BANYAK orang di negeri ini mengagumi Presiden Republik Indonesia ke-3 itu, baik sebagai ahli teknologi maupun tokoh politik. Prestasinya begitu membanggakan, hingga sosoknya digandrungi.
Namun di balik tokoh yang diidolakan banyak orang ini ternyata ada sosok-sosok lain yang menjadi panutannya. Dalam otobiografinya, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia menuju Demokrasi, Habibie pernah mengungkapkan kekagumannya kepada sejumlah tokoh nasional.
“Seperti setiap orang, saya juga memiliki idola, selain orang tua yang melahirkan dan membesarkan saya,” ungkap Habibie.
Baca juga: Menelusuri Leluhur BJ Habibie
Sukarno
Presiden Republik Indonesia yang pertama ini lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901. Dalam beberapa narasi sejarah disebutkan bahwa Sukarno lahir di lingkungan bangsawan Bali dari keluarga ibunya, Ida Nyoman Rai; dan bangsawan Kediri dari keluarga ayahnya, Raden Sukemi Sosrodihardjo.
Bersama tokoh nasional lainnya, Sukarno menjadi corong pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kegigihannya menentang imperialisme, sejak duduk di bangku kuliah, sering kali membuat ia terlibat dalam perselisihan dengan pemerintah Belanda. Pemikirannya juga dianggap berbahaya sehingga para pejabat kolonial selalu mencoba menekan keberadaannya dengan cara diasingkan.
Namun usaha pemerintah kolonial itu nyatanya tidaklah cukup. Sukarno terus berusaha menggapai kemerdekaan yang bangsa ini cita-citakan. Sampai akhirnya perjuangan itu mampu dibayar pada 17 Agustus 1945 melalui pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
“Presiden Soekarno yang memberi nasionalisme dan patriotisme,” ucap Habibie.
Dalam berbagai kesempatan Habibie sering menyinggung peran Sukarno di dalam kehidupannya. Seperti ketika ia membacakan orasi ilmiah saat acara peluncuran Habibie Institute for Public Policy and Governance (HIPPG) di Universitas Indonesia, Depok pada 25 Juni 2019.
Sejak 28 Januari 1974, Habibie sudah terlibat di dalam pekerjaan yang sama dengan tokoh-tokoh idolanya. Tetapi tidak dengan Sukarno. Si Bung meninggal dunia (21 Juni 1970) sebelum Habibie sempat secara langsung bekerja bersamanya.
Meski begitu, Sukarno menjadi salah satu sosok penting bagi Habibie. Kesempatan belajar teknik penerbangan di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule Aachen, Jerman yang ia dapatkan merupakan program yang dijalankan Sukarno sekitar tahun 1950-an. Saat itu pemerintah Indonesia mengirim putra-putri terbaiknya ke luar negeri untuk belajar. Mereka dipersiapkan menjadi seorang profesional yang nantinya akan dilibatkan dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Sukarno, kenang Habibie, pernah melarangnya untuk pulang ke Indonesia. Sang presiden meminta Habibie tinggal dan masuk ke dunia industri di Jerman. Ia baru boleh pulang saat Indonesia membutuhkannya.
Baca juga: Warisan Habibie untuk Indonesia
Soeharto
Soeharto dilahirkan pada 8 Juni 1921 di Yogyakarta. Ayahnya, Kertosudiro, merupakan seorang petani dan pejabat rendah di kelurahan, sementara ibunya bernama Sukirah. Soeharto memulai karier kemiliterannya di Republik ini setelah resmi diangkat menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945.
Di sana karirnya meningkat dengan cepat. Jauh sebelumnya, Soeharto memulai karir militernya sebagai seorang sersar KNIL. Kemudian ikut terlibat di dalam PETA sebagai komandan. Pada 1 Maret 1949, Soeharto berhasil memimpin upaya perebutan kota Yogyakarta. Ia juga menjadi salah seorang perwira kesayangan Panglima Besar Sudirman.
Saat meletusnya Gerakan 30 September 1965, Suharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Ia lalu dikukuhkan sebagai Panglima Angkatan Darat oleh Sukarno. Pada Maret 1967, melalui Sidang Istimewa MPRS, Soeharto dikukuhkan menjadi presiden, menggantikan Sukarno. Selama 30 tahun selanjutnya, Suharto memegang jabatan tertinggi pemerintahan Indonesia.
“Presiden Soeharto yang menjadi panutan sebagai pemimpin pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan budaya kepimpinan Jawa,” ucap Habibie.
