Masuk Daftar
My Getplus

Rasuna Said versus Pemerintah Hindia Belanda.

Kemampuan pidato, serta kepiawaiannya dalam membakar semangat rakyat membuat perempuan Minangkabau itu ditakuti pemerintah kolonial. Kendati sempat ditahan dan diasingkan, namun ia tetap kembali ke panggung perjuangan

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 26 Okt 2020
H.R. Rasuna Said sebagai anggota Parlemen berpidato di Surabaya menceritakan pengalamannya mengikuti Konferensi Perdamaian Seluruh Asia tahun 1952. (ANRI).

Sejak pertengahan abad ke-19 hingga permulaan abad ke-20, perlawanan rakyat Sumatera terhadap kolonialisme semakin masif dilakukan. Mereka semakin gencar menyuarakan ketidaksenangannya terhadap cara-cara para pejabat Hindia Belanda menjalankan pemerintahan. Ketidakadilan yang diperlihatkan pemerintah Hindia Belanda telah menyulut kemarahan rakyat di sepanjang Sumatera. Seperti Perang Padri di Sumatera Barat, Perang Aceh, Perlawanan di Sumatera Utara, hingga Pemberontakan Pajak. Api perjuangan pun sejak saat itu tidak pernah mampu lagi dipadamkan.

Mengikuti jejak para pendahulunya, Haji Rangkyo Rasuna Said berusaha tetap menjaga gelora perlawanan di Ranah Minang. Ia sedikitpun tidak berkompromi dengan segala bentuk kolonialisme pemerintah Hindia Belanda di tanah kelahirannya itu. Meski cara-cara yang ia lakukan kerap kali membawa malapetaka kepadanya.

Si Jago Pidato

Sejak usia remaja, ketika menempuh pendidikan di Sekolah Diniyah Putri di Padang Panjang, Rasuna telah menunjukkan pemikiran-pemikiran yang progresif. Bahkan cara berpikinya itu oleh sebagian kalangan dianggap berbahaya, termasuk para guru di sekolahnya. Sehingga ia terpaksa harus meninggalkan Sekolah Diniyah Putri karena banyak murid di sana yang terlanjur menjadikan Rasuna panutan dalam berpikir dan bertindak.

Advertising
Advertising

“Mereka, misalnya, tidak lagi mengindahkan disiplin sekolah seperti salat berjamaah setiap waktu. Mereka lebih sering pergi untuk mendengarkan pidato-pidato politik para pemimpin PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia),” tulis Jajang Jahroni dalam Haji Rangkyo Rasuna Said: Pejuang Politik dan Penulis Pergerakan.

Baca juga: Rasuna Said, Perempuan Minang yang Ditakuti Belanda

Selepas dari Sekolah Diniyah, Rasuna semakin aktif mengikuti pertemuan dengan tokoh-tokoh pembaharu Minangkabau dari golongan muda, termasuk Haji Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul), dan Haji Udin Rahmani. Dari merekalah Rasuna belajar tentang pentingnya kebebasan berpikir, serta pembaharuan pemikiran keagamaan. Rasuna yang mendambakan kebebasan, kemajuan, dan kemerdekaan merasa ajaran kedua gurunya itu selaras dengan cita-citanya. Ia pun tumbuh menjadi seorang yang anti penjajahan, radikal, dan kuat. Dari hari ke hari, keterampilan berdebat dan pidatonya juga semakin hebat.

Memaskui tahun 1930-an, aktivitas Rasuna mulai mendapat perhatian pemerintah Hindia Belanda. Itu merupakan buntut dari kegiatan politiknya pada 1920-an. Diceritakan Sally White dalam Woman in Southeast Asian Nationalist Movements, Rasuna aktif di politik sejak 1926, dengan ikut terlibat dalam Sarekat Rakyat. Kemudian ia bergabung PERMI setelah aktivitasnya banyak dilakukan di Sumatra Thawalib. Di sana, Rasuna ditempatkan di bagian propaganda. Ia disibukkan dengan pidato dan rapat politik.

Baca juga: Islamisasi Minangkabau

“Dua tokoh yang menonjol dalam Permi yaitu Haji Moechtar Loetfi dan Rangkyo Rasuna Said. Keduanya jago berpidato. Mereka diberi julukan: Singa Minangkabau. Isi pidato mereka yang galak membuat Belanda khawatir ketenteraman umum di Sumatra Barat menjadi goncang,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia.

Musuh Pemerintah Kolonial

Kemampuan berpidato Rasuna amat ditakuti pemerintah kolonial. Kata-kata yang dilontarkannya bisa menyulut semangat rakyat untuk melawan penjajahan. Bila ia datang ke satu tempat untuk berpidato, rakyat akan berbondong-bondong mendengarkan. Ceramah politik Rasuna itu diminati banyak orang.

