Kerlap kerlip lampu yang menghiasi ruas-ruas jalan di Surabaya membuat kawasan tersebut terang benderang kala malam. Bagi sebagian orang berkeliling kota sembari melihat lampu yang menyala beraneka warna menjadi hiburan tersendiri.
Berbeda dengan masa kini, ratusan tahun silam berkeliling kota justru dianggap berbahaya dan tak diminati. Pasalnya, lampu penerangan belum tersedia, sehingga saat malam menjelang suasananya menjadi gelap gulita. Kondisi tersebut membuat penduduk Surabaya di abad ke-19 lebih memilih di dalam rumah dengan penerangan sederhana menggunakan lampu ublik.
Menurut Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, lampu ublik merupakan lampu menggunakan minyak jarak, minyak kelapa, atau minyak tanah. “Sebagian penduduk Surabaya menyebutnya cempluk,” tulis Dukut.
Namun, bila dalam kondisi mendesak seseorang diharuskan beraktivitas di luar rumah saat malam hari, biasanya ia akan membawa obor atau tali upet sebagai penerangan. Mengutip KBBI Daring, upet merupakan tali api yang terbuat dari sabut, irisan seludang bunga kelapa, dan sebagainya, yang mana jika dinyalakan ujungnya akan membara terus hingga habis.
Baca juga: Lampu Pijar Bikin Penduduk Batavia Gempar
Menurut Dukut, orang zaman dulu membawa upet dengan cara digulung dan disampirkan di bahu lalu ujungnya dinyalakan. Dengan menggunakan upet, seseorang yang beraktivitas di luar rumah saat malam dapat diketahui keberadaannya melalui percikan api kecil-kecil dari alat tersebut.
Wartawan sekaligus pemerhati sejarah Surabaya, Godfried Hariowald von Faber dalam Oud Soerabaia menyebut pada masa itu muncul kebijakan yang mengatur penggunaan tali upet. Peraturan itu dicabut pada 1 Maret 1864 setelah sejumlah lampu penerangan dipasang di kawasan Surabaya.
Berbeda dengan penduduk yang membawa obor atau tali upet, menurut G.H. von Faber, bila seorang pembesar bersikeras untuk pergi ke pesta maupun menghadiri pertemuan di malam hari, mereka biasanya akan menyuruh budaknya untuk berjalan di depan dengan membawa obor atau lampu minyak jarak dan menunjukkan jalan. Para pesuruh itu sesekali berteriak sebagai tanda bahwa kereta kuda sang tuan akan lewat.
Baca juga: Listrik Amerika Menerangi Indonesia
Minimnya lampu penerangan membuat penduduk Surabaya mengeluhkan ketidakamanan di jalanan pada malam hari. Mereka khawatir saat tengah beraktivitas di luar rumah menjadi sasaran para preman. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mulai memasang lampu penerangan jalan di sejumlah wilayah Surabaya pada 1858. Lampu penerangan tersebut menggunakan lampu ublik dengan bahan bakar minyak kelapa.
G.H. von Faber menulis, pemasangan lampu penerangan di sejumlah wilayah Surabaya dikontrakkan kepada seorang Tionghoa yang menerima 230 gulden sebulan untuk merawat dan menyalakan lampu pada malam hari. Ia juga harus mematikan lampu saat pagi tiba.
Namun, Dukut menyebut orang Tionghoa itu keberatan karena jumlah lampu ublik yang terpasang di wilayah Surabaya begitu banyak. Setelah melalui perdebatan panjang, pemerintah kolonial mengalah. Akhirnya, orang Tionghoa itu dibantu oleh 20 orang hukuman dari Penjara Kalisosok yang ditugaskan merawat lampu-lampu penerangan yang terpasang di wilayah Surabaya.
“Jadi, tugas ke-20 orang pesakitan tersebut adalah merawat lampu, termasuk mengelap kaca-kacanya dan juga memperbaiki sumbunya, serta memberinya minyak. Mereka juga bertugas nyumeti (menyalakan) lampu-lampu itu bila senja telah tiba. Lantas pagi harinya, mereka ditugasi nyebuli (mematikan) lampu-lampu itu,” tulis Dukut.
Baca juga: Listrik dari Filipina ke Indonesia
Seiring berjalannya waktu, penerangan jalan dengan lampu ublik berbahan bakar minyak kelapa dinilai kurang memadai karena cahayanya terlalu redup. Pada 1864, pemerintah kolonial menganggarkan 2.500 gulden untuk membeli lampu penerangan berbahan bakar minyak tanah yang lebih terang dari lampu ublik.
Pemerintah kolonial juga tertarik pada penemuan baru. Seorang kontraktor berhasil menciptakan lampu yang memiliki mulut api. Lampu itu disebut 1000 brander atau 1000 mulut api. Penduduk menyebutnya damar sewu karena memiliki sumbu yang banyak.
G.H. von Faber menceritakan, lampu itu menjadi pemberitaan hangat di kalangan masyarakat. Lampu yang digantung di tali di seberang jalan tersebut menyala lebar dan mendorong banyak orang ramai-ramai berdatangan untuk melihat secara langsung. Tak hanya mengesankan publik, pemerintah setempat pun terkesan dengan lampu itu hingga tertarik melakukan perjanjian jual-beli dengan kontraktor.
Baca juga: Politik Listrik Orde Baru
Sayangnya, perjanjian itu tak berjalan mulus. Tiga tahun kemudian, pada 2 April 1867, kontraktor enggan membuat dan memasang 1000 brander lagi di wilayah Surabaya karena tagihan yang diajukannya tak kunjung dibayar oleh pemerintah. Residen Surabaya kelabakan hingga meminta bantuan kepada siapa saja untuk mengatasi krisis keuangan pemerintah untuk pengadaan lampu penerangan jalan. Namun, upaya tersebut tak membawa hasil maksimal karena uang yang terkumpul tak cukup untuk membeli lampu penerangan jalan.
Memasuki pengujung abad ke-19, pada 1881 lampu penerangan berbahan gas mulai menerangi jalan-jalan di wilayah Surabaya. Di tahun 1920, lampu ini tak hanya terpasang di ruas-ruas jalan tetapi juga di taman-taman kota.
Dukut mencatat, total lampu gas di Surabaya mencapai 1.709 buah. Tak berselang lama, pada 1923 listrik mulai masuk ke Surabaya. Lampu gas yang menerangi kawasan itu diganti lampu listrik. Sinarnya yang terang membuat penduduk tak perlu lagi menggunakan obor atau tali upet saat beraktivitas di luar rumah pada malam hari.*