RAMAINYA hilir mudik kendaraan seolah meninggalkan bangunan beratap limas di sebelah timur Pendopo Mangkunegaran itu dalam kesepian. Siang 18 Maret 2019 itu, tak ada orang apalagi kegiatan di Dalem Prangwedanan, nama bangunan itu. Gerbangnya terkunci.
Kondisi itu berbeda jauh dari masa ketika Prangwedanan dihuni RM Sosro Soeparto, pangeran Prangwedana yang kemudian menjadi Mangkunegara VII pada 1916. Prangwedanan jadi tempat diskusi mengasyikan bagi para cendekiawan yang diundang tuan rumah. Etnomusikolog asal Belanda Jaap Kunst, sahabat sekaligus partner diskusi Mangkunegara VII via surat, sampai memuji suasananya setelah dua kali mengunjunginya. Tapi yang paling sering mengunjunginya tentu para aktivis pergerakan nasionalisme seperti dokter Soetatmo Soerjokoesoemo atau dokter Tjipto Mangoenkoesoemo. “Beliau (Mangkunegara VII, red.) juga di satu sisi kaum pergerakan,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia.
Mangkunegara VII tak hanya menyediakan tempat dalam mendukung para aktivis, tapi juga membantu dalam gagasan dan dana. "Mau adain perjalanan ke mana, rapat-rapat ke Sulawesi, Kalimantan, ke Indonesia Timur dibiayai beliau. Beliau ya total," sambung Supriyanto.
Pemfasilitasan gerakan itu ditempuh Mangkunegara VII, yang bergabung dengan Boedi Oetomo cabang Surakarta, untuk menghindari kecurigaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. “Kalau rapat di luar kan ditangkap Belanda. Karena yang mengundang raja, Belanda nggak marah. Kan sini wilayah kekuasaan raja. (Mereka, red.) diundang ke sini itu ternyata rapat.”
Di Prangwedanan, Mangkunegara VII dan rekan-rekan cendekiawannya mendisuksikan politik dan seni-budaya. Mangkunegara VII aktif menyuarakan pemikiran politiknya lewat Dharmo Kondo. Saat pemerintah pusat di Batavia hendak membuat Kongres Bahasa Jawa dan menunjuk Mangkunegara VII sebagai ketua panitia, yang bersangkutan justru lebih antusias mendiskusikan perlunya diadakan kongres tentang kebudayaan.
“Mereka berpendapat bahwa yang perlu diselenggarakan bukan Kongres Bahasa jawa seperti yang dikehendaki pihak Batavia, tetapi Kongres Kebudayaan untuk memperbincangkan masalah kebudayaan Jawa,” tulis Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013. Diskusi itu kemudian melahirkan Kongres Kebudayaan pada 1918 –embrio nasionalisme Indonesia.
Baca juga: Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran
Sebagai kelanjutan dari kongres, dengan bantuan dari Samuel Koppeberg, dibentuklah Java Instituut pada 1919. Mangkunegara VII didapuk menjadi ketua kehormatannya. Lembaga ini kemudian mengadakan konferensi pada 1921 yang di dalamnya memuat lomba pembuatan sistem notasi untuk musik di Jawa.
“Sebagai hasil dari perlombaan ini adalah pengembangan notasi angka Jawa Kepatihan. Sistem notasi ini bersifat absolut, seperti notasi balok Barat; misalnya nada yang disebut nem di suatu perangkat gamelan tertentu selalu dinotasikan dengan angka 6, meskipun diketahui bahwa tinggi nada (pitch) nem tidak persis sama untuk semua perangkat gamelan,” tulis Madelon Djajadiningrat dan Clara Brinkgreve dalam “Persahabatan Musik: Surat-Menyurat Mangkunegoro VII dengan Etnomusikolog Jaap Kunst, 1919 Sampai 1940”, dimuat dalam Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda.
Untuk lebih mempopulerkan kesenian Jawa, Mangkunegara VII dan teman-temannya lalu mendirikan stasiun radio. “Pada tahun 1930, Mangkunegara VII memberikan pemancar kecil ke kunstkring (lingkaran seni) para aristokrat, yang menggunakannya untuk menyiarkan konser gamelan dari Mangkunegaran setiap 35 hari,” tulis Philip Yampolsky dalam “Music on Dutch East Indies Radio in 1938: Representations of Unity, Disunity, and the Modern”, dimuat di Sonic Modernities in the Malay World. Upaya tersebut efektif.
Guna lebih meningkatkan pemancar dan rencana pembuatan siaran reguler, didirikanlah Solosche Radio Vereeniging, stasiun radio bumiputra pertama, pada 1 April 1933. “Pertama kali di Prangwedanan sini mengudara,” ujar Supriyanto.
SRV digunakan Mangkunegara VII untuk menyiarkan seni-budaya dan juga politik. “Jadi siaran radio lewat kebudayaan disisipi pesan-pesan pergerakan. Live gending-gending Jawa, cuma tembangnya disisipi atau digubah liriknya, isinya pesan pergerakan,” ujar Supriyanto sambil mengepulkan asap rokoknya.
Baca juga: Secuil Kiprah Politik-Budaya Seorang Raja Jawa
Mangkunegara VII tak peduli adanya larangan dari Netherlandsch Indische Radio Omroop Maatschappij selaku pemegang izin resmi radio dari pemerintah. “Awalnya Belanda nggak mudheng, akhirnya kan tau. Akhirnya radionya dipindah, ada orang-orangnya beliau yang ngurusi alat itu biar nggak disita. Lha, setelah republik berdiri kan jadi RRI, (radio) itu di Balapan.”