Pada 1918, flu spanyol mewabah di kota-kota besar di Jawa. Sebanyak 1,5 juta jiwa menjadi korban keganasan virus asal daratan Eropa tersebut. Lambatnya respon pemerintah Hindia Belanda dalam menghadapi gelombang awal pandemi Flu Spanyol menjadi sebab jumlah korban begitu tinggi. Pemerintah saat itu hampir tidak memiliki strategi pencegahan awal. Mereka bahkan menganggap enteng virus itu dengan menyamakannya dengan flu biasa.
Setelah mendapati angka kematian yang semakin tinggi, pemerintah mulai bergerak menangani penyebaran virus. Berbagai upaya pun mereka lakukan. Langkah awal adalah dengan membentuk Influenza Commissie pada 16 November 1918. Komisi ini bertugas menginvestigasi akar penyebaran dan gejala flu spanyol. Kebijakan yang dihasilkan di antaranya imbauan untuk mengenakan masker hingga pendistribusian obat anti-influenza.
Selain pemerintah, masyarakat juga berusaha sekuat tenaga mencari jalan terbaik untuk menanggulangi wabah. Mereka bahkan rela melakukan segala cara agar terbebas dari penyakit tersebut, mulai dari metode medik sampai cara klenik. Cara terakhir itu lazim dilakukan kalangan bumiputera dan Tionghoa.
Baca juga: Hoax
Di tengah situasi genting dan penuh kekalutan seperti itu, pemerintah dan masyarakat dibuat pusing dengan munculnya informasi-informasi palsu tentang wabah flu spanyol, mulai dari cara penanganan, obat-obatan, hingga sebab kemunculan virus. Sejumlah oknum memanfaatkan momen tersebut untuk menyebar berita bohong agar tercipta kepanikan di masyarakat.
“Menjamurnya berbagai berita bohong selama periode tersebut, ternyata dilihat sebagai kesempatan emas bagi segelintir oknum untuk mengeruk keuntungan dengan memanfaatkan kepanikan masyarakat,” tulis Ravando dalam Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial 1918-1919
Di Purwokerto, misalnya, seseorang bernama Prawadrana menyiarkan kabar bahwa dirinya didatangi oleh Nyi Roro Kidul yang berjanji akan menolong warga kampungnya terbebas dari flu spanyol. Jika ingin ditolong, para penduduk harus datang ke rumah Prawardana dengan membawa sedekah sebesar 50 sen per orang. Mendengar kabar tersebut, warga berbondong-bondong mendatangi rumah Prawardana. Dalam sehari, sang pemilik bisa mengumpulkan uang sebesar f. 40.
Kondisi serupa juga terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat. Diceritakan Ravando angka kematian orang-orang bumiputera di wilayah tersebut begitu tinggi. Sedangkan di kalangan Tionghoa dan Eropa hampir tidak ada korban jiwa. Kemudian tersiar kabar dari mulut ke mulut bahwa orang Tionghoa memiliki “selebaran sakti” yang berisi perlindungan dari Kwan Sing Tee Koen sehingga mereka kebal terhadap penyakit. Sin Po dengan keras mengkritik omong kosong tersebut. Dalam sebuah tulisan, Sin Po menyebut para penyebar kabar itu dengan sebutan “kepala oedang”.
Baca juga: Hoax Masa Revolusi
“Selain memang tidak lepas dari budaya masyarakat Indonesia saat itu yang begitu kental dengan mistisisme, tindakan-tindakan tersebut merupakan bentuk respon spontan mereka dalam menghadapi pandemi flu spanyol. Kondisi demikian tentu tidak lepas dari lambatnya pemerintah kolonial dalam menangani pandemi itu,” ujar Ravando.
Tidak lebih baik dari dua daerah sebelum kejadian itu, di Wonogiri kabar bohong disiarkan semata untuk mencari keuntungan pribadi. Di sana, beredar kabar bahwa ikan lele dapat dijadikan sebagai penangkal flu spanyol. Dalam waktu singkat, ikan lele sulit ditemukan di pasaran. Keberadaannya menjadi langka dan harganya pun secara signifikan terus naik. Dari semula berharga lima sen per ekor, melonjak hingga 40 sen per ekor. Menurut Sin Po, informasi itu hanyalah akal-akalan dari penjual ikan untuk mencari keuntungan di tengah pandemi.
Baca juga: Jebakan Hoax dari Rezim Soeharto hingga Kini
Fenomena kabar bohong semacam itu terjadi pula di luar Jawa, tepatnya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Meski tidak dijelaskan kegiatan apa yang dilakukan, imbuh Ravando, tetapi Sin Po menyebut orang-orang Tionghoa di sana hanya “menoendjoekan kebodohannya”. Sin Po tidak habis pikir bagaimana orang Tionghoa bisa sangat pasif ketika diminta menolong sesamanya, tetapi menjadi begitu royal untuk hal-hal yang di luar akal.
“Namun ironisnya setelah lebih dari seratus tahun berselang, fenomena tersebut ternyata masih terulang di tengah pandemi Covid-19. Di tengah suasana yang begitu mencekam dan penuh kekalutan, mendadak muncul berbagai sosok yang mengklaim bisa mengobati dan menangkal virus corona dengan berbagai ritual yang tidak masuk akal,” kata Ravando.