Aktivitas itulah yang membuat pemerintah Hindia Belanda menempatkan banyak agen polisi rahasia di setiap tempat yang dikunjungi Rasuna. Mereka bertugas menilai gerak-gerik Rasuna, dan melaporkan isi pidatonya. Jika dianggap berbahaya, para polisi itu akan menghentikan secara paksa ceramah Rasuna.

“Tak jarang di tengah pidatonya, Rasuna dipaksa berhenti dan diturunkan dari podium. Karena keberaniannya mengkritik pemerintah Belanda, ia dijuluki singa betina,” tulis Jahroni.

Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak

Dalam laporan Jaksa Agung Hindia Belanda R.J.M. Verheijen kepada Gubernur Jenderal De Jonge tanggal 19 Mei 1933, seperti dikutip Rosihan, jaksa berpendapat cara yang mesti ditempuh untuk membendung situasi politik di Sumatra Barat hanyalah dengan melumpuhkan para pemimpinnya, dengan menginternirnya. Rasuna berada di urutan tertinggi, bersama pimpinan lainnya, tokoh yang harus disingkirkan.

Tatkala Rasuna berpidato di Payakumbuh pada 1933, pemerintah Hindia Belanda telah mengincarnya. Ia direncanakan akan ditahan kemudian diinternir. Pidato Rasuna kala itu memang dianggap sangat berbahaya. Ia secara terang-terangan menyebut pemerintah Hindia Belanda melakukan upaya pembodohan dan memiskinkan rakyat, serta menanamkan jiwa perbudakan yang membuat rakyat malas dan terbelakang. Namun meski pidatonya amat keras, Rasuna tetap dibiarkan menyelesaikannya. Rupanya sehari setelah peristiwa itu, saat sedang di Bukittinggi, barulah Rasuna dijemput dan ditahan di Payakumbuh. Penangkapan itu membuat gempar Sumatra Barat.

Baca juga: Abdoel Moeis, Pembakar Semangat Rakyat Minang

Di dalam penjara Rasuna didatangi Controleur Tanah Batak dan Ranah Minang Daniel Van der Meulen. Ia mencoba membujuk perempuan muda itu untuk keluar dari PERMI dan meninggalkan segala aktivitas pergerakannya. Van der Meulen menulis percakapan dengan Rasuna itu di dalam memoranya, Hoort gij die donder niet?

“Rasuna, karena perbuatan anda sendiri, anda akan dihukum. Saya akan mengajukan hal-hal yang meringankan. Usia anda masih muda, anda berbakat pidato, wajah anda elok, tetapi semua ini tidak akan mencegah penghukuman. Pakailah waktu untuk berpikir mengenai kegagalan-kegagalan anda. Usahakan berbuat sesuatu yang baik dan janganlah kembali ke jalan politik,” ucap Van der Meulen.

Namun upaya Meulen itu tidak membuahkan hasil. Rasuna secara tegas menolak untuk menyerah dan akan melanjutkan perjuangannya. Ia lalu dihukum dan masuk penjara Bulu di Semarang, Jawa Tengah.

Baca juga: Rohana Kudus, Pahlawan Perempuan dari Tanah Minang

Rasuna ditahan selama satu tahun dua bulan. Pasca dibebaskan ia kembali ke Sumatera Barat, berharap bisa memulai kembali perjuangannya bersama PERMI. Namun penangkapan serta penjagaan pemerintah Belanda terhadap anggota partai itu semakin ketat dilakukan. Semangat juang di sana hampir padam. Rasuna yang melihat hal itu amat menyesalkan sikap para anggota PERMI yang tidak bernyali tersebut. Akhirnya ia memilih meninggalkan Sumatra Barat menuju Medan, Sumatra Utara.

Di Medan, Rasuna mendirikan sekolah khusus putri, diberi nama Perguruan Putri. Di sekolah itu Rasuna mengajarkan tentang pentingnya peran kaum perempuan dalam perjuangan kemerdekaan. Ia juga mengajarkan hak perempuan untuk memperoleh pendidikan sama dengan kaum pria. Selain mendirikan sekolah, Rasuna juga menerbitkan majalah Menara Putri, yang secara khusus membahas soal keislaman dan keputrian. Ide tentang kaum perempuan banyak diungkapkan di majalah yang terbit sebulan sekali tersebut.

“Dengan ketajaman penanya, Rasuna meniupkan kembali nafas-nafas perjuangan yang hampir mati kepada para pembacanya. Gaya tulisannya tanpa tendeng aling-aling, langsung, terang-terangan, namun jujur. Persis semboyan Menara Putri sendiri, Ini dadaku, mana dadamu,” tulis Jahroni.

TAG

rasuna said minangkabau

ARTIKEL TERKAIT

Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hatta dan Pernikahan Adat Minang Tabula Rasa yang Menggugah Selera Ketika Hatta Mulai Mengenal Tuhan Gerakan Kaum Intelektual di Ranah Minang Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh