Zainal Beta, Sang Pelukis Tanah Air
Mulanya dianggap gila. Lambat laun metode seni lukis Zainal Beta diakui sebagai yang pertama di dunia.
BANGUNAN di tengah-tengah Benteng Rotterdam itu tampak sepi. Jendela-jendela di lantai duanya tertutup, tanda-tanda tak ada kehidupan.
Padahal, maksud hati ke situs ikonik di Makassar itu ingin menemui seniman nyentrik, Zainal Beta namanya. Di gedung itulah pada Maret 2017 saya bersua dirinya pertamakali, di sela-sela acara sebuah ekspedisi otomotif. Namun, perjumpaan itu hanya sesaat.
Nyaris putus asa setelah gagal mencarinya di sekitar benteng, pasca-salat ashar tetiba sosok lelaki tua berambut gondrong yang sudah memutih melangkah di depan mata dari gerbang depan. Saya dan Irvan Nursyam, teman dari Makassar, mengikuti dia yang kemudian masuk ke sebuah ruangan kecil bekas penjara bawah tanah di salah satu sudut benteng.
“Fort Rotterdam Art Gallery”, demikian bunyi tulisan yang terpampang di pintu masuk ruangan yang makin ke dalam semakin pendek itu. Di tempat itulah Beta memajang beberapa karya-karyanya.
Baca juga: Utusan Seni Merangkap Telik Sandi
Usai perkenalan singkat, ia menuturkan bahwa ruangan itu secara cuma-cuma memang khusus dilowongkan untuk Beta berkarya. Itu merupakan bentuk apresiasi pemda setempat kepadanya.
Beta dikenal sebagai seniman sekaligus penemu sejak pertengahan 1980-an. Ia diakui dunia sebagai pelukis pertama yang berkarya dengan media tanah dan air, bukan cat air atau cat minyak sebagaimana lazimnya pelukis. Ia bahkan sempat dianggap gila. Namun beberapa cibiran dari sesama seniman luntur seiring datangnya pujian dari maestro Affandi 33 tahun lampau.
Jiwa Pemberontak
Seniman nyentrik itu punya nama asli Arifin. Ia kelahiran Makassar, 19 April 1960. Ia sudah getol menggambar sejak usia sekolah dasar. Terkadang dinding rumah atau buku-buku milik kakaknya jadi media buat Beta “berkarya”. Maklum, sejak tingkat SD sampai SMP, Beta tak menemukan satupun sekolah di Makassar yang punya mata pelajaran seni rupa.
“Lucunya, tiba-tiba ada sekolah malam. Jadi setelah sekolah (di tingkat SMP umum), sorenya saya lanjut ke sekolah itu jam 5 sore sampai jam 10 malam. Karena saya sudah pintar menggambar, saya diminta mengajar menggambar. Enggak diupah. Hanya kebanggaan saja saya mengajar jadi guru. Padahal saya masih SMP juga,” kata Beta mengenang.
Baca juga: Lukisan Kehidupan Soenarto Pr
Namun, hobi melukisnya tak didukung keluarganya. “Orangtua ingin saya sekolah biasa dan kemudian lulus untuk jadi pegawai negeri. Kalau jadi pelukis, dibilang orangtua saya nanti masa depannya suram. Apa yang bisa diharapkan?” lanjutnya.
Karena tak mendapat restu itulah ia menggunakan nama beken Zainal Beta atau kadang dipanggil Daeng Beta. Tujuannya supaya aktivitas berkeseniannya tak diketahui keluarganya. “Dari kecil saya sudah jadi pemberontak.”
Selepas lulus SMP dan masih mengajar di SMP PGRI 4, Beta bergabung ke Sanggar Jumpandang pimpinan Bachtiar Hafid. Wadah beragam kesenian itu ia temukan saat sedang jalan-jalan ke Benteng Rotterdam. Ia pun mendaftar untuk bidang seni rupa. Ia tak dipungut biaya sebagai ganti ikut mengajar di sanggar itu. Kala itu, di Jumpandang belum ada mentor untuk seni lukis selain Bachtiar.
“Itu juga masih sembunyi-sembunyi dari orangtua. Kalau pulang dan bawa hasil lukisan, buru-buru saya taruh di kolong tempat tidur. Saya di sanggar juga kemudian diangkat jadi salah satu pembina. Padahal baru lulus SMP. Selain seni lukis, saya juga kemudian belajar seni patung di sanggar,” sambung Beta.
