Letnan Kolonel Soegih Arto ingin sekali menjadi diplomat. Menurut kabar yang dia dengar dari handai taulan, kerja sebagai abdi negara di luar negeri itu enak. Gaji cukup untuk hidup dan kalau pandai mengatur keuangan dapat ditabung sebagai bekal pulang ke Indonesia. Soegih Arto pun pernah kesengsem melihat Susanto Tirtoprodjo, duta besar Republik Indonesia (RI) untuk Belanda yang selalu tampil berpakain rapi dan naik-turun mobil kemana-mana.
Masa magang sebagai diplomat mungkin sudah dijalani Soegih Arto sewaktu menjabat Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) di Medan tahun 1956. Meski sebentar, setidaknya Soegih sudah memiliki kontak dengan konsul-konsul dari India, Amerika Serikat, Tiongkok, dan dan Inggris. Soegih Arto dan istri kerap diundang dalam hajatan ulang tahun negara-negara tersebut. Dia bangga benar ketika diajak ikutan toast gelas sebagai tanda selamatan. Serasa jadi orang penting, katanya.
Dalam otobiografinya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto, ada kisah lucu kala dirinya bersua dengan konsul Tiongkok yang hanya mau berbicara dalam bahasa Tionghoa. Sementara Soegih Arto mempergunakan bahasa Indonesia. Perkara beda bahasa ini bikin pekerjaan penerjemah jadi semakin rumit. Kalau si konsul berlelucon, ia sudah ketawa duluan baru Soegih Arto menyusul setelah diterjemahkan. Sebaliknya, giliran Soegih Arto yang menceritakan lelucon, maka dia tertawa lebih dulu, lalu sang konsul ikutan terpingkal setelah penerjemah menceritakan ulang dalam bahasa Tionghoa. Akhirnya, mereka pun tertawa lagi bersama-sama. Makan waktu tapi kocak.
Baca juga: Bing Slamet Adu Lucu Lawan Joey Adams
Soegih Arto senang bukan kepalang ketika ditunjuk untuk mengikuti kursus atase militer. Penunjukan ini berarti selangkah lagi menuju penugasan ke luar negeri. Pada 21 September 1959, Soegih Arto diangkat sebagai Konsul Jenderal (Konjen) di Singapura menggantikan Mayor Jenderal G.P.H. Djatikusumo. Sebenarnya, jabatan ini sama dengan duta besar namun Singapura masih berada di bawah protektorat Inggris. Maka kedudukan resmi Soegih Arto adalah Konjen KBRI di London. Pangkatnya naik setingkat jadi kolonel.
“Persiapan mental telah matang. Cara makan mempergunakan pisau dan garpu sudah bisa, rapi dan teratur asalkan dagingnya empuk,” celoteh Soegih Arto dalam Sanul Daca.
Setelah beberapa minggu menginap di Hotel Des Indes, Jakarta, Kolonel Soegih Arto berangkat ke Singapura. Dia memboyong serta istri dan sepuluh anaknya. Setiba di Singapura, Soegih Arto menempati rumah besar yang terletak di Patterson Road No. 33. Rumah itu dilengkapi lapangan tenis dan mobil bagus dengan tiang bendera Merah Putih. Senang hati Soegih Arto karena harapannya terkabul.
Baca juga: Para Pelancong Mencatat Sejarah Singapura
Hari-hari dilakoni dengan menjamu tamu yang datang ke konsulat. Saat itu, Singapura mulai tumbuh menjadi destinasi wisata belanja. Konsulat menjadi tempat yang dikunjungi orang Indonesia dengan kepentingan macam-macam. Ada tamu yang akan pulang ke Indonesia namun ingin shopping dulu. Ada tamu yang akan bertugas ke luar negeri dan ingin berbelanja untuk perlengkapannya. Ada pula yang datang ke konsulat sekadar singgah untuk beristirahat.
Apabila membandingkannya dengan tugas tentara lapangan, Soegih Arto merasakan suasana dinas yang lebih menyenangkan di Singapura. Iklim persis sama dengan di Indonesia. Makanan berlimpa ruah, buah-buahan tersedia dalam banyak ragam serta dalam jumlah yang cukup. Barang apa saja ada. Kemampuan bahasa Inggrisnya sudah cukup lumayan.
Di Singapuralah untuk kali pertama Soegoh Arto mengenal klub malam. Untuk alasan kesehatan, sebenarnya sang kolonel tidak tertarik ke tempat plesiran duniawi itu. Akan tetapi ada kalanya dia mesti berkunjung ke klub malam untuk mengantar tamu sekaligus agar tidak dipandang kolot dan udik.
Baca juga: Sejarah Klub Malam di Indonesia
“Kepergian ke night club adalah sebagai sarana membulatkan tekad dan pengalaman,” ujar Soegih Arto. “Masakan orang ramai membicarakan night club, kita diam seribu bahasa, padahal kita bertugas di luar.”
Selama menjalankan tugas diplomatik di luar negeri, Soegih Arto mendapat berbagai tawaran fasilitas. Akan tetapi, tidak semua fasilitas itu dapat dia nikmati. Sebagai diplomat, rokok murah karena tidak dikenai cukai namun Soegih Arto tidak merokok. Begitu pula dengan minuman keras yang bebas cukai tapi Soegih Arto juga bukan peminum. Tapi, Soegih Arto ketiban rejeki soal bensin,
“Sebagai diplomat, bensin murah karena tidak dikenakan cukai, nah . . . ini baru bermanfaat,” katanya.
Baca juga: Haji Agus Salim, Diplomat yang Melarat
Salah satu capaian penting Soegih Arto sebagai konjen di Singapura adalah membangun Wisma Indonesia. Gedung itu dimaksudkan untuk menyatukan semua perusahaan dan kantor Indonesia di bawah satu atap. Lokasinya terletak di Orchard Road, jantung kota Singapura yang merupakan pusat keramaian. Setelah pembangunan rampung pada 1964, gedung itu dipergunakan untuk dinas, pusat bisnis dan hiburan, termasuk kuliner. Seluruh gedung dikelililngi dengan tembok ukiran Bali yang menceritakan riwayat Ramayana.
Sayang sekali ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia memuncak, gedung Wisma Indonesia direbut oleh pemerintah Malaysia. Bangunan itu baru dikembalikan pada 1965, setelah pemisahan Singapura dengan Malaysia. Namun pada 1983, pemerintah Singapura menghancurkan gedung tersebut untuk dijadikan kawasan pertokoan. Lewat ganti rugi, Wisma Indonesia dipindahkan ke Chatsworth Road.
“Sayang sekali gedung yang demikian megahnya, dijual, diambrukkan dan diadakan ruislag dengan daerah yang jauh dari pusat kota,” kenang Soegih Arto.