Empat Tokoh Kristen Terkemuka dalam Sejarah Indonesia
Mengenal empat tokoh Kristen yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia: Jerobeam Mattheus, Todung Gelar Sutan Gunung Mulia, Johannes Leimena, dan Albertus Soegijapranata.
Jerobeam Mattheus Larut dalam Politik
Begitu HOS Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada November 1912, komunitas Kristen tersentak. Selama ini mereka sibuk dengan penyiaran agama dan kegiatan sosial, tetapi melupakan persoalan rakyat atau politik. Untuk mengimbanginya, Jerobeam Mattheus (sekira 1885–1944) mendirikan Mardi Pratjojo.
“Kalau orang Kristen tak menunjukkan kerukunan di antara mereka, maka mereka tak dapat memberi sumbangan pada persatuan dan kesadaran bangsanya,” ujar Mattheus dalam pidato peresmian Mardi Pratjojo, tepat di hari raya Pentakosta tahun 1913, dikutip Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Di Indonesia karya Jan Sihar Aritonang.
Baca juga: Kristen Abangan ala Kiai Sadrach
Mattheus juga berbicara mengenai kerukunan dan kerjasama dengan agama lain. Mattheus sendiri sudah memberikan contoh. Dia berhubungan baik dengan Tjokroaminoto dan tokoh Muslim lain. Dia bahkan menjadi editor harian Bintang Soerabaia, yang dipegang Tjokroaminoto. Mattheus juga sempat jadi anggota Jong Java. Bagi Mathheus, Kristen Jawa pun tak perlu ragu larut dalam politik.
Namun, setelah sukses singkat, Mardi Pratjojo mengalami kemunduran. “Kurangnya kepemimpinan dan dukungan yang memadai dari para misionaris menjadi alasan lain pembubarannya,” tulis Jan Sihar Aritonang dan Karel A. Steenbrink dalam A History of Christianity in Indonesia.
Pada 1918, Mardi Pratjojo berubah nama jadi Perserikatan Kaum Kristen.
Mattheus selalu gelisah dengan ketertinggalan komunitasnya, orang Kristen Jawa, bukan hanya terhadap orang Kristen Ambon atau Minahasa, tetapi juga komunitas lain. Dia juga menekankan hubungan antara bangsa dan agama.*
Baca juga: Rasa Sejati Kristen Jawa Paulus Tosari
Todung Gelar Sutan Gunung Mulia Intelektual Gereja
Kesan kuat bahwa orang Kristen kurang nasionalis, tak merespons dengan cepat tumbuhnya nasionalisme, menjadi kritikan Todung Gelar Sutan Gunung Mulia (1896–1966). Pada 1928, dia mengajukan pertanyaan: “Apa fungsi gereja dalam masyarakat? Apakah gereja hanya berfungsi sebagai alat ekspansi kolonialisme/imperialisme Barat, menentang nasionalisme, dan hanya melayani sistem kolonial dan kapitalis?”
Sedari muda, Mulia sudah terlibat dalam pergerakan nasional. Dia menjadi aktivis Jong Sumatranen Bond (JSB), Jong Batak, hingga menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Dia juga dikenal sebagai aktivis gereja. Dia editor Zaman Baroe, suratkabar untuk kaum Kristen Indonesia.
Pada 1928, Mulia menghadiri konferensi Dewan Misionaris Internasional di Yerusalem. Dalam konferensi dia mendapat pengetahuan tentang konsep Injil Sosial, yang mendorong terciptanya masyarakat baru yang didasarkan kepada kebaikan, kerajaan Tuhan.
Setahun kemudian, Mulia mendirikan Christelijk Etische Partij –kemudian berubah jadi Christelijk Staatkundige Partij. Karena partai itu cenderung prokolonial, dia mundur. Bersama Hendrik Kraemer, seorang tokoh ekumenis Hervormde, Belanda, dia terlibat dalam perjuangan mendirikan gereja-gereja Kristen di pelbagai daerah di Nusantara.
