Gerakan-gerakan Perlawanan Orang Kristen terhadap Kolonialisme
Beragam bentuk perlawanan orang Kristen Indonesia terhadap penjajahan. Dari bersenjata sampai semangat milenarisme.
Lelaki tua itu berjalan tertatih-tatih. Usianya 60 tahun. Dia singgah dari satu desa ke desa, hinggap dari satu kota ke kota lainnya di Jawa Timur. Misinya mengabarkan injil kepada penduduk. Dia melakukan tugas itu tanpa menerima bantuan keuangan dari siapapun. Hingga membuat zending (penyebar agama Kristen Protestan) Belanda sempat kagum.
Tapi kekaguman para zending berubah jadi kejengkelan ketika Ngabdullah atau Tunggul Wulung, lelaki tua penyebar Protestan asal Jepara, menolak duduk bersila di hadapan orang Eropa. Dia tampil dalam busana Eropa dan tetap berdiri. “Pemandangan yang menimbulkan kejengkelan dalam diri sebagian dari orang-orang Barat itu,” catat Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.
Ngabdullah berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Kemudian dia pindah ke Kediri, Jawa Timur. Dia hidup serentang 1840–1885. Dia juga punya jemaat sendiri, jemaat Kristen Jowo. Jemaat ini pisahan dari jemaat Kristen Belanda yang secara luas terhimpun dalam Nederlansch Zendeling Genootschap (NZG). Jumlah anggota Kristen Jowo jauh lebih banyak dari jemaat NZG. Pemahaman dan cita-citanya pun berbeda dari NZG.
A.B. Lapian dalam “Gerakan Kristen Revolusioner Sampai 1942”, termuat dalam Prisma, No. 11 tahun 1985, menyebut laku lampah menjadi sebentuk contoh adanya gerakan perlawanan dari orang-orang Kristen anak negeri terhadap kolonialisme Belanda. Ini sekaligus mementahkan anggapan umum bahwa “golongan penduduk yang seagama dengan penguasa kolonial tidak akan beroposisi terhadap penguasa,” terang Lapian.
Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia
Ditilik ke belakang lagi, gerakan perlawanan terhadap kolonialisme pun sudah tumbuh sepanjang abad ke-16. Motor perlawanan itu juga muncul dari komunitas Kristen lokal seperti di gugusan kepulauan Maluku (Leitimor, Saparua, dan Haruku). Padahal agama ini tersebar lewat peran zending-zending di dalam rombongan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC).
Perlawanan itu dipimpin oleh seorang tokoh bernama Gimelaha Majira. “Ketika ditanya oleh para pejabat VOC, mengapa penduduk Leitimor yang beragama Kristen (Protestan) turut mendukung perlawanan, mereka terus menjawab bahwa perlakuan Kompeni tidak baik,” terang Lapian.
Orang-orang VOC semula menjalin hubungan baik dengan penduduk lokal. Kedatangan mereka mendapat tempat. Agamanya pun ikut dianut oleh penduduk lokal. Seiring waktu, perilaku orang-orang VOC berubah. Mereka meminta lebih banyak kepada penduduk lokal. Contohnya mengerahkan tenaga dayung kapal pembawa rempah terlalu berat.
Selain itu, penduduk lokal juga harus mengerjakan tugas di kebun cengkeh milik VOC. Ini membuat waktu mereka tersita. Kebun sendiri justru tak terurus. Seringkali pula pengerahan tenaga kerja itu tanpa bayaran. Puncak dari kemarahan rakyat Leitimor meledak ketika VOC menerapkan kebijakan hongi tochten atau memotong pohon cengkeh jika pohon menghasilkan cengkeh terlampau banyak.
“Hasil jerih payah dirusak dalam satu ekspedisi hongi saja, namun jika persediaan cengkeh mulai berkurang, rakyat diwajibkan menanam pohon cengkeh yang baru,” ungkap R.Z. Leirissa dalam Maluku dalam Perjuangan Nasional Indonesia.
Baca juga: Dari Matulessia Menjadi Matulessy
Selepas VOC bangkrut pada 1799, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Timur. Jejak perlawanan orang-orang Kristen anak negeri pun masih bersambung ke awal abad ke-19. Lagi-lagi orang-orang Kristen di Maluku yang menggerakannya. Satu nama terkenal bisa diambil dari sini, Pattimura atau Thomas Matulessia.
