JANUARI hari ke-15, TNI AL rutin memperingati Hari Dharma Samudera, hari ketika Insiden Laut Arafura terjadi 58 tahun lampau. Insiden tersebut menewaskan Deputi I KSAL Komodor Yosaphat Sudarso setelah kapalnya, KRI Matjan Tutul, dikaramkan kapal perang Belanda Hr. Ms. Evertsen.
Evertsen merupakan kapal fregat Koninklijke Marine (KM) atau angkatan laut Belanda bernomor lambung F-803. Hingga saat ini Evertsen tercatat sebagai kapal terakhir yang memuntahkan peluru dalam pertempuran resmi yang melibatkan Belanda.
Setahun setelah Pertempuran Laut Arafura atau yang oleh Belanda disebut “Vlakke Hoek Incident”, Evertsen dipensiunkan dan dibesituakan. Keputusan tersebut mengakhiri petualangan Evertsen sejak Perang Dunia II, Perang Korea, hingga Irian Barat.
Mulanya, Evertsen merupakan kapal perusak dari kelas-S milik Royal Navy (Inggris). Namanya HMS Scourge. Menukil H. T. Lenton dalam British & Empire Warships of the Second World War, kapal itu dibuat galangan kapal Cammel Laird di Birkenhead pada 1941 dan rampung tahun berikutnya.
Kapal dengan nomor lambung G-01 itu dinamai HMS Scourge saat masuk kedinasan sebagai bagian dari Armada Teritorial Inggris pada 14 Juli 1943. Dua mesin uap Admiralty 3-drum boilers-nya mampu melajukan kapal sepanjang 110,6 meter, lebar 10,9 meter, dan bobot 1.740 ton itu hingga kecepatan maksimal 36 knot.
Scourge dipersenjatai empat meriam 120mm Mark XII, sepasang meriam Bofors 40mm, empat pasang meriam Oerlikon 20mm, 16 tabung torpedo 21 inci, serta empat pelontar depth charge (bom dalam) berkapasitas 70 bom.
Tugas pertamanya di luar perairan Inggris terjadi pada Desember 1943. Scourge turut serta dalam “Konvoi JW 55B”. Konvoi itu merupakan upaya Sekutu mengirim bantuan untuk Uni Soviet yang punya musuh sama dengan Sekutu: Jerman Nazi. Konvoi yang membawa 19 kapal dagang itu dilindungi 32 kapal perang beraneka jenis dari AL Inggris, Amerika, Kanada, dan Norwegia, di mana Scourge termasuk.
Baca juga: Kapal Perang Amerika Tiga Kali Celaka di Indonesia
Setahun berselang, Scourge turut serta dalam invasi Sekutu ke Normandia (D-Day), 5-6 Juni 1944. Scourge bagian dari Gugus Tugas-S, yang bertugas melindungi konvoi Sekutu menyeberangi Selat Inggris dan menyokong pembomban jelang pendaratan.
Setahun usai Perang Dunia II, Evertsen diambil-alih Belanda. Beberapa sumber menyebutkan, Evertsen dibeli, bukan dihibahkan.
“Hr. Ms. Evertsen adalah salah satu kapal perang yang diambil-alih oleh AL kerajaan (Belanda, red.) dari AL Inggris. Sebelumnya sebagai HMS Scourge, kapal itu terlibat dalam konvoi bantuan Sekutu menuju Murmansk. Evertsen di bawah pimpinan Letnan Laut I G. P. Küller pada 21 April tiba di Tanjung Priok dan disambut Panglima AL Belanda di Hindia Belanda Laksamana Madya A. S. Pinke,” sebut suratkabar Het Dagblad, 24 April 1946.
Dipermak jadi Fregat
Saat baru berpindah tangan ke AL Belanda, Scourge diganti namanya menjadi Hr. Ms. (di beberapa sumber disebut HNLMS) Evertsen dengan nomor lambung D-802. Nama itu untuk kelima kalinya digunakan Belanda untuk menamai kapal perangnya sejak abad ke-19. Nama Evertsen diambil dari nama dua kakak-beradik pelaut yang dianggap Belanda sebagai pahlawan di abad ke-17, Johan dan Cornelis Evertsen.
