MOUNTING meriam, parapet, dan hoist-nya di beberapa bagian sudah berlumut. Laras meriam 6 incinya yang moncongnya menghadap ke arah Selat Pandan itu pun sudah sedikit berkarat. Pun cat tiga patung krunya, sudah mulai mengelupas.
Meski begitu, monumen di Benteng Pasir Panjang tersebut tetap berfungsi baik sebagai pengingat gigihnya pertahanan Singapura saat diinvasi Jepang di pekan kedua Februari 1942. Terlebih, monumen yang juga acap dikenal sebagai Baterai Labrador itu sangat tertata rapi saat dikunjungi penulis pada medio September 2014.
Tak semua sisa-sisa situs baterai ditampilkan lengkap, memang. Beberapa objek situs lain hanya tersisa mounting, parapet, dan hoist tanpa meriamnya.
Menurut Yusof Mahmud, guide dari Singapore Tourism Board (STB), meriam yang dimaksud di atas hanya salah satu bekas meriam yang mirip dengan yang pernah ditempatkan di Baterai Labrador. Meriam yang ditampilkan itu merupakan temuan meriam yang terkubur di situs Kamp Beach Road pada Maret 2001. Oleh National Heritage Board, meriam itu lalu ditempatkan di Baterai Labrador, dilengkapi dengan tambahan tiga patung kru yang sedang mengoperasikan meriam.
“Meriamnya menghadap ke laut karena mengira serangan akan datang dari laut. Tetapi ternyata musuh (Jepang, red.) menyerang dari utara,” kata Yusof dengan logat Melayu kental.
Jepang ternyata menyerang dari arah Johor di ujung selatan Semenanjung Malaya dan Pantai Sarimbun di pesisir utara Singapura, bukan seperti yang diperkirakan. Akibatnya meriam-meriam itu mesti diputar-balik untuk membantu upaya pasukan gabungan Brigade Inggris-Brigade Melayu menahan laju ofensif Jepang dari arah belakang, yakni Bukit Chandu, dalam Pertempuran Pasir Panjang pada 11-15 Februari 1942.
Baca juga: Januari “Ngeri” di Shanghai
Pertahanan Terakhir dan Kejatuhan Singapura
Pantai Pasir Panjang sejak pertengahan abad ke-19 sudah merupakan kawasan wisata. Banyak orang Eropa membangun resor, rumah-rumah peristirahatan, hingga paviliun-paviliun pribadi di sana untuk menikmati keindahan di pantai dan tebing-tebing eksotis di sisi timurnya.
Menurut informasi di salah satu papan petunjuk, beberapa dari resor dan paviliun itu punya tembok laut pribadi untuk dinikmati secara private serta sekaligus memisahkan wilayah properti pribadi dengan kawasan umum. Sekitar tahun 1895, deretan perbentengan dibangun di sana hingga semua resor dan paviliun itu sudah rata dengan tanah digantikan pos-pos senapan mesin dan kawasan pada 1940. Kawasan wisatanya lalu ditutup dengan pagar kawat berduri serta ranjau-ranjau di pantainya.
Berdasarkan rencana pertahanan satu dekade sebelumnya, kawasan Pasir Panjang ini pun diperkuat dengan bangunan perbentengan serta Baterai Labrador. Lantaran potensi ancaman Jepang, baterainya dibangun berbarengan dengan pembangunan Baterai Berlayer dan penambahan meriam di Benteng Siloso yang terletak di Pulau Belakang Mati (kini Pulau Sentosa).
“Struktur Benteng Labrador memiliki kemiripan dengan Benteng Kedungcowek. Penempatan mounting meriam, hoist recess, minor recess, dan parapet nyaris sama dengan benteng di pantai Surabaya tersebut. Satu perbedaan yang kentara adalah pada beberapa titik mounting/peletakan meriam. Meriam-meriam yang ditempatkan di sini diharapkan bisa bekerja tandem dengan meriam-meriam di Benteng Siloso yang dibangun di Pulau Sentosa,” tulis Ady Setyawan dalam Benteng-Benteng Surabaya.
Baca juga: Rebut Manila!
Ancaman Jepang pada 1941 makin terasa bagi Inggris di Singapura, yang dijuluki “Gibraltar Timur Jauh”oleh Perdana Menteri Winston Churchill. Oleh karenanya, di awal Februari, Singapura dipertahankan oleh sedikitnya 85 ribu serdadu. Tulang punggungnya berasal dari Korps ke-3 British India yang dibantu Divisi ke-18 Angkatan Darat (AD) Inggris, Divisi ke-8 AD Australia, serta Resimen Malaya. Keseluruhannya berada di bawah tanggungjawab pimpinan Malaya Command Letjen Arthur Percival.
“Tetapi 15 ribu di antaranya adalah non-kombatan, melainkan staf administrasi atau dipekerjakan untuk suplai logistik. Sisanya berasal dari pasukan gabungan di garis depan dan garis kedua. Memang kemudian pasukannya diperkuat Divisi ke-18 pimpinan Mayjen Merton Beckwith-Smith tapi kurang latihan yang mumpuni dan belumlah berpengalaman,” ungkap Lionel Wigmore dalam The Japanese Thrust: Australia in the War of 1939-1945.
Sekira 60 ribu serdadu itu disebar di segala penjuru. Benteng Pasir Panjang/Baterai Labrador hanya diperkuat sekira 1.400 personel dari Brigade India ke-44 dan Brigade Malaya ke-1 pimpinan Letkol JRG Andre. Khusus baterai-baterainya diawaki kru Resimen Artileri Pantai ke-7 dari Faber Fire Command yang dipimpin Brigadier AD Curtiss. Mereka tak hanya mengawaki dua meriam pantai QF Mk. II kaliber 6 inci tapi juga sepasang meriam RML 7 inci.
