KETIKA menjadi mahasiswa di Belanda, Mohammad Hatta selalu serius belajar. Sekalipun banyak mahasiswi mengaguminya, dia tak menunjukkan ketertarikan. Penasaran, kawan-kawannya menyuruh seorang mahasiswa Polandia yang cantik untuk menggodanya tapi tak berhasil.
Halida Hatta, putri bungsu Bung Hatta, ini karena ayahnya ingin menyelesaikan studi dengan baik sebagai modal dasar bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” ujar Halida.
Dan selama Indonesia belum merdeka, Bung Hatta berjanji tak akan menikah.
Namun, menurut Mavis Rose, Bung Hatta sempat menaklukkan hati gadis cantik bernama Anni, anak Tengku Nurdin, seorang pengalihbahasa pemerintahan Aceh. Perekatnya bukan cinta romantis tapi semangat nasionalis –Anni adalah aktivis perempuan, pernah menjadi prasaran dalam Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung. Bahkan keduanya sudah bertunangan. “Namun romansa ini tak berlanjut ke jenjang pernikahan,” tulis Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta.
Baca juga: Kemerdekaan, kado ulang tahun Bung Hatta
Anni kemudian menikah dengan Abdul Rachim, kawan dekat Bung Karno, dan memiliki dua putri: Rachmi dan Titi.
Setelah Indonesia merdeka, Bung Hatta akhirnya menentukan gadis pilihannya. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” ujar Sukarno kepada R. Soeharto dalam Saksi Sejarah. “Setelah saya selidiki ternyata gadis pilihan Hatta itu Rahmi, putri keluarga Rachim.”
Di tengah malam, ditemani R. Soeharto, Sukarno mendatangi rumah keluarga Rachim dan melamar Rahmi untuk Bung Hatta.
Pada 18 November 1945, Bung Hatta menikahi Rahmi di sebuah villa di Megamendung, Bogor. Sebagai mas kawin, Bung Hatta memberikan buku yang ditulisnya saat dibuang di Digul pada 1934, Alam Pikiran Yunani.
Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan buku
“Apakah Hatta melihat sifat Rahmi Rachim yang sebelumnya begitu dia kagumi pada diri ibunya, dia tidak menyebutkan,” tulis Mavis. “Bahkan, dalam memoar Hatta pernikahannya hanya ditandai dengan sebuah foto pasangan pengantin.”
Halida menyebut Mavis Rose salah kaprah. Menurutnya, Anni bertemu pertama kali dengan Bung Hatta pada 1945 ketika Sukarno datang melamar Rahmi untuk Bung Hatta. “Karena Bung Hatta dan nenek saya (mertua Bung Hatta) beda usia cuma sembilan hari, maka keluarlah cerita seperti itu,” kata Halida.
Sebagai pasangan, Bung Hatta tentu saja kerap menunjukkan sisi romantis. Ketika istrinya hendak melahirkan anak pertama, Bung Hatta masuk ke kamar bersalin dengan membawa sandwich buatannya. Bung Hatta juga selalu memberikan tempat di dalam mobil yang bebas dari terpaan sinar matahari kepada istrinya ketika bepergian. Namun, di depan anak-anaknya, “mereka tak memperlihatkan bahasa tubuh yang romantis,” kata Halida.
Baca juga: Sukarno-Hatta dan kucingnya
Bung Hatta juga punya perhatian terhadap fisik istrinya. Tak suka istrinya menjadi gemuk, dia pernah meminta Raharti Subijakto, adik Rahmi, untuk mengingatkan kakaknya. “Dalam pemikiran Bung Hatta,” kata Halida, “pembicaraan akrab di antara dua orang saudara perempuan akan melunakkan sensitivitas isu kegemukan.”
Selama mengarungi biduk rumah tangga, hidup mereka aman-tenteram dengan dikaruniai tiga anak perempuan.
Meski terpaut usia 24 tahun, Rahmi bahagia dan setia mendampingi Bung Hatta. “Setiap kesempatan yang kami jalani bersama terasa indah dan berharga, seperti serangkaian permata yang berharga,” kata Rahmi.*