Setelah kemerdekaan, bersama rekan-rekannya, Mulia mendirikan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Empat hari setelah pendirian Parkindo, 14 November 1945, dia ditunjuk menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Selepas itu, Mulia masih berkutat dengan dunia pendidikan.*
Baca juga: Johannes Leimena Pendeta Bung Karno
Johannes Leimena Negarawan yang Saleh
Dalam sebuah pidato, Johannes Leimena (1905–1977) yang biasa disapa Om Jo berucap: “Umat Kristen adalah bagian mutlak dari bangsa Indonesia, oleh karena itu sebagai warga negara kita harus terlibat langsung dan turut bertanggungjawab atas maju-mundurnya bangsa dan negara kita.”
Terkait hubungan gereja dan negara, tulis Victor Silaen dalam Dr. Johannes Leimena, Leimena mengemukakan “teori konsentrik”; gereja adalah lingkaran dalam dengan Yesus Kristus sebagai titik pusatnya dan negara atau masyarakat adalah lingkaran luarnya. Dia berpendapat, umat Kristen mempunyai tanggungjawab untuk membangun suatu masyarakat baru bersama orang Indonesia lainnya.
Baca juga: Ketulusan Hati Johannes Leimena
Leimena mengenyam pendidikan sekolah dokter STOVIA, yang membuatnya bersinggungan dengan kaum pergerakan. Dia aktif di Jong Ambon, dan ikut mempersiapkan Kongres Pemuda tahun 1928. Setelah lulus, dia jadi dokter hingga melanjutkan kuliah dan mendapatkan gelar doktor.
Aktivitas politiknya lebih kentara setelah kemerdekaan. Dia terlibat dalam perundingan, dari Linggarjati hingga Konferensi Meja Bundar. Dia menjabat menteri kesehatan selama delapan kali, dengan warisan sistem pelayanan kesehatan yang dipusatkan di kabupaten dan kecamatan dengan melibatkan partisipasi masyarakat –di era Orde Baru dikembangkan jadi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Selepas menjadi menteri, Leimena menjabat anggota Dewan Pertimbangan Agung.
“Pesan dari Leimena yang sampai kepada kami hingga hari ini adalah pandangannya mengenai tanggung jawab sebagai orang Kristen dan warga negara Indonesia, satu sama lain saling melengkapi,” ujar Henry Lokra, kepala biro penelitian dan komunikasi Persatuan Gereja Indonesia.
Baca juga: Orang Katolik di Masa Jepang
Albertus Soegijapranata Uskup Nasionalis
Setelah ditahbiskan sebagai uskup oleh Takhta Suci Vatikan pada 1940, mulailah Albertus Soegijapranata (1896–1963) menjalankan kegiatan pemeliharaan dan pembinaan rohani umatnya. Di tengah situasi Indonesia yang lagi bergejolak, dia menunjukkan sikap tegas. Di masa Jepang, dia menolak perampasan paksa Jepang atas Gereja Katedral Randusari, bahkan mempertaruhkan kepalanya untuk dipenggal. Di masa revolusi, dia menunjukkan dukungan kepada Republik.
Dalam pidato radionya, dia menyatakan umat Katolik harus merasa berterima kasih kepada Republik Indonesia dan mestinya memberikan bantuan dan dukungan kepada Republik. Atas nama umat Katolik, dikutip Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, uskup berkata: “Kami berjanji akan bekerjasama dengan semua lapisan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan teguh dan kemakmuran merata.”
Baca juga: Soegija dalam Film dan Buku
Ketika pemimpin Republik memindahkan ibukota ke Yogyakarta, Soegija memberikan dukungan dengan memindahkan pusat pelayanan umat Katolik dari Semarang ke Yogyakarta. Saat Sukarno diasingkan, Soegija memberikan fasilitas tempat tinggal kepada Fatmawati. Soegija sempat melarang perayaan Natal bagi umat Katolik pada 1948, sebagai ungkapan keprihatinan atas agresi militer Belanda. Bung Karno lalu menghadiahinya repro lukisan Heilige Maagd karya perupa ternama Italia. Karena kedekatan hubungan ini, Soegija mendukung Demokrasi Terpimpin, sikap yang bertolak belakang dengan Partai Katolik.
Di luar urusan politik, Soegija tak mengabaikan penggunaan bahasa Jawa dalam doa, khotbah, dan liturgi. Begitu juga penyerapan budaya Jawa, dari gamelan hingga bentuk bangunan. Ini membuat gereja semakin membumi.*
Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 8 Tahun I 2012
Tambahkan komentar
Belum ada komentar