USAI mengikuti Misi Yani keliling Eropa untuk membeli senjata, awal 1960-an, Hasjim Ning keponakan Bung Hatta yang pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, mampir ke Tokyo bersama Mayjen A. Yani (deputi II KSAD). Mereka dijemput istri masing-masing di sana. Keduanya lantas menginap di sebuah hotel yang sama di Tokyo.
Saat di hotel itulah Hasjim mendapati istrinya, Ivonne, digoda seorang pria Jepang. Perkataan-menggoda pria itu didengar Hasjim maupun Yani.
“Kurang ajar banget itu Jepang. Pukul saja, Pak Hasjim,” kata Yani yang geram, dikutip Hasjim dalam otobiografinya yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
“Kompor” Yani membuat dada Hasjim makin membara. Sejurus kemudian, dia langsung melayangkan tinjunya ke pria Jepang tadi sambil mengucapkan kalimat bakero omae. Si Jepang langsung tersungkur dan mengundang kedatangan security hotel. Hasjim pun menjelaskan dan si pria penggoda tadi langsung diusir security.
Momen di Tokyo itu hanya satu dari sekian banyak kisah persahabatan Hasjim dengan Yani. Keduanya saling percaya bukan hanya urusan kerjaan namun juga urusan pribadi.
“Aku mengenalnya sudah lama. Semenjak zaman penjajahan Belanda. Di Bogor,” kata Hasjim mengenang.
Kedekatan itulah yang membuat Yani kerap meminta bantuan atau mengajak Hasjim dalam urusan-urusan penting. Salah satunya, mengikuti Misi Yani.
“Khusus mengenai tugasku ialah untuk mengimpor kendaraan untuk keperluan militer, seperti jip dan truk, secara komersial dengan pembayaran lima tahun atas jaminan Bank Indonesia,” kata Hasjim.
Baca juga: Misi Pengusaha Sebelum Supersemar
Saat Yani dirundung fitnah korupsi menjelang pengangkatannya sebagai KSAD karena kedapatan memiliki sebuah sedan Mercedes Benz baru, Hasjim membelanya. Kepada Presiden Sukarno, yang –ingin memastikan calon panglima AD-nya itu bebas dari skandal– memanggil Hasjim ke Istana, Hasjim pun menjelaskan duduk perkaranya.
“Kepada Bung Karno aku terangkan bahwa Mercedes itu diperoleh A. Yani atas usaha aku dengan Suwarna yang menjadi dealer Mercedes di Indonesia. Dan persetujuan perwakilan Mercedes. Sehingga harganya memperoleh banyak korting,” kata Hasjim.
Permasalahan yang dihadapi Yani pun clear. Beberapa waktu kemudian, Presiden Sukarno mengangkat Yani menjadi orang nomor satu di angkatan darat menggantikan Jenderal Nasution.
Kepercayaan Yani pada Hasjim bahkan dibuktikan dengan sampai pernah mengajaknya ikut pendaratan pasukan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) di Sumatera Barat ketika Yani dipercaya KSAD AH Nasution memimpin Operasi 17 Agustus untuk memadamkan gerakan PRRI.
“Operasi militer ini khusus untuk memadamkan pemberontakan PRRI di Sumatera Tengah (Sumatera Barat dan Riau) dengan mengerahkan pasukan besar yang terdiri dari ketiga Angkatan Perang. Selain Kolonel A. Yani operasi ini dipimpin pula oleh Kolonel (L) John Lie dan Letnan Kolonel (U) Wiriadinata,” tulis sejarawan Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Liku-Liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa.
Sebagai “orang awak”, pengetahuan dan jaringan Hasjim tentu amat diperlukan Yani. Pengetahuan itu pula yang membuat Hasjim bisa mengeluarkan joke yang awalnya tak dipahami Yani ketika keduanya bertemu setelah operasi selesai. Yani membuka obrolan dengan mengomentari pertahanan pasukan PRRI yang rapuh. “Bagaimana itu orang awak, Pak Hasjim. Masa tidak satu pun tembakan mereka menyambut kami ketika mendarat. Padahal, aku mendarat naik drum kosong,” kata Yani.
Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta
“Kabarnya, pada mulanya Pak Yani mau mendarat di pantai Pariaman pada waktu subuh. Tapi demi melihat banyaknya pasukan dengan meriam pantai terarah ke laut pada waktu subuh itu, Pak Yani lantas mengalihkan pendaratan ke pantai utara Padang,” jawab Hasjim sambil membanyol.
“Itu tidak benar. Siapa yang bilang itu?” kata Yani serius karena tak paham maksud Hasjim membanyol.
Hasjim hanya tertawa tahu Yani tak paham banyolannya. Banyolannya baru dipahami Yani dalam lain kesempatan ketika keduanya bertemu.
“Kemudian aku buat joke bahwa ia membatalkan pendaratan di pantai Pariaman pada waktu subuh karena melihat pasukan meriam pantai PRRI telah menanti dengan jumlah yang sulit dihitung, sehingga ia mengalihkan pendaratan ke pantai utara Kota Padang. Padahal, yang dilihatnya itu hanyalah penduduk yang sedang buang air,” kata Hasjim.
Yani yang akhirnya paham banyolan itupun langsung terpingkal-pingkal.
“Joke itu lama sekali terkesan padanya, sehingga sampai keluar air matanya karena tertawa. Cerita yang aku sampaikan itu hanyalah joke orang awak di Jakarta, tentang kebiasaan penduduk pesisir yang berak di tepi pantai waktu subuh, lalu dihubungkan dengan pendaratan A. Yani yang sukses itu."