan Margaret dan Walter cukup detail dilukiskan Burton dalam Big Eyes. Hampir semua yang terjadi di antara mereka ditampilkan sesuai fakta dan hanya sedikit yang didramatisir.

Baca juga: Karya-Karya Sang Perupa Sederhana

Margaret baru berani buka suara soal Walter pada 1970, lima tahun usai bercerai. Menurutnya, semua lukisan bocah bermata besar yang diakui hasil karya Walter sejatinya adalah karyanya. Untuk membuat pengakuan publik itu Margaret mendapat dorongan mental dari suami ketiganya, Daniel McGuire, seorang wartawan olahraga.

“Mulanya Margaret mengaku tak tahu kelakuan suaminya dan kemudian syok setelah mengetahuinya. Walter juga mengancamnya jika ia berani buka rahasia itu. Margaret akhirnya berani bicara ketika sudah bercerai sejak 1965. Dia mengatakan: ‘Saya yang melukis itu semua. Dia tak bisa melukis mata besar. Dia bahkan tak bisa belajar melukis,’” ujar Margaret dikutip majalah LIFE, 20 November 1970.

Margaret bersama karya berjudul "Exhibit 224" (keane-eyes.com/LIFE, 20 November 1970)

Margaret tak menanggalkan nama “Keane” dalam karya-karyanya sampai kini. Kemudian, identitas itu ditambahkan inisial nama gadisnya, menjadi “MDH Keane”. Itu tersua antara lain di salah satu lukisannya yang paling kondang, “Exhibit 224”.

Lukisan “Exhibit 224” dibuat Margaret kurang dari satu jam di ruang sidang pengadilan distrik Hawaii pada medio Mei 1986. Saat itu dia sedang menggugat Walter soal hak cipta lukisan “mata besar” dan sudah berjalan tiga pekan.

Hakim Samuel P. King memutuskan penggugat dan tergugat agar membuktikan klaim masing-masing guna menentukan siapa yang salah dan benar. Sang hakim lalu memberi perlengkapan lukis yang sama kepada keduanya dan waktu masing-masing satu jam agar Margaret dan Walter membuat lukisan di atas kanvas berukuran 28x35,5 cm.

Baca juga: Keris dalam Lukisan Rembrandt

Ditantang begitu, Walter berdalih tak bisa melukis karena lengannya sedang nyeri. Sementara, Margaret mulus membuat sketsa dengan pensil yang diparipurnakan menggunakan cat akrilik warna-warna pastel. Lukisannya berupa gambar wajah close-up bocah laki-laki bermata besar dan berambut cokelat yang tengah berada di sebuah ruang persidangan dengan background berwarna biru. Margaret memberinya judul “Exhibit 224” lantaran lukisan itu menjadi barang bukti ke-224 dalam persidangan.

“Lukisannya selesai sekitar satu jam. Itu lukisan tercepat yang pernah saya hasilkan. Saya menggambar kedua matanya, hidung, dan mulut; lalu selama rehat makan siang saya menggambar rambutnya dan latarnya,” sambung Margaret.

Hakim dan para juri amat terkesan dengan “Exhibit 22”. Margaret diputuskan memenangkan gugatan dan mendapat kompensasi sebesar empat juta dolar.

Kolase karya-karya Margaret Keane alias MDH Keane (keane-eyes.com)

Deskripsi Film:

Judul: Big Eyes | Sutradara: Tim Burton | Produser: Tim Burton, Scott Alexander, Larry Karaszewski, Lynette Howell | Pemain: Amy Adams, Christoph Waltz, Delaney Raye, Madeleine Arthur, Danny Huston, Terence Stamp | Produksi: Tim Burton Productions, Silverwood Films, Electric City Entertainment | Distributor: The Weinstein Company |Genre: Drama Biopik | Durasi: 106 menit | Rilis: 25 Desember 2014, Mola TV

TAG

lukisan molatv pelukis seni rupa

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Jejak Para Pelukis Perempuan Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Affandi Marah pada Polisi Derita Djoko Pekik Sebelum Jual Celeng Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Manisnya Kekayaan Oopjen dari Pahitnya Perbudakan Raden Saleh Melawan dengan Lukisan