Sementara, untuk menginvasi Singapura, Jepang mengandalkan 36 ribu serdadu AD ke-25 yang terbagi dalam tiga divisi dan dibantu sejumlah kapal angkut Angkatan Laut (AL) Jepang. Rencana invasi Singapura dengan operasi amfibinya dipercayakan ke pundak Jenderal Tomoyuki Yamashita.
Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor
Pada sekira pukul 11 malam 8 Februari, 13 ribu pasukan Jepang yang terbagi dalam 16 batalyon serbu mendarat di delapan titik di Pantai Sarimbun dari arah Johor. Mereka dengan mudah memukul mundur pasukan Brigade ke-22 Australia –yang hanya berkekuatan 3 ribu personel– dari kubu-kubu pertahanan pantainya.
Keberhasilan serangan Jepang itu juga dimungkinkan oleh realita kekuatan udara Inggris yang nyaris lumpuh. Pasalnya, pada 8-9 Februari pagi pesawat-pesawat pembom G3M dan G4M Divisi Udara ke-3 AD Jepang turut menyerang basis Skadron 232 RAF (AU Inggris) di Pangkalan Kallang.
Pantai Sarimbun jatuh ke tangan Jepang pada 9 Februari. Dalam Pertempuran Kranji (9-10 Februari), pasukan gabungan Dalforce –merupakan milisi Cina anti-Jepang– dan Brigade ke-27 Australia dipukul pasukan Divisi Kekaisaran pimpinan Jenderal Takuma Nishimura. Nasib masing-masing dua brigade British India dan Brigade Australia pun setali tiga uang di Pertempuran Bukit Timah (10-12 Februari).
Maka mulai tengah hari 11 Februari, Pertempuran Pasir Panjang pun dimulai dengan serangan artileri Jepang ke Benteng Labrador dan Benteng Siloso. Selepas dua hari bertukar tembakan artileri, pada 13 Februari petang pasukan Divisi ke-18 Jepang bermanuver ke Ayer Rajah Road dan punggung bukit Pasir Panjang di pesisir barat daya.
Baca juga: Yang Tercecer dari Pertempuran Biak
Sementara, Letkol Andre menyebar 1.400 personelnya untuk mempertahankan punggung bukit Pasir Panjang dan Bukit Candu. Pasukannya berasal dari Brigade India ke-44 pimpinan Kapten HR Rix dan Kompi C Brigade Malaya ke-1 pimpinan Letda Adnan Saidi.
“Bukit Candu memiliki arti strategis. Jika Bukit Candu jatuh, Jepang akan punya akses tanpa halangan lagi ke area Alexandra yang jadi kunci instalasi militer, baik pergudangan amunisi hingga depot-depot perbekalan. Letnan Adnan dan peletonnya ditugaskan mempertahankan Bukit Chandu walau pasukannya kalah jumlah,” tulis Danny Jalil dan Zaki Ragman dalam Lieutenant Adnan and The Last Regiment.
Sekira pukul 8.30 malam pada 14 Februari jelang Hari Raya Imlek, pasukan Letda Adnan mati-matian membendung gelombang ofensif Jepang sampai petang keesokan harinya. Sengitnya pertempuran sempai mengubahnya menjadi pertempuran jarak dekat menggunakan bayonet.
Garis pertahanan di Bukit Chandu akhirnya ditembus pasukan Jepang jelang malam lewat serangan dengan penyamaran menggunakan seragam pasukan British India lengkap dengan turbannya. Letda Adnan tertangkap, beberapa anggota pasukannya kocar-kacir menyelamatkan diri ke Benteng Labrador.
Baca juga: Pertempuran Alot di Pantai Utara Papua
Dua jam pasca-Bukit Chandu jatuh, pasukan Jepang melancarkan serangan “Banzai” ke sisa-sisa kubu pertahanan Inggris, termasuk Benteng Labrador. Para kru meriam yang mempertahankan benteng pun tak berdaya menahan serangan hingga jadi korban pembantaian. Dari total 1.400 personel kekuatan pasukan gabungan Inggris, hanya 30 personel yang mampu menyelamatkan diri.
“Resimen Malaya memperlihatkan apa artinya disiplin dan esprit de corps. Garnisun-garnisun yang ada di pos-pos bertahan mati-matian dan banyak dari mereka dihabisi, hampir menyisakan seorang prajurit saja,” kenang Letjen Percival, dikutip Donald J. Young dalam Final Hours in the Pacific: The Allied Surrenders of Wake Island, Bataan, Corregidor, Hong Kong and Singapore.
Benteng Labrador jadi salah satu kubu pertahanan Singapura terakhir yang direbut Jepang. Jatuhnya Bukit Chandu dan Benteng Labrador membuat Jepang leluasa masuk ke wilayah Alexandra untuk merebut instalasi-instalasi penting. Di Rumahsakit Militer Alexandra-lah mereka membantai para dokter dan pasien.
Letjen Percival yang bermarkas di Benteng Canning pada 15 Februari pagi memutuskan untuk menyerah. Upacara kapitulasi berlangsung malamnya di sebuah gedung pabrik mobil Ford di Bukit Timah yang sudah dikuasai Jepang. Delegasi militer Inggris yang menyerah diterima Jenderal Yamashita. Penurunan bendera Inggris dan dikibarkannya panji matahari terbit di gedung tertinggi di Singapura saat itu, Cathay Building, merampungkan upacara kapitulasi itu.
Baca juga: Panji Matahari Terbit di Bali