KEDATANGAN bidan Eropa ke Hindia Belanda pada abad ke-19 membawa sedikit berkah bagi para ibu pribumi hamil. Kasus kelahiran sulit bisa diatasi dengan lebih hiegenis sehingga mengurangi angka kematian ibu dan bayi.
Para bidan kulit putih itu biasanya ditempatkan di tiga kota besar di Jawa: Batavia, Surabaya, dan Semarang. Bidan yang telah memegang izin praktek sering dimintai bantuan oleh penduduk sekitar. Bidan Eropa diwajibkan memberi layanan gratis pada kasus kelahiran sulit bagi perempuan miskin dari segala ras. Kebijakan yang terlihat mulia ini sebetulnya kampanye dari Dinas Kesehatan Sipil. Dinas ingin perempuan pribumi ramai-ramai menggunakan jasa bidan sekaligus tertarik mendaftar ke sekolah kebidanan.
Peter Bloomgard dalam “The Development of Colonial Healthcare in Java” menyebut, Dinas Kesehatan Publik sudah seperti negara dalam negara. Mereka melakukan kampanye kesehatan, seperti manajerial rumahsakit, riset nutrisi dan medis, dan pelatihan pada tenaga kesehatan. Agenda-agenda ini cukup berhasil mengingat banyaknya bidan kulit putih yang hijrah ke tanah Indies.
Sekolah kebidanan di Belanda menelurkan 60-70 bidan terlatih tiap tahunnya. Para bidan ini tak semua bisa bekerja di Belanda. Sementara, kabar tingginya pendapatan di negeri jajahan sudah tersebar ke Belanda. Liesbeth Heseelink dalam Healers on the Colonial Market menyebut, upah di Hindia-Belanda selama sebulan setara gaji bidan di Belanda selama setahun. Karena itulah, banyak bidan Eropa rela menyeberangi lautan untuk membuka praktik di negeri jajahan.
Baca juga: Bidan Diciptakan Agar Angka Kematian Ibu dan Bayi Bisa Ditekan
Beberapa pensiunan bidan memilih bekerja sebagai bidan pribadi bagi keluarga-keluarga kaya Eropa. Para bidan amat senang mengurus keluarga Eropa karena upah yang mereka terima cukup banyak, juga dilayani dengan baik oleh babu dan jongos mereka. Lebih dari itu, bidan Eropa menikmati privilege dan rasa hormat yang diberikan baik oleh masyarakat Eropa, pribumi, maupun Tionghoa.
Kepuasan masyarakat Eropa di Hinda-Belanda pada kinerja bidan pribadi cukup tinggi. Saran para bidan amat didengar para nyonya kulit putih. Bahkan, pada beberapa keluarga Eropa, bidan punya pengaruh lebih besar dibanding dokter Eropa yang notabene laki-laki. Di masa ini, yang boleh jadi dokter hanya lelaki. Aletta Jacobs, dokter perempuan pertama di Belanda, saja baru lulus pada 1879.
Dokter H van Buuren pernah mengeluhkan ibu hamil Eropa yang menjadi pasiennya lebih banyak mendengarkan nasihat bidan berpengalaman dibanding dirinya yang seorang dokter dengan pengetahuan ilmiah. Liesbeth menyebut, Van Buuren menceritakan pengalamannya ini dengan rasa kesal dan nada merendahkan. Van Buuren menilai tindakan para bidan sudah melangkahi ranah dokter dan tidak bisa diterima. Ia juga menyayangkan mereka tak mendapat sanksi. Rebutan pasien inilah yang jadi salah satu pemicu ketegangan hubungan antara bidan dan dokter.
Baca juga: Dokter Pertama Mendiagnosis Penyakit Kelamin
“Mereka berani menggunakan segala metode untuk membantu persalinan, meresepkan obat, dan mereka memandang rendah para dokter yang dipanggil untuk membantu persalinan. Daripada mendengarkan saran dokter yang berdasar pengetahuan ilmiah, mereka lebih bersandar pada pengalamannya sendiri,” kata van Buuren.
Pada 1849, terdapat aturan bahwa obat hanya boleh diresepkan oleh dokter. Orang tidak memenuhi syarat yang mempraktikkan pengobatan Barat akan diberi sanksi. Namun, aturan ini lebih sering tidak dijalankan lantaran minimnya tenaga medis di negeri jajahan.
Pada 1951, pemerintah kolonial mendirikan sekolah medis di Batavia untuk mengatasi masalah kurangnya ahli kesehatan. Satu Sekolah Dokter Djawa untuk jejaka pribumi yang lulusannya jadi mantri, satu lagi sekolah kebidanan untuk gadis Jawa. Ide pendirian sekolah ini dicetuskan Kepala Layanan Medis dokter W. Bosch.
Baca juga: Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
Sebelum mengusulkan pendirian sekolah dokter Jawa, Bosch lebih dulu mengusulkan pendirian sekolah kebidanan. Tujuan pendirian dua instansi pendidikan ini sama, meningkatkan kualitas layanan medis negeri jajahan dan menyingkirkan pengobatan lokal. Lebih jauh, kata Liesbeth dalam disertasinya, tujuan pendirian sekolah itu untuk merebut pasar pengobatan di negeri jajahan. Namun apa daya, yang berebut malah sesama tenaga medis kulit putih.
Tiap perempuan yang lulus ujian masuk sekolah bidan akan mendapat bonus 50 gulden. Namun pada 1899, sekolah kebidanan terpaksa ditutup. Ada dua alasan yang menjadi penyebab penutupan itu sebagaimana ditulis dokter MPH van Kol dalam laporannya. Alasan yang beredar di muka umum ialah minimnya jumlah peminat. Namun alasan utamanya, pengelola pendidikan medis ingin memperluas Sekolah Dokter Djawa sehingga sekolah kebidanan yang muridnya sedikit ditiadakan agar bangunannya bisa digunakan.