Kala Belanda kembali ke Indonesia, Evertsen berbasis di Modderlust, Surabaya dan ikut dalam serangkaian patroli di Laut Jawa. Hingga 1949, ia juga beberapakali memulangkan para bekas interniran dan tawanan Jepang ke Eropa.
Setahun berselang, Evertsen ikut andil menyokong Sekutu di Perang Korea, sebagai bagian dari Gugus Tugas-96 di Armada ke-7 AL Amerika. Tugasnya memblokade jalur suplai musuh di Laut Kuning dan memberi sokongan salvo dari laut ke pasukan darat PBB.
Usai Perang Korea, Evertsen kembali ke Belanda dan pada Oktober 1957 diubah menjadi fregat di galangan kapal Den Helder. Hal itu sebagai dampak kebijakan Belanda yang hendak memperkuat militernya di Irian Barat sekaligus “membesituakan” sejumlah kapal perang tuanya.
“Hr. Ms. Evertsen, Piet Hein, dan Kortenaer yang sebelumnya bertugas sebagai kapal perusak, telah dirombak. Kapal-kapal itu kini telah menjadi fregat pada 1 Oktober karena masih dibutuhkan armada kerajaan,” sebut suratkabar De Tijd, 14 Oktober 1957.
Baca juga: Melindungi Kenangan Kapal Perang
Awal 1960, Evertsen yang sudah diubah menjadi fregat dan digganti nomor lambungnya menjadi F-803, berangkat dari Amsterdam ke Hollandia (kini Jayapura) via Terusan Panama. Ia jadi satu dari tiga kapal perang untuk memperkuat perairan Irian Barat, selain fregat Kortenaer dan kapal perusak Utrecht. Ketiga kapal inilah yang menghantam KRI Matjan Tutul pada malam 15 Januari 1962 di Laut Arafura.
Dari ketiganya, Evertsen yang maju duluan dan melepas salvo pertama ke tiga kapal ALRI. Suratkabar De Volksrant, 6 April 1960 memberitakan, Evertsen sudah sering berpatroli di perairan Irian dan dikomandani Kapitein-luitenant (setara letnan laut) J.A. van Beusekom.
“Pukul 22.07 Evertsen pertama kali memuntahkan peluru meriamnya kepada Matjan Tutul karena diduga akan mengadakan serangan torpedo karena haluan yang mengarah padanya. Pukul 22.10 sebuah tembakan Evertsen tepat mengenai buritan Matjan Tutul. Pada 22.30 tembakan tepat Evertsen mengenai bagian tengah…pukul 22.35 tembakan Evertsen tepat kena anjungan Matjan Tutul,” sebut Julius Pour dalam biografi Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan.
Setelah KRI Matjan Tutul tenggelam 15 menit berselang, Evertsen sebetulnya ingin mengejar dua MTB lain milik ALRI (kini TNI AL) namun Gubernur Nieuw Guinea Belanda Dr. Pieter Johannis Platteel memerintahkan Evertsen, Kortenaer, dan Utrecht kembali ke Hollandia.
Setelah tugas di Irian, Evertsen dilelang seperti kapal-kapal perang lain yang sudah renta. Pada 12 Juli 1963 atau sehari setelah mengakhiri masa tugasnya di AL Belanda, ia dibesituakan.
“Kemarin, kapal ini dipensiunkan AL kerajaan dan kemudian dilelang secara terbuka oleh inspektorat wilayah setempat (Hendrik-Ido-Ambacht, red). Setelah dibongkar, 2,5 ton besi tuanya dibeli seharga 245.555 gulden oleh Frank Rijsdijk dalam pelelangan itu,” sebut suratkabar De Volksrant, 13 Juli 1963.
Nama Evertsen tetap digunakan AL Belanda. Setelah kapal fregat F-803 itu, Belanda menggunakannya lagi untuk frigat kelas-Van Speijk, HNLMS Evertsen F-815, yang dipakai sejak 1967 tapi dijual ke Indonesia –dan dinamai KRI Halim Perdanakusuma 355– pada 1989. Setelah itu, nama Eversten dipakai oleh sebuah fregat kelas-De Zeven Provinciën bernomor lambung F-805, HNLMS Evertsen, yang digunakan sejak 2005 sampai sekarang.
Baca juga: Kapal Kebanggaan Armada Jepang Karam di Midway