Menurut A.B. Lapian, perlawanan ini sudah banyak diketahui orang. “Yang tidak banyak diketahui ialah latar belakang agama Kristen Protestan para pemimpinnya,” sebut Lapian. Ini tampak dalam surat Matulessia pada 29 September 1817 kepada para pemimpin setempat di Pulau Seram. Isinya mencakup tiga hal: hidup damai dalam naungan gereja, pentingnya bersekolah, dan hukuman bagi yang tidak bersekolah.
Perlawanan Pattimura atau Matulessia ditumpas pada akhir 1817. Saat itu ribuan pasukan Belanda datang ke Saparua, dipimpin oleh Kapten Lisnet. Hari Minggu itu para anggota kelompok perlawanan sedang kebaktian di gereja. Namun, Kapten Lisnet tidak menunjukkan tenggang rasa dan menembak mereka dengan bedil dan meriam sehingga mereka terpaksa melarikan diri. Pattimura dan tiga panglimanya ditangkap dan divonis hukuman mati.
Gerakan perlawanan orang-orang Kristen tak hanya berbentuk fisik, tapi juga spiritual. Ini tersua dalam gerakan Kiai Sadrach di Jawa pada pertengahan abad ke-19. Gerakan protes ini tumbuh seiring dengan protes-protes para petani di beberapa wilayah Jawa.
Baca juga: Kristen Abangan ala Sadrach
Kebanyakan penggerak protes berasal dari kalangan Islam. Semangatnya dilandasi oleh kepercayaan terhadap akan datangnya zaman baru (milenarisme) yang gemah ripah loh jinawi dan datangnya juru selamat (Mesiah atau Ratu Adil). Para tokohnya mengaku sebagai Ratu Adil, nabi, dan inkarnasi tokoh-tokoh besar dari masa kerajaan lampau.
Sadrach muncul dengan semangat yang mirip, tetapi bernapaskan iman Kristiani. “Ia tampil bagaikan raja, lengkap dengan dayang-dayang. Bahkan ada yang melaporkan dan mencatat bahwa dia sendiri pernah mengaku sebagai Kristus atau sebagai Ratu Adil,” ungkap Jan S. Aritonang.
Lapian mencatat, gerakan Sadrach tak hanya “ditujukan kepada pemerintah kolonial, melainkan bermaksud untuk memperbaiki nasib masyarakat pedesaan berdasarkan agama Kristen yang dianutnya sejak 1867.”
Perlawanan orang-orang Kristen negeri ini mencapai babak baru pada awal abad ke-20. Bersama kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Oetomo, orang-orang Kristen (Katolik) juga ikut membentuk organisasi untuk menentang kolonialisme. Yang paling terkenal adalah Perkumpulan Politik Katolik Djawa (PPKD). Berdiri pada 1923, PPKD semula berafiliasi kepada Indische Katholieke Partij (IKP). Tapi mereka memisahkan diri dari IKP pada 1925.
Setelah Kongres Pemuda 1928, PPKD berganti nama jadi Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI). Mereka ikut masuk ke Volksraad atau Dewan Rakyat dengan I.J. Kasimo sebagai wakilnya.
Baca juga: Orang Katolik di Masa Jepang
Dari kelompok Protestan juga muncul organisasi pergerakan semisal Perkumpulan Kaum Christen pada 1920 dan Perserikatan Kaum Masehi Indonesia pada 1930. Meskipun latar belakang anggota organisasi tersebut berbeda, masing-masing mempunyai tujuan serupa. “Kewajiban moral untuk mendidik rakyat Indonesia menuju kemerdekaan,” terang Lapian.
Semua organisasi tersebut tak mempunyai banyak anggota. Ini disebabkan oleh keberagaman dalam kelompok Kristen dan Katolik. Seperti perbedaan gereja, liturgi, daerah, dan tinggi-rendahnya tekanan pemerintah kolonial terhadap penganut Kristen. Kebanyakan tokoh-tokoh politik beragama Kristen juga lebih memilih masuk organisasi politik nasional.
“Seperti pandangan Dr. Ratulangi (Sam Ratulangi, red.) bahwa lebih baik apabila orang-orang Kristen menggabungkan diri dalam suatu partai besar, umpamanya PNI, daripada berjuang dalam suatu partai Kristen yang terpisah,” tulis Lapian.
Meski gerakan itu tak cukup mampu meraih massa, mereka tetap menaruh saham dalam perlawanan terhadap kolonialisme dan perjuangan mencapai kemerdekaan secara bersambungan. “Sudah jelas bahwa dinamika masyarakat yang beragama Kristen menunjukkan adanya gerakan-gerakan antikolonial,” tutup Lapian.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar