Sengkarut Drama Emma dalam Empat Musim
Drama klasik dari novel satir ternama yang diangkat ke layar lebar. Digarap secara otentik dan humanis.
AIR muka Nona Emma Woodhouse (diperankan Anya Taylor-Joy) begitu tenang pada suatu hari di musim gugur. Ia duduk dengan tubuh tegap sempurna di kursi terdepan sebuah gereja di Highbury, Inggris, di sisi ayahnya, Tuan Henry Woodhouse (Bill Nighy).
Namun, batinnya tengah dirundung mendung. Pasalnya, pengasuhnya sedari kecil, Nona Taylor (Gemma Whelan), akan menjalani pemberkatan pernikahan di altar gereja dengan Tuan Weston (Rupert Graves).
Untung kesedihan Emma yang ditinggal Nona Taylor tak berlangsung lama. Di musim yang sama, gadis jelita, pintar, dan kaya itu mendapat teman sekaligus pengasuh baru, Nona Harriet Smith (Mia Goth). Kepada Harrietlah Emma berbagi kesah dan keceriaan tentang kehidupan sosial dan asmara kalangan elit lingkungannya karena ibunya sudah meninggal sejak Emma masih kecil.
Baca juga: Harriet "Musa" Pembebas Budak
Emma yang tinggal di wisma besar bergaya “Georgian Era” (1714-1837) itu gemar jadi “mak comblang” bagi banyak orang-orang di sekitarnya. Ketika Harriet hendak dilamar petani muda Robert Martin (Connor Swindells), Emma justru lebih berkehendak Harriet dijodohkan dengan pendeta Philip Elton (Josh O’Connor). Dia menganggap Tuan Martin tak setara kelas sosialnya dengan Harriet.
Tetapi kegemaran Emma mencomblangi banyak orang acap memancing cibiran Tuan George Knightley (Johnny Flynn), teman masa kecilnya sekaligus kakak dari John Knightley, kakak ipar Emma. George menganggap Emma menghalang-halangi niat Martin yang kasmaran dengan Harriet hanya karena strata sosial.
Emma sendiri mengaku terpesona dengan Frank Churchill (Callum Turner), putra Tuan Weston dari istri pertamanya. Frank diadopsi paman dari garis ibunya dan dijanjikan akan jadi pewaris tanah keluarga Churchill di Enscombe.
Sengkarut silsilah dan status sosial pada adegan-adegan itu hanyalah satu dari empat babak yang digambarkan dalam empat musim oleh sineas Autumn de Wilde dalam mengarsiteki drama-komedi bertajuk Emma. Film ini diadaptasi dari novel klasik berjudul serupa karya Jane Austen.
Cerita kemudian bergulir ke musim dingin ketika Emma akhirnya bertemu Frank yang sudah lama ia dambakan. Tetapi Emma seperti mendapat saingan dari Nona Jane Fairfax (Amber Anderson), keponakan dari tetangga Emma, Nyonya Bates, yang baru kembali dari London. Jane jadi primadona baru di lingkungan Highbury menggantikan Emma.
Kekesalan Emma juga bertambah karena gagal menjodohkan Harriet dengan pendeta Elton. Perhatian pendeta Elton kepada Harriet nyatanya hanya topeng demi bisa sering bertemu Emma. Pendeta Elton yang menyatakan cintanya pada Emma bertepuk sebelah tangan, hingga membuat sang pendeta memilih pergi dari Highbury.
Di musim dingin itu juga Emma diterpa dilema. Di satu sisi ia masih mendambakan Frank tetapi di sisi lain perlahan ia mulai kepincut George.
Di musim semi, klimaksnya terjadi. Frank ternyata sudah bertunangan dengan Jane di Weymouth. Mereka menjalin asmara secara “backstreet” karena tak disetujui keluarga Churchill dan karena perbedaan strata sosial di antara keduanya.
Emma yang ingin berpaling hati pada George kembali sial lantaran terbentur Harriet yang juga jatuh hati pada George. Bagaimana Emma keluar dari sengkarut drama berkalang komedi dan tradisi-tradisi klasik Inggris itu di musim panas? Akan lebih seru jika Anda saksikan sendiri di aplikasi daring Mola TV.
Otentik dan Humanis
Emma jadi film layar lebar perdana De Wilde dan diracik dengan tempo lamban. De Wilde memilih meracik adaptasi novel ternama itu dengan versi klasik, tak seperti delapan film televisi ataupun tiga film layar lebar terdahulu yang cenderung digarap dengan gaya modern. Beberapa laku jenaka karakter-karakternya pun dibuat ringan, humanis, dan tak melenceng dari garis besar bahasa tubuh, tradisi, dan budaya Inggris di masa peralihan abad ke-18 menuju abad ke-19 itu.
Music scoring yang komikal juga acap mengawal sejumlah kejenakaan ringan itu. Sementara, musik klasik elegan mengiringi adegan-adegan pesta dansa.