Perkenalan Habibie dengan Suharto telah berlangsung lama. Kali pertama keduanya bertemu terjadi di Ujungpandang (sekarang Makassar) pada 1950. Habibie yang memang menghabiskan masa kanak-kanaknya di sana berjumpa dengan Soeharto saat sang Overste (komandan setara letnan kolonel) dari Tentara Teritorium IV/Diponegoro memimpin pasukannya menumpas pemberontakan Andi Azis di Makassar.
“Sulit bagi saya untuk menulis mengenai Presiden Soeharto tanpa orang meragukan objektivitasnya. Kenyataan ini saya terima, karena memang saya mengenal Pak Harto sebagai seorang perwira berusia 28 tahun yang gagah, rendah hati, bahkan pemalu, sejak saya berusia 13 tahun pada 1950,” kata Habibie.
Setelah itu kesibukan membuat keduanya berpisah. Soeharto melanjutkan karir kemiliterannya, sedangkan Habibie terus mengasah diri menjadi seorang insinyur. Hingga pada suatu hari di tahun 1961 keduanya kembali dipertemukan. Kali ini di Eropa. Soeharto yang saat itu menjadi atase militer di Kedutaan Besar Indonesia untuk Jerman Barat sedang mendampingi KSAD Jenderal AH Nasution di Bonn.
“Pertemuan saya sebagai insinyur muda dengan Pak Harto, menanamkan kesan yang sangat mendalam di otak dan sanubari saya. Rupanya Pak Harto pun mengingat pertemuan itu,” kata Habibie.
Perjumpaan di Eropa itu nyatanya semakin mempererat hubungan Habibie dengan Suharto. Ia lalu diminta pulang ke Indonesia. Selanjutnya Habibie menjadi salah satu kepercayaan Suharto selama karir kepresidenannya. Habibie diberi amanah pengembangan teknologi di Indonesia. Sampai akhirnya diangkat wakil presiden di ujung rezim Suharto tahun 1998.
Baca juga: Habibie dan Industri Strategis
Sumitro Djojohadikusumo
Lahir di Kebumen pada 29 Mei 1917, Soemitro Djojohadikusumo dikenal sebagai ekonom yang telah memberikan banyak sumbangsih kepada kemajuan bangsa ini. Sejak usia 18 tahun, Soemitro telah menempuh pendidikan tingginya di Belanda. Ia meraih gelar sarjananya pada 1937 di Nederlandse Economise Hogeschool.
Soemitro kemudian melanjutkan sekolahnya di Universite de Sorbonne, Paris, Prancis antara 1937-1938. Setelah meraih gelar diploma di bidang filsafat dan sejarah, ia kembali ke Belanda untuk menempuh sekolah master bidang Ekonomi. Pada 1943 di Nederlandse Economise Hogeschool, Rotterdam, Soemitro menyelesaikan gelar doktoralnya.
Antara tahun 1946 sampai 1950, Soemitro aktif terlibat dalam berbagai forum internasional untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia didapuk sebagai Wakil Ketua Delegasi Indonesia pada Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat.
Karir politiknya dimulai saat ia dipercaya menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada Kabinet Natsir. Dianggap sebagai pembangkan oleh pemerintah Sukarno, Soemitro lantas memutuskan melanglangbuana di luar negeri. Setelah dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto, Soemitro menduduki kursi Menteri Perdagangan RI pada Kabinet Pembangunan I dan Menteri Negera Riset RI pada Kabinet Pembangunan II.
Setelah satu periode menjabat Menteri Riset, Soemitro memutuskan untuk pensiun. Di samping alasan usia, keinginan putra-putrinya berkecimpung di dunia bisnis menjadi faktor penguat dirinya mundur dari jabatan menteri.
“Di keluarga saya ada tradisi bahwa selama kepala keluarga jadi pejabat negara maka anak-anak tidak boleh berbisnis di negeri sendiri,” ucap Soemitro kepada Soeharto.
Sebagai gantinya, Soemitro menyarankan beberapa nama kepada Suharto. Dari sekian tokoh yang diajukan, Habibie masuk ke dalam radar Soemitro. Baginya Habibie cocok ditempatkan sebagai menteri jika Soeharto ingin pengembangan di bidang teknologi. “harus mencari orang muda, sebab generasi di atas 40 tahun sudah tidak bisa mengikuti lagi.”
Seperti diketahui bersama, pilihan Soeharto akhirnya jatuh kepada Habibie. Dalam buku Toeti Adhitama, Dari Parepare Lewat Aachen, Habibie mengungkapkan rasa terima kasihnya karena dipercaya memegang jabatan yang sebelumnya diemban Sumitro.
“Bagi saya itu suatu kehormatan bahwa saya yang 20 tahun lebih mudah dari Pak Sumitro ditunjuk untuk meneruskan jabatan itu. Kata orang, ini akan jadi beban, tapi Insya Allah tidak,” kata Habibie.
Begitu keluar dari urusan pemerintahan pada 1978, Soemitro berkeinginan kembali ke dunia pendidikan. Namun niatnya itu tidak begitu saja dapat diwujudkan karena banyak perusahaan yang meminta jasanya sebagai konsultan.
Hubungan Habibie dengan Soemitro sendiri sebenarnya tidak selalu baik. Keduanya terkadang saling mengkritik. Namun di balik semua itu, baik Soemitro maupun Habibie sering mengungkapkan kekagumannya satu sama lain.
“Profesor Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai seorang intelektual yang berani mempertahankan pendapatnya dan tetap setia pada prinsip dan keyakinan,” ungkap Habibie.
Baca juga: Dugaan Korupsi Menteri Sumitro
Widjojo Nitisastro
Dilahirkan di Malang, Jawa Timur, 23 Septermber 1927, Widjojo dikenal sebagai arsitek perekonomian Indonesia era pemerintahan Orde Baru. Ia sempat terlibat dalam perang kemerdekaan saat masih duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Saat bergabung dengan pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), Widjojo yang pemberani nyaris gugur pada sebuah pertempuran di daerah Ngaglik dan Gunung Sari, Surabaya.
Usai perang, Widjojo menjadi guru SMP selama tiga tahun. Kemudian ia memutuskan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meminati bidang demografi. Setelah lulus, Widjojo mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley pada 1961. Sebagai sarjana yang menonjol, pada 1984 Widjojo menerima penghargaan Elise Walter Haas Award dari Universitas Berkeley. Penghargaan tahunan itu diberikan kepada alumni asing yang jasanya dianggap signifikan. Widjojo adalah orang Indonesia pertama yang menerimanya.
Widjojo mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk dunia pendidikan dan pemerintahan. Di kampus UI, ia menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Riset UI, guru besar dari 1964-1993, dan mejabat Dekan FE UI selama dua periode (1961-1964 dan 1964-1968). Widjojo juga tercatat pernah menjadi dosen Seskoad (sejak 1962) dan Lemhanas (sejak 1964), serta menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Kebudayaan Nasional (Leknas) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1964-1967).
Pengabdian Widjojo untuk negera dimulai pada 1953 saat dipercaya menjadi perencana pada Badan Perencana Negara. Di usianya yang relatif muda (39 tahun) ia dipercaya sebagai ketua tim penasihat ekonomi presiden Soeharto pada 1966. Setelah mejabat Ketua Bappenas (1967-1971), ia diangkat menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973). Kemudian secara berurut-turut, dari 1973 sampai 1983, Widjojo menjabat Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas.
Habibie memiliki kedekatan yang cukup erat dengan Widjojo. Menurut penuturan putrinya Widjajalaksmi Kusumaningsih, dalam Widjojo Nitisastro: Panditaning Para Raja, Habibie sering berkunjung ke rumah Wijdojo setelah keduanya sama-sama istirahat dari dunia politik, bahkan jauh sebelum itu.
“Bila Bapak Habibie datang ke rumah bertemu ayah saat hari raya, sebagian besar pembicaraan didominasi oleh Bapak Habibie. Ayah hanya mengangguk atau tersenyum. Terkadang saya berpikir bagaimana cara ayah berkomunikasi dengan Bapak Habibie karena ayah juga menjadi penasihat presiden sewaktu Bapak Habibie menjabat Presiden Republik Indonesia,” ucap Wijajalaksmi.
Bahkan ketika Widjojo tutup usia pada 9 Maret 2012, Habibie ikut mengurusi prosesi pemakamannya. Ia menjadi wakil bagi pihak keluarga saat menyerahkan jenazah Widjojo kepada negara yang saat itu diwakili oleh Menteri Negara Ketua Bappenas, Armida Alisjahbana.
“Profesor Dr. Widjojo Nitisastro sebagai seorang intelektual yang berwawasan jauh ke depan, pragmatis, setia pada prinsip dan keyakinannya, serta rendah hati,” kata Habibie.
Baca juga: Perancang Ekonomi Orde Baru