Halte TransJakarta Bundaran Hotel Indonesia tampak ramai oleh pengunjung. Sebagian di antaranya bergegas menaiki tangga ke area anjungan atau sky deck view di lantai dua untuk berswafoto dengan latar pemandangan Monumen Selamat Datang. Semakin malam area itu kian ramai. Mereka menikmati pemandangan malam yang diterangi lampu dan videotron di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga M.H. Thamrin.
Seiring berkembangnya zaman, lampu tak hanya berfungsi sebagai penerangan di kala malam tetapi juga menambah nilai estetika terhadap suatu objek maupun kota. Mengenai penerangan di masa lalu, sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Batas-batas Pembaratan menyebut penerangan dengan gas mulai diperkenalkan di wilayah Hindia Belanda sejak 1860-an, sedangkan listrik mulai muncul menjelang akhir abad ke-19.
Sementara itu, menurut sejarawan Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, lampu mulai menerangi kawasan Batavia saat menteri jajahan Belanda memberikan konsensi pertama pada 19 November 1859 untuk memasang sistem lampu gas umum di Batavia dan sekitarnya. Seiring dengan dibangunnya pembangkit tenaga listrik tahun 1897, elektrifikasi di Hindia Belanda pun dimulai. Perusahaan Bataviasche Electriciteit Maatschappij ditugaskan untuk melayani penerangan serta memenuhi kebutuhan energi modern di wilayah Batavia.
Baca juga: Amerika Menerangi Indonesia dengan Listrik
Kehadiran lampu yang menerangi kawasan Batavia di kala malam menjadi sesuatu yang baru bagi masyarakat. Lampu pijar yang dikenal dengan nama booglamp itu dibahas Tio Tek Hong, seorang pengusaha ternama kelahiran Pasar Baru, dalam bukunya Keadaan Jakarta Tempo Doeloe, Sebuah Kenangan 1882–1959.
“Lampu besar yang disebut electrisch booglamp mula-mula dipamerkan dalam tentoonstelling (pameran) di pekarangan yang besar dari rumahnya pelukis Raden Saleh di Cikini (kini Rumah Sakit Cikini di Jalan Raden Saleh),” tulis Tio Tek Hong.
Tidak ada catatan terkait kapan tepatnya pameran tersebut digelar. Namun, menurut Abdul Hakim dalam Jakarta Tempo Doeloe, sebagai ancar-ancar dapat dikatakan bahwa penemuan listrik oleh Thomas Alva Edison terjadi pada 2 Oktober 1879 di Amerika. Lampu pijar yang dipamerkan di halaman rumah Raden Saleh mencuri perhatian penduduk sekitar karena menyala dengan terang benderang dan tidak terpengaruh oleh tiupan angin. Cerita mengenai lampu pijar yang disebut ajaib itu menyebar dari mulut ke mulut.
Baca juga: Dari Filipina Listrik Masuk ke Indonesia
Kehebohan penduduk terkait lampu pijar yang dipamerkan di halaman rumah Raden Saleh sangat beralasan. Pasalnya, penerangan di jalan raya kawasan Batavia sebelumnya memakai gas dengan bahan bakar lenteranya minyak kacang yang kemudian diganti minyak tanah.
Abdul Hakim menyebut lampu gas ini memakai brander (pembakar) yang nyala apinya berwarna merah dan berbentuk lebar seperti kipas. Lalu setelah itu dipakai lampu gas yang memiliki semprong dan sumbu.
Setelah dipamerkan di Cikini, lampu pijar mulai dipasang di Pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Tanjung Priok mulai dibangun pada 1877 dan selesai pada 1886. Menurut sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, Pelabuhan Tanjung Priok yang berlokasi sekitar 9 kilometer di sebelah timur pelabuhan Batavia dihubungkan dengan Batavia lama melalui jalan, kanal, dan jalur kereta api. Dipasangnya lampu pijar di Pelabuhan Tanjung Priok membuat kawasan itu menjadi terang karena bermandikan cahaya di waktu malam. Sementara itu, penduduk yang telah geger karena kemunculan lampu pijar yang terang benderang, lalu berbondong-bondong menuju Tanjung Priok untuk melihat langsung lampu ajaib tersebut.
Baca juga: Politik Listrik Orde Baru
Tio Tek Hong menyebut tiap-tiap malam lampu pijar itu ditonton ramai-ramai oleh para penduduk Batavia sebagai tontonan luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang telah bersiap bahkan sejak matahari belum terbenam demi menyaksikan lampu pijar yang menerangi kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Mereka berangkat dari kota Batavia menaiki kahar, semacam angkutan umum seperti sado, maupun delman dengan ongkos f.2.50 (seringgit) sekali jalan. Kebanyakan penduduk pergi ke Tanjung Priok naik kahar karena di masa itu belum ada kereta api yang beroperasi di malam hari.
Seiring berjalannya waktu, lampu listrik mulai merambah dan menerangi berbagai wilayah di Batavia. Mengutip surat kabar De Nieuwe Vorstenlanden, 29 November 1893, salah satu bangunan pertama di kawasan Batavia yang dilengkapi dengan lampu listrik adalah Hotel Wisse, sebuah hotel yang memiliki bangunan besar nan indah yang dilengkapi dengan kursi-kursi beranda, berlokasi di seberang Societet Harmonie.*