Masuk Daftar
My Getplus

Kelucuan Dono di Luar Film

Selama meneliti di Serpong, Dono mencari alasan berkenalan dengan gadis cantik. Berhenti mengajar karena merasa kurang membaca.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 26 Jul 2020
Dono bersama Kasino dan Indro. Punya cerita lucu di luar film. (Dok. Andika Aria Sena).

Prof. Paulus Wirutomo, guru besar sosiologi Universitas Indonesia (UI), tertawa terbahak dan menggeleng-gelengkan kepalanya ketika mengingat peristiwa itu. Semasa mahasiswa pada dekade 1970-an, Paulus berkarib dengan Wahyu Sardono atau Dono Warkop, adik kelasnya di jurusan sosiologi UI.

Paulus dan Dono sempat melakukan penelitian bareng di suatu desa di Serpong, Tangerang, selama 1974–1975. Kala itu Serpong masih jauh dari sentuhan pembangunan. Dokter pun tak ada. Maka, Serpong menjadi daerah prioritas untuk dikembangkan melalui program kerja sama antara universitas, pemerintah, dan lembaga penelitian dari dalam dan luar negeri.

Orang-orang Serpong senang dengan program pengembangan wilayah mereka. Penyambutan mereka terhadap peneliti, mahasiswa, dan pegawai pemerintahan sangat hangat. Penduduk bahkan membuka rumahnya kepada sejumlah mahasiswa, termasuk Paulus dan Dono, untuk ditempati sementara.

Advertising
Advertising

Sebagai mahasiswa sosiologi, Paulus dan Dono bertugas menggali kondisi penduduk. Mereka menyebarkan kuesioner ke sejumlah penduduk. Suatu hari, Paulus dan Dono memperoleh pinjaman sepeda motor. Mereka berkeliling desa dengan menenteng map berisi kuesioner.

Baca juga: Dono Mahasiswa Kritis

Di tengah jalan, mata Paulus dan Dono menangkap seorang perempuan desa berdiri di beranda rumah. Perempuan desa itu beradu tatap dengan Paulus dan Dono yang sedang motoran. Lalu dia melempar senyum ke mereka. “Aih, manis sekali,” batin Paulus.

Dono tiba-tiba meminta Paulus putar balik sepeda motornya. “Ayo, kita mampir aja,” kata Dono. Mereka ingin berkenalan dengan perempuan itu. Tapi mereka harus mengatur siasat. Sebab ada adat desa setempat yang harus dihormati. “Tidak sopan kalau perempuan ngobrol-ngobrol sama laki-laki,” kenang Paulus.

Kemudian Paulus dan Dono menemukan siasat jitu. Mereka mengaku ingin bertemu kepala keluarga pemilik rumah, yaitu ayah si perempuan. Mereka bilang ingin mengumpulkan sejumlah data dan mewawancara sang ayah. “Bapaknya tidak curiga. Padahal dia bukan termasuk responden kami,” ujar Paulus terkekeh.

Obrolan pun mengalir. Paulus dan Dono sesekali celingak-celinguk mencari si perempuan. Yang dicari akhirnya datang. Dia membawa dua gelas teh untuk tetamunya. Sembari sok serius ngobrol dengan ayah si perempuan, mereka menyesap teh itu.

Waktu bersua telah berakhir. Paulus dan Dono minta pamit kepada pemilik rumah. Dalam perjalanan pulang, Paulus berkata, “Don, tehnya manis banget!”

“Iya. Kemanisan,” balas Dono.

Rupanya Paulus dan Dono saling menahan rasa kemanisan teh itu di hadapan ayah perempuan. “Saya sama Dono diam saja. Hahaha,” ujar Paulus. Mereka sama-sama menduga, jangan-jangan perempuan itu menuang terlalu banyak gula karena kelewat senang melihat mereka.

Baca juga: Dono dan Artikel-Artikelnya

Paulus dan Dono kemudian berpisah jalan setelah lulus kuliah. Paulus menapaki dunia akademis dengan melanjutkan kuliah di Inggris, sedangkan Dono menjejaki semesta film dengan membesarkan Warkop bersama Kasino dan Indro. "Masa ini kalau dibilang kami dekat secara fisik, enggak ya. Tapi kami dekat secara hati. Ini kami kuat banget," kata Paulus. Mereka tetap saling berkabar melalui surat.

Ketika di Inggris, Paulus memperoleh surat dari Dono. Dia langsung tergelak-gelak saat membaca salam pembukanya. 'Kepada yang tidak terhormat, Paulus Wirutomo', begitu Dono menulisnya. "Jadi ya itulah. Si Dono emang konyol banget," ujar Paulus.

Ada lagi cerita lainnya. Masih dari desa tempat Paulus dan Dono meneliti. Kali ini Dono didatangi seorang ibu. Bibir ibu itu agak sumbing sehingga omongannya kurang jelas. Kepada Dono, ibu itu bercerita tentang penyakit suaminya. Dono mendengarkan dengan sabar. Beberapa hari kemudian, perempuan itu datang lagi. Dono bertanya tentang kondisi suaminya.

“Sudah meninggan,” jawab si ibu.

“Oh, sudah mendingan ya, Bu. Sudah bagus ya, Bu,” kata Dono.

“Bukan mendingan. Tapi meninggan.”

“Apa, Bu? Meninggan? Meninggan?

“Meninggan… Meninggan…”

“Oh, Meninggal?”

Ibu itu mengangguk. “Jadi, Dono salah paham. ‘Meninggan’ itu maksudnya meninggal,” kata Paulus.

Baca juga: Dono dan Novel-novelnya

Sementara itu, Rani Toersilaningsih, adik perempuan kedua Dono, punya cerita tak kalah lucu. Saat Dono remaja, dia ingat ayahnya suka sekali mengajak Dono dan dirinya menonton wayang kulit. Sehabis menonton, sang ayah akan mengumpulkan anak-anaknya dan mengajak mereka berdiskusi tentang pertunjukan wayang tersebut.

Tapi ketika menonton wayang kulit, Dono sering memisahkan diri dari keluarganya. “Mas Dono itu selalu menonton di belakang dalang,” kata Rani. Semula dia tak tahu mengapa Dono begitu. Hingga suatu hari Dono mengajaknya menonton di belakang dalang.   

Rani melihat banyak makanan enak di dekat dalang. Penanggap wayang menyediakan semuanya untuk dalang. Biasanya, dalang menyantapnya saat beristirahat atau setelah pementasan. Tapi dalang tak selalu mampu menghabiskannya. Jika makanan tak habis, dalang akan membaginya ke orang yang ada di dekatnya. “Nah, Mas Dono menunggu itu.” ungkap Rani.

Cerita lucu lainnya terjadi ketika Rani menginjak bangku kuliah di Universitas Indonesia pada 1977. Saat itu Dono sudah masuk tahap penyusunan skripsi. Tapi dia masih ikut berdemonstrasi menentang penindasan terhadap kebebasan berpendapat.

Kepada Dono, Rani mengaku tertarik bergabung demonstrasi. Tapi Rani memperoleh tanggapan tak terduga dari Dono. “Kamu pulang, deh. Kamu nggak usah demo-demoan. Kamu di rumah saja,” pinta Dono.

Baca juga: Jodoh Dono Ditunjukkan Jailangkung

Menurut Rani, hal ini mirip dengan kejadian pada adik pertama Dono. Dia sangat ingin menjadi bintang film seperti Dono. Tapi Dono justru melarangnya.

“Kamu tahu nggak, main film itu seperti apa? Saya lebih suka kamu jadi guru daripada kamu jadi artis,” kata Rani menirukan ucapan Dono kepada adik perempuan pertamanya.

Soal film inilah yang menjadi alasan Dono berhenti mengajar di kampus. Rani bercerita bahwa Dono sempat menjadi pengajar tamu di Universitas Indonesia pada 1980-an. “Kadang-kadang dia diundang juga untuk mengajar kelas-kelas luar biasa di UI,” kata Rani.

Tapi sebagian besar waktu Dono tersita untuk bermain film dan manggung dengan grup Warkop. Dia tak sempat lagi membaca banyak buku sehingga merasa ilmunya tak cukup untuk mengajar. “Lah, kalau saya mengajar tapi mahasiswanya lebih pintar dari aku, kan repot,” cerita Dono kepada Rani.

Dono pernah mengutarakan hal serupa dalam Femina, 4 Oktober 1983. Dia bilang semasa mahasiswa dirinya masih mampu mengikuti perkembangan ilmu sosial. Tapi setelah lulus, dia mengaku tidak begitu mengerti lagi perkembangannya.

“Mungkin karena saya kurang banyak membaca. Karena itulah kalau sekali tempo ada yang memperkenalkan saya: Ini Dono sarjana ilmu sosial lulusan UI, saya malah deg-degan,” kata Dono.

TAG

dono warkop dki komedi

ARTIKEL TERKAIT

Dono dan Karikatur-karikaturnya Dono Mahasiswa Kritis Jodoh Dono Ditunjukkan Jailangkung Dono dan Artikel-Artikelnya Mak Wok, Pemeran Film Sepanjang Zaman Kala Fisik Jadi Bahan Tawa Ini Baru Namanya Mainan Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi Kisah Sabidin Bangsawan Palsu