Secara fisik orang Papua dan sebagian Indonesia bagian timur berbeda dengan orang Indonesia di barat. Kendati begitu mereka tak benar-benar terpisah secara evolusi.
“Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi sekarang fisiknya lain, tapi semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” kata Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta.
Sebelum penelitian tentang fosil dan genetika dilakukan, Alfred Russel Wallace telah menyimpulkan bahwa ada dua ras berbeda yang mendiami Nusantara, yaitu ras Melayu di Indonesia barat dan ras Papua di timur.
“Ras Melayu mendiami hampir seluruh bagian barat kepulauan itu, sementara ras Papua mendiami wilayah New Guinea,” catatnya dalam Kepualauan Nusantara.
Baca juga: Sisi Lain Perjalanan Wallace
Wallace, naturalis asal Inggris, berkelana di Kepulauan Nusantara selama delapan tahun (1854-1862). Dari perjalanan itu, ia membagi batas-batas fauna secara geografis yang disebut Garis Wallace.
Selain itu, Wallace juga memiliki pandangan terkait ras-ras di Nusantara. Dalam catatannya yang berjudul asli The Malay Archipilago itu, ia menjabarkan perbedaan antara kedua ras berdasarkan fisik dan mental, sekaligus kemiripan dengan suku-suku di sekitarnya.
Orang Melayu
Wallace mencatat, warna kulit ras Melayu yang telah berkembang menjadi suku bangsa yang beraneka ragam adalah coklat kemerah-merahan dengan sedikit banyak kuning kecoklatan. Rambutnya hitam, lurus, dan agak kasar.
“Warna rambut yang agak terang, yang berambut ikal, dan keriting merupakan akibat percampuran dengan ras lain,” jelas Wallace.
Mereka tak berjanggut. Dada dan badan tak banyak bulu. Perawakannya sama dan lebih kecil dibanding orang Eropa. Badannya kuat dengan dada bidang. Kakinya kecil dan pendek. Tangannya kecil dan agak halus. Mukanya sedikit lebar dan cenderung datar. Dahinya agak bulat, alis tipis, dan hitam. Sorot matanya ramah. Hidungnya kecil, tak mancung namun lurus. Puncak hidungnya agak bulat dengan lubang hidung lebar.
Tulang rahang agak menonjol. Mulutnya lebar, bibir tebal, tatapi tak monyong. Dagunya bundar.
“Pada dasarnya orang Melayu tidak tampan. Tapi ketika masih remaja mereka sangat menawan,” kata Wallace. “Anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia 12 atau 15 tahun sangat rupawan.”
Baca juga: Keistimewaan Wallacea
Wallace pun menyimpulkan bahwa kecantikan dan ketampanan mereka hilang karena kebiasaan buruk. Hidup mereka tak teratur. Dalam usia yang masih sangat muda, mereka terus-menerus memakan sirih. Mereka juga menghisap tembakau. Pun menderita kekurangan gizi.
“Mereka sangat menderita karena terbakar matahari saat mencari ikan dalam perjalanan jauh,” lanjut Wallace.
Orang-orang Melayu muda ini juga seringkali hidup antara kelaparan dan kelimpahan makanan. Antara kemalasan dan kerja berat. “Hidup semacam ini mempercepat penuaan dan menambah kesuraman wajah,” kata Wallace.
Dari sisi emosi, orang Melayu termasuk yang datar. Mereka pendiam, kurang percaya diri, dan pemalu. “Para pengamat berpendapat bahwa sifat-sifat kejam dan haus darah yang dituduhkan kepada ras Melayu mungkin telah dibesar-besarkan,” kata Wallace.
Pasalnya, orang Melayu sangat tertutup. Perasaan mereka tak pernah dikatakan secara terbuka. Mereka berbicara dengan sangat hati-hati, bahkan berbelit-belit.
Orang Papua
Berbeda dengan ras Melayu, orang Papua punya warna kulit coklat gelap. “Adakalanya kulit mereka berwarna coklat kehitam-hitaman,” kata Wallace.
Rambut orang Papua sangat khas: keriting kecil-kecil, kasar, dan kering. Rambut itu tumbuh dalam rumpun-rumpun kecil. Saat muda, rambut mereka begitu pendek dan rapat. Kalau dipanjangkan, rambut itu akan mengembang.
Bagi orang Papua, rambut adalah kebanggaan. “Rambut bagi orang Papua adalah lambang keagungan,” kata Wallace.
Tak kalah dengan rambutnya, janggut orang Papua juga keriting. Di kaki, lengan, dan dada pun berambut.
Baca juga: Mengapa Wallace Kalah Populer Dibandingkan Darwin?
Dibanding orang Melayu, perawakan orang Papua lebih besar. Kaki mereka panjang dan kurus. Tangan dan kakinya juga lebih besar.
Soal wajah, muka orang Papua lonjong. Dahi mereka datar. Alisnya runcing. Hidungnya besar, agak bengkok, dan mancung. Pangkal hidungnya tebal dengan lubang yang lebar. Celah antarhidung dengan mulut tak terlihat, karena ujung hidungnya memanjang. Sementara mulutnya lebar, bibirnya tebal, dan menonjol.
“Pada dasarnya wajah ras ini lebih mirip wajah orang Eropa daripada orang Melayu, karena memiliki hidung besar, alis runcing, dan bentuk kepala yang khas,” lanjut Wallace.
Sifat orang Papua juga jauh berbeda dibandingkan orang Melayu. Wallace mengamati, orang Papua cenderung lebih ekspresif, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Mereka riang dan penuh tawa.
Pembauran
Berdasakan pembagian secara etnologis, Wallace mencermati orang-orang berperawakan khas Melayu banyak meninggali wilayah barat Nusantara. Sementara mereka yang berciri Papua menghuni bagian timur, termasuk seluruh bagian Pulau Papua, Aru, Mysol, Kepulauan Kei, Waigeo, dan Salawati.
“Ras Papua persebarannya juga meluas ke timur dan melampaui New Guinea Timur sampai ke Kepulauan Fiji,” jelas Wallace.
Secara keseluruhan, kata Wallace, ras Melayu mirip dengan penduduk Asia Timur, dari Siam sampai wilayah Manchuria di Cina Daratan. Ia sempat terkesan melihat kebiasaan pedagang Cina yang mengikuti kebiasaan penduduk Bali sehingga sulit dibedakan. “Pada saat yang lain, saya melihat penduduk asli Jawa dengan raut wajah menyerupai orang Cina,” catatnya.
Lebih jauh lagi, Wallace membandingkan kekhasan ras Melayu yang menghuni Benua Asia dan pulau-pulaunya sama dengan kekhasan mamalia besar yang juga menghuni wilayah itu. Ini, kata Wallace, menunjukkan kalau semua daerah ini pernah tersambung menjadi satu.
Baca juga: Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika
Akhirnya, Wallace pun menarik sebuah garis dari Kepulauan Filipina, kemudian menyusuri Pantai Barat Gilolo, melalui Pulau Bouru, dan melengkung mengelilingi ujung barat Flores, kemudian membelok kembali di dekat Pulau Cendana terus ke Rote. Dari situ, ia membagi Nusantara menjadi dua bagian dengan dua ras yang berbeda.
“Garis ini akan memisahkan ras Melayu dan semua ras Asia dari ras Papua serta semua penduduk Pasifik,” jelasnya. “Meskipun di sepanjang garis penghubung telah terjadi perpindahan dan percampuran antara ras.”
Pada masa kini, terbukti alih-alih pemisahan lebih tepat jika disebut dengan pembauran. Itu dibuktikan oleh studi genetika yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Penelitinya, Herawati Supolo-Sudoyo, menjelaskan lembaga itu telah melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 6.000 individu dari 70 populasi etnik di 12 pulau menggunakan penanda DNA.
Hasilnya, populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Data genomik menunjukkan adanya migrasi leluhur penutur Austronesia dari Taiwan yang bercampur dengan leluhur penutur Austroasiatik dari Cina Daratan yang kemudian menetap di Indonesia barat,” ujar Hera.
Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen moyang Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo.
Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika moyang Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika moyang Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika leluhur penutur Austronesia.
Baca juga: Indonesia Penutur Austronesia Terbesar
Hal itu kemudian dibuktikan pula dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur bahasa Austronesia.
“Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati.
Ihwal adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya, kata Hera, itu dipengaruhi kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Dalam pengembaraan para leluhur hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang silih berganti. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA.
“Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya.
Secara Paleontologi, orang-orang Papua mewakili apa yang disebut sebagai ras Australomelanesid. Merekalah leluhur orang Papua masa kini. Sementara penutur Austroasiatik dan Austronesia mewakili ras Mongoloid. Semuanya adalah keturunan manusia modern (Homo sapiens) yang diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua Afrika sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu.
Baca juga: Leluhur Orang Papua
Dalam migrasinya, leluhur orang Papua lebih dulu menghuni Nusantara. Itu terjadi sebelum migrasi Austroasiatik dan Austronesia ke Nusantara. Seiring kedatangan mereka, Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur.
Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. Belakangan, sebagian populasi mendapat campuran gen lagi dari India, Cina, Arab, dan Eropa. Inilah yang kemudian membentuk keragaman genetika orang Indonesia.