USIANYA jelas tak lagi muda. Namun meski sudah lebih dari seabad, kondisi Pendopo Ageng Pura Mangkunegaran masih amat baiksiang itu. Tak satu pun dari pilar-pilarnya yang keropos diasup rayap atau rapuh dimakan usia.
Pendopo Ageng Pura Mangkunegaran dibangun pada masa Mangkunegara IV. Joglo seluas lebih dari 3000 m2 itu mengalami renovasi besar pada 1938 semasa kekuasaan Mangkunegara VII. “Beliau kan orangnya multitalenta,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegara kepada Historia.
“Gagasannya datang dari Stutterheim ketika konsultasi dengan Karsten dan Sang Pangeran. Stutterheim membuat dua foto lukisan pada langit-langit kayu yang ia lihat di Ceylon (Sri Langka), menyimbolkan planet-planet, meski di dalam foto terdapat sembilan planet (bukan delapan seperti yang direncanakan untuk hiasan langit-langit pendopo astana),” tulis Madelon Djajadiningrat dalam “Tidak Adakah yang Bisa Kita Perbuat dengan Cermin yang Buruk Itu?”, dimuat dalam buku suntingan Peter JM Nas Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia.
Mengkunegara VII dikenal amat disipilin. Kendati sudah naik takhta, dia turun langsung mencari bibit untuk dilatih menari. Mangkunegara VII juga mengawasi langsung latihan tari para anak didiknya. Mangkunegara VII biasanya membawa kayu sambil mengawasi proses latihan. Apabila ada yang melakukan kesalahan, Mangkunegara VII langsung menegur dengan memukulkan kayu itu ke peserta latihan yang melakukan kesalahan.
Sifat disipilin Mangkunegara VII itu diperolehnya dari didikan sang paman sekaligus ayah angkatnya, Mangkunegara VI, raja yang dikenal sebagai pendobrak tradisi. Mangkunegara VI mempelopori ditegakkannya kedisiplinan di praja Mangkunegaran. “Pembaruan dalam aspek ini sangat menarik karena sangat bersentuhan dengan tradisi orang Jawa secara keseluruhan yang sering dianggap tidak disiplin oleh orang Barat,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944.
Dengan menegakkan kedisiplinan, Mangkunegaran tak hanya hendak memajukan praja sekaligus kawula-nya. Lebih dari itu, ia ingin menunjukkan eksistensi diri yang otonom, berbeda dari bekas induknya, Kasunanan, yang jauh dari disiplin.
Aturan kedisiplinan itu pula yang membuat Susuhunan Pakubuwono X dipermalukan dalam sebuah acara yang diadakan Mangkunegaran. Pasalnya, Susuhunan berjanji akan datang pukul 21.00, namun ketika ditunggu hingga pukul 21.30 dirinya tak kunjung terlihat. Mangkunegara VI pun langsung memerintahkan gerbang istana ditutup. Maka ketika Susuhanan tiba, dia tak bisa masuk.
Di lain waktu, Susuhunan kembali kena “tembak”. Tanpa pemberitahuan, Susuhunan menginap di sebuah pesanggrahan di Karanganyar, wilayah kekuasaan Mangkunegaran, untuk berburu. Begitu pulang, dia langsung mendapat surat tagihan (bill) dari Mangkunegaran. Jumlahnya, 100 gulden untuk biaya penginapan per malam dan 50 gulden untuk denda karena Susuhunan melepaskan tembakan tanpa izin khusus di wilayah Mangkunegaran.
Aturan kedisiplinan itu pula yang di lain kesempatan “memakan” korban seorang asisten residen. Tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan, di mana setiap orang yang hendak bertamu ke Mangkunegaran mesti mendapat izin patih terlebih dulu, sang asisten residen nyelonong masuk ke kantor Mangkunegara VI. Dia langsung mengetuk pintu. Mangkunegara VI yang saat itu sedang membaca koran, hanya menoleh dan kembali membaca koran. Tamunya yang orang Belanda itu tak dihiraukannya.
Lantaran sakit hati dihina, asisten residen langsung melaporkannya kepada Residen Surakarta G.F van der Wijk. Mangkunegara VI pun langsung ditegur lewat telepon. Alih-alih manggut-manggut, Mangkunegara VI dengan santai memberi jawaban sambil bergurau. “Saya kira Belanda mabuk,” katanya. Jawaban itu membuat Van der Wijk balik memarahi asistennya yang dianggapnya mengangkangi aturan tata krama Mangkunegaran.