JENDERAL Terauchi, panglima angkatan perang Jepang di Asia Tenggara, bertemu dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat di Dalat, Vietnam, pada 12 Agustus 1945. Dia menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk menyerahkan soal kemerdekaan Indonesia kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
“Tuan-tuanlah melaksanakannya dan terserah kepada tuan-tuan sepenuhnya menentukan pelaksanaannya,” kata Terauchi.
“Kalau seminggu lagi kami laksanakan apa bisa?” tanya Sukarno.
“Terserah kepada tuan-tuan,” jawab Terauchi.
Hatta gembira luar biasa. Sebab, tanggal 12 Agustus hari ulangtahunnya. “Dalam hati kecilku aku menganggap kemerdekaan Indonesia itu sebagai hadiah jasaku sekian tahun lamanya untuk kemerdekaan Indonesia,” kata Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku Jilid 3.
Baca juga: Begini Naskah Proklamasi Dirumuskan
Sekembalinya ke Indonesia, mereka mendapatkan ucapan selamat dari Gunseikan (kepala pemerintah militer) Jenderal Yamamoto dan pejabat tinggi Jepang lainnya.
Setelah itu, Sutan Sjahrir, yang telah mengetahui kekalahan Jepang, meminta Sukarno mengumumkan kemerdekaan tanpa melalui badan bentukan Jepang, PPKI. Sukarno menolak karena dia tak mau mengambil kesempatan sendiri tanpa bersama-sama anggota PPKI. Begitu pula ketika Wikana mendesak agar proklamasi dinyatakan malam tanggal 15 Agustus dan menyatakan tidak mau proklamasi dilaksanakan PPKI karena bentukan Jepang.
Hatta menegaskan, kalau PPKI dianggap buatan Jepang serta Sukarno-Hatta dan pemimpin lain bekerjasama dengan Jepang, carilah orang lain yang belum pernah bekerjasama dengan Jepang untuk memproklamasikan kemerdekaan. “Dan kami akan berdiri di belakang mereka,” kata Hatta. “Tetapi pemuda-pemuda itu maunya Bung Karno juga.”
Baca juga: Sayuti Melik Mengubah Beberapa Kata dalam Naskah Proklamasi
Sukarno sebagai ketua PPKI dan Hatta sebagai wakilnya memerintahkan Ahmad Soebardjo untuk memanggil semua anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes untuk rapat pada 16 Agustus 1945 pagi di Gedung Pejambon (sekarang Gedung Pancasila). Semua anggota PPKI pun hadir Gedung Pejambon, sementara Sukarno-Hatta tidak.
“Jadi tidak benar, bahwa rapat itu dilarang oleh Jepang. Hanya waktu itu rapat tidak bisa berjalan karena kami berdua tidak hadir, karena pagi-pagi subuh hari itu kami dibawa ke Rengasdengklok. Dan kalaulah pagi itu kami tidak dibawa dan rapat terus berlangsung tentunya proklamasi itu telah terjadi hari itu (16 Agustus 1945),” kata Hatta dalam Bung Hatta Menjawab.
Somubuco (kepala departemen urusan umum) Mayor Jenderal Nishimura melarang rapat PPKI karena mulai pukul 13.00 tanggal 16 Agustus 1945, Jepang diperintahkan Sekutu untuk menjaga status quo.
Baca juga: Kisruh Penandatanganan Naskah Proklamasi
Sukarno-Hatta menyatakan dengan agak keras: “Tuan ‘kan orang samurai. Jenderal Terauchi di Dalat telah menyerahkan. Bagaimana dengan sumpah dan janji samurai tuan kepada kami.”
“Ya,” kata Nishimura, “kita berada dalam keadaan yang lain sekarang.”
Sukarno-Hatta bersikeras akan melaksanakan rapat PPKI. Hotel Des Indes tak memberi izin karena sesuai peraturan Jepang sejak awal pendudukan, rapat tidak boleh dilaksanakan lewat pukul 22.00.
Akhirnya, Laksamana Maeda, kepala penghubung Angkatan Laut Jepang yang bersimpati pada perjuangan Indonesia, meminjamkan rumahnya di Jalan Myakodori (dulu Jalan Orange Nassau Boulevard). 21 anggota PPKI dan beberapa pemuda hadir di rumah tersebut. Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo merumuskan proklamasi di rumah yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1 Menteng Jakarta. Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus pukul 10.00, Sukarno membacakan proklamasi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.