Penemuan dari Ketidaksengajaan
Medio 1980, Beta didorong Bachtiar untuk ikut memamerkan karya mewakili Sanggar Jumpandang di sebuah pameran besar yang digelar Dewan Kesenian Makassar. Jelang pameran, Beta tak sengaja menemukan “masterpiece”-nya.
“Saya sedang bawa beberapa kertas waktu mau pulang ke rumah. Saat itu hujan. Tidak sengaja kertas yang dibawa jatuh ke tanah yang becek. Saat saya bersihkan, saya seperti melihat ada obyek di dalamnya. Saya coba hapus-hapus lagi, kelihatan ada obyek atau siluet lagi,” tuturnya.
Baca juga: Karya-Karya Sang Perupa Sederhana
Selama beberapa hari di rumahnya, Beta mencoba ulang dengan membasahi tanah dan menggoreskannya di atas kertas. “Saya belum ada pikiran akan jadi suatu media baru. Sempat ketahuan keluarga bahwa saya melukis pakai tanah. ‘Ah kau sudah gila!’, begitu kata keluarga saya.”
Eksperimennya dengan media tanah-air itu menyita waktunya. Hingga dua pekan sebelum pameran, ia belum membuat satupun karya dari media mainstream: cat air atau cat minyak. Maka saat pameran tiba, ia terpaksa men-display 10 karya lukisan tanah liat hasil coba-cobanya.
“Dari 10 yang saya bawa, akhirnya hanya lima yang saya pajang. Itupun saya taruh di belakang pintu (ruang pameran, red.). Karena saya hindari. Saya masih minder waktu itu. Tapi wartawan dari (harian) Fajar, Sinansari Ecip, dia lihat di belakang pintu,” tambah Beta.
Ecip penasaran dan mulai insyaf bahwa yang dipakai dalam lukisan itu bukan cat minyak atau air. Saat diberitahu lukisan-lukisan itu dari media tanah dan air, jurnalis senior itu justru memuji.
“Dia bilang, ada mutiara terselip di belakang pintu. Anda ini penemu. Ibarat wanita melahirkan manusia baru, saya dikatakan melahirkan media baru. Besoknya mulai tersebar di media-media,” ujarnya.
Baca juga: Seniman Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
Beta yang mulanya minder, jadi bangga. Terlebih, satu dari lima lukisan tanah liat itu langsung dibeli sang jurnalis. “Ya Sinansari Ecip itu pembeli karya (tanah liat) pertama saya. Lupa lukisan gambar apa yang dia beli. Waktu itu dia hargai Rp50 ribu. Sudah besar nilainya di zaman itu. Sampai saya bisa beli sepeda karena saya juga hobi main sepeda,” kata Beta.
Namun, semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula anginnya. Rekan-rekan pelukis lain hampir tak ada yang mengakui karya Beta tergolong seni lukis. Pengakuan baru diterima Beta enam tahun kemudian lewat apresiasi maestro Affandi. Beta sampai dijuluki satu-satunya pelukis “tanah air” lantaran pakai media tanah liat dan air.
Sepanjang kurun itu, Beta mengaku terus menyempurnakan metodenya, terutama soal jenis-jenis dan warna-warna tanah untuk dipakai melukis. “Dari mana ia dapatkan bahan-bahan pewarna itu? Tanah hijau ditemukannya di dataran tinggi Soppeng. Tanah merah dari Mandar. Warna hitam didapat dari 25 daun-daun surga (dedaunan tanaman liar),” ungkap Agung Puspito dalam Islam dan Seni Rupa: Daun-Daun Surga.
Beta biasanya menyempurnakan metodenya saat mencari inspirasi di banyak tempat di Sulawesi. “Tanah pertama saya pakai, itu tanah (dari) Maros. Setahun-dua tahun belum ketemu sempurnanya. Pertamakali dalam rentang setahun lukisan saya retak. Tapi kemudian saya belajar untuk mengolah tanahnya lagi,” ujar Beta.
Baca juga: Goodbye Stan Lee!
Di kemudian hari, Beta bereksperimen tidak hanya dengan tanah liat namun dengan media-media lain. Itu lantas ia tularkan ke anak-anak didiknya hingga kini.
“Saya pernah juga coba pakai media aspal. Kadang dedaunan untuk dipakai getahnya. Saya juga tekankan ke murid-murid saya bahwa coba tengok ke daerah lain di mana banyak hasil tambang, hasil bumi, dan sebagainya. Bisa pakai media kelapa sawit, misalnya. Intinya, saya mencoba mengajarkan untuk memerhatikan alam di daerah masing-masing untuk jadi inspirasi,” tandasnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar