DALAM rangka merayakan Hari Penyiaran Nasional 2019, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah melakukan napak tilas ke Solo, Jawa Tengah, 21 Juni 2019.
“Dipilihnya Kota Solo sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan Napak Tilas Penyiaran Pemilihan Indonesia tahun ini menjadi alasan pihak KPID Jawa Tengah sebagai upaya menelisik kembali tentang sejarah penyiaran nasional yang notabene lahir di Kota Solo yang diprakarsai oleh KGPAA Mangkunegara VII," tulis laman solotrust.com.
Mangkunegara VII yang bernama lahir RM Soerjo Soeparto dikenal sebagai raja yang berpandangan ke jauh depan. Selain amat peduli pada rakyat, Mangkunegara VII peduli pada kebudayaan, kemajuan, dan pendidikan.
Pendidikan
Siang itu, Rabu (17/3/19), Pendopo Ageng Mangkunegaran sepi. Tak ada kegiatan apapun di bangunan beratap limas itu. Dua set gamelan milik keraton, termasuk “Kyai Kanyut” yang legendaris, ditutupi kain hijau. Pendopo baru ramai bila musim liburan sekolah tiba atau keraton sedang punya hajat.
“Kalau musim liburan, dari berbagai kota itu banyak ke sini. Satu sekolah kadang-kadang 10 bus, 15 bus. Ya dari berbagai kota,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia.
Pendopo Ageng merupakan saksi bisu kemajuan Mangkunegaran. Dua putra kerajaan, yang kelak menjadi Mangkunegara V dan Mangkunegara VI, menjalani pendidikan di pendopo itu sepulang dari Eropa untuk bersekolah kendati tidak sampai tamat.
Pendidikan menjadi hal yang diprioritaskan Mangkunegaran sejak masa pemerintahan Mangkunegara VI. Sang raja mulanya kurang memperhatikan bidang tersebut. Namun, realitas bahwa banyak bangsawan masuk ke sekolah-sekolah pendidikan Barat setelah diterapkannya Politik Etis membuatnya insyaf bahwa banyak rakyatnya membutuhkan pendidikan modern. Maka pada dekade awal 1900-an, Mangkunegara VI membangun sekolah berbahasa pengantar bahasa Belanda untuk pendidikan dasar.
Baca juga: Pembaruan di Mangkunegaran
Pada 1912, sekolah itu dijadikan Sekolah Nomor Satu (sekolah angka siji). Dua tahun kemudian sekolah itu diubah menjadi Holand Indlandsche School (HIS) dan diberi nama HIS Siswa atau populer dengan Mangkunegaran School. Para muridnya terutama merupakan anak pegawai praja dan prajurit Legiun Mangkunegaran.
Pada 1912 itu pula Mangkunegara VI membentuk Studie fonds. Dana pendidikan ini diberikan sebagai beasiswa kepada para anak kerabat atau narapraja (pegawai) Mangkunegaran yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tapi tidak mampu secara ekonomi. Mereka wajib mengganti biaya studi itu dengan cara mengangsur kelak ketika sudah bekerja.
Guna mengakomodasi animo belajar para gadis, di tahun 1912 juga Mangkunegaran membangun Siswa Rini. Sekolah ongko loro yang bertempat di halaman istana itu merupakan sekolah putri berbahasa pengantar bahasa Jawa. Semasa kekuasaan Mangkunegara VII, sekolah ini ditingkatkan mutunya dengan menambahkan pelajaran bahasa Belanda. Mangkunegara VII kemudian menutup Siswa Rini pada 1923 dan menggantinya dengan Huishoud Cursus Siswa Rini, yang pada 1939 kembali berubah menjadi Sekolah Kerumahtanggaan.
“Tujuan pendidikan ini adalah untuk memberikan pendidikan kepada anak perempuan agar dapat menjadi ibu dan pemegang rumah tangga yang baik,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944.
Mangkunegara VII memang haus akan pendidikan sejak muda. Maka ketika naik takhta, pendidikan rakyatnya menjadi salah satu perhatian utamanya. Selain membuatkan gedung baru buat HIS Siswo, Mangkunegara VII juga mendirikan sekolah baru di Wonogiri. Dia juga memberi bantuan dana untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta dan membiayai operasional tahunan.
Baca juga: Laku Pandita Seorang Raja Jawa
Namun, sekolah-sekolah itu masih terbatas untuk anak-anak kerabat dan pegawai keraton. Untuk memberi pendidikan bagi rakyat kebanyakan, Mangkunegara VII mendirikan Sekolah Desa. Jumlah Sekolah Desa Mangkunegaran terus berkembang, dari 19 sekolah pada 1918 menjadi 82 sekolah pada 1931. Jumlah itu kembali bertambah karena dari 1933 sampai 1935, pemerintah menyerahkan 22 pengelolaan Sekolah Desanya kepada Mangkunegaran.
Seiring bertambahnya jumlah sekolah, jumlah murid pun terus meningkat. Pada 1918, jumlah murid di Sekolah Desa Mangkunegaran hanya 1000 orang lebih. Pada 1930, jumlah murid telah mencapai hampir 7000 siswa.
Guna mendukung pembangunan pendidikan, Mangkunegara VII membangun perpustakaan baru, Sana Pustaka. Perpustakaan ini diperuntukkan untuk umum, berbeda dari Reksa Pustaka yang hanya untuk kalangan kerabat dan narapraja Mangkunegaran. Mangkunegara VII menunjuk ahli hukum cum sastrawan Mr. Noto Soeroto, rekannya semasa kuliah di Belanda, sebagai pengelola Sana Pustaka.
Selain memiliki koleksi buku, Sana Pustaka memiliki koleksi koran dan majalah. Jumlah koleksi buku miliki perpustakaan pada 1936 mencapai 1727 buku berbahasa Belanda, 300 buku berbahasa Melayu, 300 buku berbahasa Sunda, 193 buku berbahasa Jawa, dan hampir 500 buku lain.
“Betapapun hasilnya, usaha pembangunan pendidikan atas inisiatif seorang bangsawan bumiputra seperti Mangkunegaran merupakan suatu prestasi cemerlang pada zamannya. Hal ini merupakan hal unik, karena di daerah-daerah lain umumnya inisiatif pembangunan pendidikan berasal dari pemerintah Hindia Belanda. Adanya pendidikan yang lebih baik ini tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan praja dan masyarakat Mangkunegaran dalam menanggapi perubahan zaman.”