Baca juga: Lika-liku Harley Quinn dalam Birds of Prey
De Wilde, yang kondang sebagai fotografer andal cum sutradara klip musik, juga membuktikan dirinya bisa memanjakan mata penonton dengan tone film yang berwarna. Tidak hanya piawai dalam menampilkan latar belakang kawasan selatan Inggris dengan lahan-lahan pertanian hijau nan luas, De Wilde juga menyuguhkan banyak warna seperti yang tergambar dalam kostum-kostum para aktornya dan wisma besar milik keluarga Woodhouse yang dinding-dindingnya melekat wallpaper bercorak warna beragam khas era Georgia. Properti dan wardrobe cantik dan elegan sesuai dengan masanya menambah nilai plus yang membuat penonton hanyut merasakan keotentikan era klasik Inggris itu, mengalahkan jenuh dari lambannya tempo filmnya.
“Seseorang bertanya apakah saya memodernisasi cerita (novel Jane Austen). Saya bilang tidak. Saya membuatnya lebih humanis. Juga terdapat mispersepsi bahwa di masa itu semua warna (interior rumah) cokelat dan kuning. (Padahal) Sejatinya dengan (ragam) warnalah orang-orang di masa itu menunjukkan kekayaannya,” ujar De Wilde, sebagaimana dilansir Elle, 10 Maret 2020.
Humanis jadi kata kunci yang ditonjolkan De Wilde. Detail-detail yang nyaris sempurna secara visual dalam Emma ditambah visi humanis dianggap para kritikus memberi energi baru bagi adaptasi novel klasik itu. Visi humanis disajikan De Wilde kala menonjolkan cinta dan kasih sayangnya terhadap Harriet sebagai sahabat dan menjadi kekuatan tersendiri yang sering diremehkan kaum pria di masa itu.
“Emma memang bukan contoh terbaik (karya) Austen yang diadaptasi ke layar lebar maupun layar kaca. Filmnya sendiri digarap dengan latar belakang yang indah dan alur cerita yang menghanyutkan secara konsisten. Ya, ceritanya memang familiar tapi pesona dalam filmnya sangat terasa dalam adegan-adegan kunci yang visinya diperkuat sutradara,” tulis kritikus James Berardinelli di kolom Reel Views, 14 April 2020.
Satir dan Isu Gender
Jane Austen yang hidup di era Georgian seringkali menyelipkan satir terhadap realita sosial kaum perempuan Inggris di berbagai kelas. Emma yang dirilis pada 1815 jadi salah satu karyanya yang cukup menonjol dalam menyajikan satir itu berbalut komedi ringan.
Satir-satir itu juga ditampilkan De Wilde dalam filmnya sesuai novel Austen. Namun kemudian De Wilde menambah visi humanis dalam persahabatan Emma dan Harriet sebagai penyambung semangat Austen tentang isu gender untuk disajikan kepada penonton di masa modern.
“Saya tidak ingin memodernkan ceritanya tapi menonjolkan hal-hal yang saya pikir jadi aspek humanis untuk penonton modern. Saya merasa persahabatan antara Emma dan Harriet bisa dibuat seperti cerita cinta. Saya merasa kekuatan yang muncul dari persahabatan sejati itu sering dan sangat disepelekan kaum pria,” sambung De Wilde.
Baca juga: Wonder Woman 1984 dan Nilai Kejujuran
Selain menambahkan tema persahabatan itu, De Wilde tetap “setia” menyajikan banyak satir sebagaimana yang dituliskan Austen dalam novelnya terkait isu gender di kalangan perempuan pada era Georgian dan era-era setelahnya. Era di mana kaum pria masih sangat mendominasi segala sendi kehidupan.
Di masa itu masih sangat langka perempuan yang punya nama di bidang penjelajahan, ilmu pengetahuan, ekonomi, apalagi politik. Masa di mana kehidupan kaum perempuan lazimnya masih bergantung pada kaum pria, baik itu ayah, kakak-adik laki-laki, ataupun suaminya saat sudah menikah.
“Di abad ke-18, kaum pria memegang semua kekuasaan dan kejayaan. Hukum ditulis oleh dan dibuat untuk kaum pria. Semua anggota parlemen, aparat hukum, dan segenap birokrasi di pemerintahan adalah laki-laki. Hak bagi perempuan yang menikah seperti kertas kosong. Perempuan terus-menerus diharapkan tetap berada di arena domestik, untuk melayani pasangannya, merawat anak-anak, dan mengurus rumah tangga,” tulis Mike Rendell dalam Trailblazing Women of the Georgian Era: The Eighteenth-Century Struggle for Female Success in a Man’s World.
