DALAM tur keliling Jawanya untuk memulai pendirian sekolah bagi kaum putri, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda Jacques Hendrij Abendanon sempat mampir ke rumah Bupati Jepara Sosroningrat. Kunjungan Abendanon itu atas usulan penasihat pemerintah kolonial Christian Snouck Hurgronje.
Menurut Hurgronje, putri Bupati Sosroningrat cukup terkenal karna berani melanggar feodalisme Jawa dan punya ide untuk menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Saran Hurgronje terbukti. Dalam pengantarnya di buku surat-surat Kartini, Door Duisternis tot Licht, Abendanon mengaku perkenalan dan keramahan keluarga Sosroningrat membuatnya cukup tercengang.
Pada kesempatan berikutnya, Abendanon mengundang Kartini dan keluarganya ke Batavia. Dalam sebuah pertemuan Kartini berbincang dengan direktur HBS untuk perempuan Van Loon. Hasilnya, Van Loon bersedia membantu Kartini bila ia hendak meneruskan pendidikan di sekolahnya.
Baca juga: Penerus Kartini
Pertemuan ini lantas dikisahkan Kartini pada sahabat penanya, Estella Zeehandelaar. Dalam surat bertanggal 11 Oktober 1901, Kartini mengisahkan betapa bahagianya ketika tawaran bantuan untuk melanjutkan pendidikan berdatangan.
“Dengan kehendaknya sendiri menawarkan kepada kami apabila mau, untuk mendidik kami menjadi bidan dengan cuma-cuma,” kata Kartini dalam suratnya.
Kartini juga mengatakan keberadaan bidan di Hindia Belanda masih amat sedikit, padahal mereka amat dibutuhkan. Tiap tahun di Jawa atau seluruh Hindia Belanda, sekira 20 ribu perempuan meninggal kala melahirkan. “Dan 30 ribu anak lahir meninggal karena pertolongan bagi perempuan bersalin yang kurang memadai,” sambungnya.
Pertolongan persalinan saat itu umumya diberikan oleh dukun beranak karena bidan amat jarang. Padahal, upaya pelatihan bidan sudah dilakukan sejak awal abad ke-19. Dinas Layanan Medis Sipil pada 1809 mengeluarkan aturan, dokter-dokter di kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang ditugaskan melatih perempuan pribumi dan Eropa menjadi bidan. Tugas serupa juga dibebankan pada bidan-bidan Eropa mulai 1817.
Baca juga: Memercayakan Kelahiran pada Bidan
Pada 1825, sekolah bidan didirikan di Batavia. Sayangnya, sekolah ini sepi peminat. Keinginan pemerintah kolonial menghadirkan praktik kebidanan di negeri jajahan berbenturan dengan amat minimnya antusiasme penduduk pribumi.
“Dulu sekolah bidan di Hindia Belanda amat sedikit peminatnya. Sempat buka-tutup dan dievaluasi karena banyak lulusannya tidak terserap di pasar kolonial,” kata Martina Safitry, dosen IAIN Surakarta, dalam webinar Bincang Sejarah Masyarakat Sejarawan Indonesia bertajuk “Membaca Kartini”.
Ide pelatihan bidan pribumi kembali dibicarakan pada 1836 untuk mengisi kekosongan posisi bidan di tingkat kota. Menurut Kepala layanan medis EA Fritze, mengajarkan perempuan pribumi untuk memenuhi kebutuhan bidan hingga ke luar Pulau Jawa harusnya tidak sulit. Pemerintah kemudian getol mengajak anak gadis pribumi untuk mau masuk sekolah bidan. Mereka dijanjikan akan mendapat pekerjaan, sekolah gratis, bahkan biaya hidup, persis seperti yang ditawarkan pada Kartini kemudian hari.
Hillary Marland menyebutkan dalam artikelnya “Midives, Missions, and Reform” yang termuat dalam buku Medicine and Colonial Identity, pada 1875 sekolah bidan terabaikan karena ongkos yang terlalu mahal. Untuk meyakinkan pemerintah Hindia Belanda akan perlunya peningkatan jumlah bidan di negeri jajahan, dokter Van Buuren yang berugas di Kediri memberi gambaran tentang kasus-kasus yang pernah ia temui. Seperti dicatat Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, Van Buuren mengaku sering dipanggil untuk menangani persalinan sulit yang gagal ditangani dukun beranak. Setiap tahun, sebagaimana dicatat Ven Buuren, ada 9000 perempuan meninggal saat melahirkan; 6000 dari mereka bisa diselamatkan bila upaya penambahan bidan kembali dilakukan.
“Setelah dievaluasi dan dibuka kembali, sekolah banyak mengirim surat ke kepala daerah agar mengirimkan anak-anak perempuan untuk dilatih menjadi bidan,” kata Martina.
Baca juga: Bidan Ujung Tombak Penyehatan Generasi Baru
Pada April 1898 Direktur Pendidikan, Agama dan Industri, O. van der Wijck mendirikan sekolah untuk bidan. Ia juga memerintahkan agar tiap dokter setidaknya melatih enam calon bidan. Setelah ia digantikan Abendanon, ahli etika yang bertugas menjalankan kebijakan Politik Etis, tahun 1900, upayanya tetap berlanjut. Abendanon juga menaruh perhatian pada layanan persalinan oleh bidan. Abendanon jugalah yang menjanjikan Kartini tentang kesempatan untuk masuk sekolah medis bagi anak perempuan.
Pada November 1902 Abendanon meminta para administrator daerah mengumumkan program pelatihan untuk para bidan di wilayah masing-masing. Dia kembali mengirim surat kepada administrator daerah agar mengadakan pelatihan kebidanan dan merekrut banyak siswa pada Agustus 1904.
“Pada zamannya, Kartini mengemukakan bahwa tidak banyak sekolah untuk perempuan pribumi, khususnya sekolah kesehatan. Pada waktu itu Kartini dan adik-adiknya tertarik untuk masuk sekolah bidan di samping keinginannya sekolah di Belanda,” kata Martina.
Baca juga: Bidan Diciptakan Agar Angka Kematian Ibu dan Bayi Bisa Ditekan
Namun apa daya, keinginan mereka tak sejalan dengan kondisi zaman. Untuk mewujudkan keinginannya bersekolah, Kartini memerlukan izin ayahnya. “Stella, maafkanlah seorang ayah yang bimbang melepaskan anak-anaknya kepada nasib yang tidak tentu,” kata Kartini, yang juga dibebani oleh kondisi kesehatan ayahnya. Kartini tak tega meninggalkan ayahnya dalam kondisi lemah.
“Saya tidak akan dapat tenang sekejap pun apabila saya tahu ayah menderita dan memerlukan pertolongan,” katanya.
Pada akhirnya, Kartini tak jadi memenuhi harapannya untuk melanjutkan sekolah. Ia meninggal pada 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya dengan bantuan dokter Ravesteijn.