Suatu hari di sebuah ruang introgasi, seorang letnan kolonel (letkol) dari Corps Polisi Militer (CPM) memeriksa seorang tahanan politik (tapol) yang dikaitkan dengan G30S. Perwira CPM dari Bogor itu melontarkan beberapa pertanyaan.
“Apa yang kowe perbuat semasa revolusi?” tanya si letkol. Kowe merupakan bahasa Jawa kasar yang berarti “kamu”.
“Mbedili Belanda,” jawab si tapol. Mbedili artinya menembaki, maksudnya menembaki tentara Belanda.
Jawaban itu pun menjadi jawaban yang tidak dipercaya dan –juga– tak diinginkan si pemeriksa. Si perwira itu barangkali berharap si tapol menjawab dirinya pada 1948 ikut dalam Peristiwa Madiun. Maka si tapol pun mendapatkan hadiah pukulan.
“Kok saya dijotos? Kenapa?” tanya si tapol mengeluh.
“Mbedili Belanda berarti kowe komunis. Kan Belanda yang menghantam komunis,” kata si letkol.
Begitulah kisah tapol yang dicatat Oei Tjoe Tat dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno. Tapol yang dimaksud Oei adalah Junta Suardi. Oei mengenalnya sejak sebelum menjadi tapol Orde Baru.
Perkenalan itu terjadi sewaktu Oei, yang belum jadi menteri, ditugasi Presiden Sukarno untuk mengadakan kunjungan rahasia dengan cara menyamar (incognito) kepada sukarelawan yang dilatih dalam rangka operasi Dwikora. Oei yang bingung caranya dan dengan apa dia harus memeriksa, bertanya kepada presiden.
“Nanti kamu pergi dengan Junta Suardi dari Bea Cukai. Dia bekas Tentara Pelajar. Oleh sementara orang dia dianggap Robin Hood,” jawab Sukarno.
Sebagai Tentara Pelajar, wajar jika di masa revolusi kemerdekaan 1945-1949 Junta Suardi ikut menembaki Belanda.
Perjalanan rahasia itu terjadi sekitar Agustus 1964 dengan tujuan daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. Oei menumpang kapal Bea Cukai, berangkat dari sekitar Bagan Siapiapi. Bersama Junta Suardi yang pegawai Bea Cukai itu, selama seminggu Oei melakukan perjalanan rahasia itu. Ke mana pun mereka pergi, tak ada yang tahu bahwa Oei adalah pejabat yang dekat dengan Presiden Sukarno.
Dalam kunjungan rahasia tersebut, Oei dan Junta Suardi juga melakukan foto bersama dengan sukarelawan Dwikora yang mereka temui di sektiar perbatasan. Salah satu sukarelawan itu adalah Letnan Dua Pierre Tendean yang kemudian menjadi korban G30S.
Junta Suardi ternyata bukan hanya seorang pegawai Bea Cukai. Dalam Korupsi Sejarah dan Kisah Derita Akar Rumput, Haryo Sasongko menyebut Junta Suardi adalah G-1 Komando Operasi Tertinggi (KOTI) bidang intelijen. Dia seorang loyalis Sukarno yang militan. Sejak 23 September 1965, Junta Suardi telah menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan nomor 225-C.
Di malam jahanam 30 September 1965 ke 1 Oktober 1965, Junta Suardi sedang berada di Jakarta. Entah untuk keperluan apa, namun dia berada di sebuah rumah yang dekat dari rumah Menko Hankam/KSAB Jenderal AH Nasution.
“Kelak saya mendapat kabar bahwa pada malam itu pemuda-pemuda agak ramai di suatu rumah di Jalan Waringin, tidak jauh dari rumah saya. Di sini kelihatan anak-anak Bea Cukai, Junta Suardi dan kawan-kawan, juga Kepala Intel Tjakrabirawa, Letnan Kolonel Ali Ebram,” kata Nasution, dikutip Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966: Mitos dan Dilema (2006:138).
Usai peristiwa berdarah yang terjadi beberapa jam setelah Junta Suardi di Menteng itu, peta politik nasional berubah dengan kekuasaan Sukarno yang terus melemah dan Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto pada posisi sebaliknya. Orang-orang kiri dan Sukarnois seperti Junta Suardi kemudian ikut terkena imbas. Junta Suardi ditangkap dan ditahan sebagai tapol. Setelah lama ditahan, Junta Suardi dan ribuan tapol lain masih harus menjalani kehidupan berat lantaran hidup dalam pengawasan rezim Orde Baru karena mereka dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Gerakan 30 September 1965 G30S. Di masyarakat pun, mereka dikucilkan.