Baca juga: Allied dan Kisah Mata-Mata Perempuan di Tengah Perang
Kalaupun perempuan dari kalangan atas dan terhormat disediakan pendidikan, itupun sekadar agar membuatnya layak jadi pilihan laki-laki untuk dinikahi dan mengurus rumah tangga dengan tata cara yang sesuai kelas sosial. Perempuan di era Georgian, lanjut Rendell, sangat jarang digambarkan punya pendidikan tinggi dalam bahasa asing atau matematika. Pun langka terdapat perempuan yang gemar membaca suratkabar untuk memperbarui wawasan tentang perkembangan politik dan ekonomi.
Hal akademik paling jamak yang bisa diterima kaum perempuan di periode itu adalah membaca dan menulis. Maka tak jarang kaum perempuan menyuarakan kegelisahan mereka di bawah dominasi kaum pria lewat karya-karya sastra, baik novel maupun puisi.
“Butuh waktu yang cukup lama bagi penulis dan pemikir perempuan untuk bersuara tentang ketidakadikan dalam kehidupan sosial dan masih saja butuh waktu yang lama lagi bagi kaum pria untuk merespon terhadap tekanan akan perubahan. Bukan berarti suara perempuan tak pernah terdengar. Hanya saja suara mereka tenggelam oleh hiruk-pikuk pencapaian kaum pria yang mendominasi era Georgian, seperti kemenangan atas Prancis dan industrialisasi di seantero Inggris,” lanjutnya.
Dalam hal pernikahan pun lazimnya kaum perempuan yang jadi pilihan. Tingkat pendidikan menentukan potensi lebih si perempuan mendapatkan calon suami dengan kelas sosial yang lebih terhormat. Ironisnya setelah menikah semua hak dan harta si perempuan tetap akan jadi milik si suami.
Faktor ini pula yang membuat Jane Austen memutuskan tidak menikah hingga ia wafat pada 18 Juli 1817 di usia 41 tahun. Sebagaimana yang diungkapkan di atas, Austen pun menyuarakan ketidakadilan dalam bentuk sastra berupa novel-novel satir: Northanger Abbey (1803), Sense and Sensibility (1811), Pride and Prejudice (1813), Mansfield Park (1814), dan Emma (1816).
Emma menjadi karya terakhir yang diterbitkan semasa ia masih hidup dan jadi karya paling dikagumi khalayak sastra Inggris. Karya yang menyuarakan isu gender lewat satir dari tokoh-tokoh dalam Emma itu nyatanya sangat disukai. Soal bakat yang dimiliki karakter Emma dan Jane Fairfax, misalnya. Keduanya digambarkan sebagai karakter cerdas, pandai bermain piano, bernyanyi, hingga melukis. Karakter Emma juga dibuat sebagai “penguasa” rumah keluarga Woodhouse, mengingat Isabella kakaknya dibawa tinggal suaminya di London, sedangkan ayahnya sangat pasif dalam aktivitas sosial karena mengidap hipokondria (kondisi psikologis berlebihan tentang kondisi kesehatan).
Baca juga: Feminisme dalam Enola Holmes
Harriet juga “dididik” Emma untuk jadi perempuan berpendidikan formal agar bisa mendapat suami terhormat, kendati asal-usul Harriet masih misterius apakah ia anak dari golongan atas, menengah, atau proletar. Austen juga membuat karakter Emma jadi primadona yang punya kebebasan memilih calon suami, berkebalikan dengan kenyataan pada era itu, di mana perempuan hanya jadi pilihan kaum pria.
Walau pada awalnya Austen menulis karyanya secara anonim, toh namanya perlahan mulai dikenal dan jadi rahasia umum di kalangan aristokrat. Putra mahkota Inggris yang kelak menjadi Raja George IV (berkuasa 1820-1830) bahkan mengagumi Emma dan karya-karya Austen lainnya.
“Suatu ketika ia (Austen) berkunjung ke London, putra mahkota mengundangnya melalui pustakawannya, James Stanier Clarke, untuk melihat-lihat perpustakaannya di Carlton House. Sang pustakawan menyebut bahwa putra mahkota mengagumi novel-novelnya dan menyampaikan bahwa jika Nona Austen punya ide akan novel berikutnya, ia dibebaskan untuk mendedikasikannya kepada sang pangeran,” tulis Ian Littlewood dalam Jane Austen: Critical Assessments.
Deskripsi Film:
Judul: Emma | Sutradara: Autumn de Wilde | Produser: Tim Bevan, Eric Fellner, Graham Broadbent, Pete Czernin | Pemain: Anya Taylor-Joy, Johnny Flynn, Mia Goth, Bill Nighy, Callum Turner, Amber Anderson, Josh O’Connor, Connor Swindells | Produksi: Perfect World Pictures, Working Title Films, Blueprint Pictures | Distributor: Focus Features, Universal Pictures | Genre: Drama-Komedi | Durasi: 124 menit | Rilis: 14 Februari 2020, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar