Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Hatta Mulai Mengenal Tuhan

Bagaimana Hatta menelusuri tentang keberadaan Tuhan dalam benaknya yang masih kecil.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 24 Des 2020
Bung Hatta makan bersama delegasi Perundingan Linggarjati tahun 1946 (nationaalarchief.nl)

Bangunan rumah itu mudah dikenali. Bentuknya agak lain dari bangunan di sekitarnya. Bilik dan atap didominasi bahan kayu tegap, dengan langgar yang cukup luas. Lebih istimewa lagi, alunan ayat suci Al-Qur’an tiap waktu terdengar dari sana. Orang-orang kerap berkumpul, duduk mendengarkan ceramah seorang alim di tempat itu. Suaranya amat menenangkan. Isi ceramahnya begitu mencerahkan. Di tempat bernama Batuhampar itulah Mohammad Hatta belajar tentang ilmu agama.

Hatta terlahir di keluarga dengan latar belakang Islam yang kuat. Dari sisi ayah, banyak kerabat yang fokus mendalami agama Islam. Bahkan kampung Batuhampar, Patakumbuh, Sumatra Barat terkenal sebagai pusat pendidikan Islam, yang santrinya datang dari seluruh Sumatra, Kalimantan, hingga Melayu. Kakek Hatta juga merupakan salah satu ulama terkenal di sana.

Baca juga: Islamisasi Minangkabau

Advertising
Advertising

Oleh keluarganya Hatta sering diajak berkunjung ke Batuhampar. Dalam setahun setidaknya dia berkunjung sebanyak dua kali. Bukan sekedar untuk bermain, tetapi juga berziarah ke makam leluhur keluarga ayahnya. Di sana Hatta tinggal di kediaman pamannya, Haji Arsad, seorang ulama terkemuka bergelar Syekh Batuhampar.

“Beliau sangat sayang padaku. Air mukanya yang jernih selalu, yang mencerminkan jiwa yang murni. Kata-katanya yang selalu mendidik ke jurusan berbuat baik. Ramah-tamahnya kepada segala orang dengan sifat yang pemurah kepada fakir miskin dan orang-orang yang datang mengaji dan berziarah dari jauh. Wajah dan tabiat beliat itu tepat benar dengan kedudukan beliau sebagai ulama besar dan ahli tarikat,” ujar Hatta menggambarkan sosok yang amat dihormatinya tersebut.

Ayah Gaekku Arsad, begitu Hatta biasa menyapanya, masih satu kerabat dengan ayah Hatta. Diceritakan dalam otobiografinya Memoir, Ayah Gaekku Arsad usianya sudah lebih dari 50 tahun. Perawakannya tegap dan berisi, dengan jubah dan sorban yang tidak pernah lepas dari tubuhnya. Bagi Hatta, pamannya itu memiliki pribadi yang amat terpuji. Berkat dia jugalah Hatta mengenal cara hidup dan bergaul secara Islam.

Baca juga: Wasiat Bung Hatta

Sebagai ahli tarikat, Ayah Gaekku Arsad paham bahwa anak-anak seusia Hatta tidak boleh dibebani dengan ajaran agama yang sulit. Ia pun mesti berhati-hati dalam menyampaikannya. Tetapi bagi Hatta, Syekh Arsad pandai dalam menanam paham agama Islam. Dalam setiap pertemuan yang singkat, dia bisa menanamkan pokok uraian secara baik dan mudah dimaknai.

“Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, Tuhan seru sekalian alam. Allah menjadikan segala yang ada di alam dan di langit. Allah memberi kita rezeki. Sebab itu kita harus berterima kasih pada Allah. Balas kasih Allah pada kita itu dengan mengasihi orang lain. Dan Allah nanti membalas pula budi kita itu dengan melimpah. Dan teori yang diajarkannya itu kulihat dipraktikannya dengan perbuatan,” kata Hatta.

Pada suatu kunjungan ke Batuhampar, Hatta pernah bertanya kepada pamannya itu tentang penggambaran Tuhan yang didengarnya dari Haji Ismail –seorang sahabat Ayah Gaekku dari Matur. Haji Ismail menggambarkan Tuhan layaknya manusia. Tetapi memiliki perbedaan yang amat kentara: sempurna dalam segala-galanya.

Baca juga: Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta

Wajah Tuhan, kata Haji Ismail, tiada tandingannya di dunia ini. Rambut, kumis, dan jenggotnya putih tidak bercela-cela. Pandangannya tajam tapi menenangkan. Tuhan memiliki pendamping, yakni malaikat. Tugasnya turun ke bumi dan mencatat segala hal yang terjadi. “Sungguhpun berambut putih, Allah tidak pernah tua, tidak berubah-ubah tetap seperti itu selama-lamanya,” ucap Haji Ismail.

Dengan penuh semangat Hatta menceritakan apa yang didengarnya itu. “Benarkah Allah besemayam di langit yang ke tujuh di atas satu singgasana yang indah sekali, dilingkungi oleh malaikat dan bidadari?” tanya Hatta dengan mata berbinar.

Mendengar hal itu Ayah Gaekku hanya tersenyum. Dia lalu meyakinkan Hatta bahwa semua yang didengarnya salah besar. Menurutnya, Haji Ismail telah keliru membuat gambaran Tuhan. Itu hanya karang-karangan manusia saja, tidak ada kebenaran sama sekali di dalamnya. Kuasa Tuhan, kata Ayah Gaekku, jauh lebih besar dari apa yang bisa dibayangkan manusia.

“Kita manusia dan segala yang hidup di atas dunia adalah baru. Alam, matahari, bulan, dan bintang semuanya baru. Semuanya buatan Tuhan. Segala yang terjadi ada yang menjadikannya. Ada awal dan akhirnya. Tuhan yang menjadikan tidak baru, ada selama-lamanya, tunggal, tidak dijadikan. Allah yang ada selama-lamanya itu mengetahui semuanya dan mendengar semuanya. Allah Maha Besar dan Maha Kuasa,” terang Ayah Gaekku.

Baca juga: Hatta yang Sentimentil

“Allah yang tunggal tidak dapat serupa atau sama dengan yang dijadikannya. Kalau serupa dan sama, itu tidak tunggal lagi. Oleh karena itu Allah adalah zat yang tidak serupa dengan yang baru. Tidak dapat digambarkan dengan rupa manusia, tidak dapat dikatakan dengan bentuk dan rupa yang ada di dunia ini. Yang kita tahu hanya Allah ada, sebab dibuktikan oleh yang dijadikannya,” lanjutnya.

Hatta hanya diam mendengarkan. Sesekali dia mengangguk. Banyak sekali pengetahuan yang didapatnya hari itu. Ayah Gaekku kemudian menutup kisahnya dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kisah Tuhan dan segala ciptaannya. Namun hampir tidak ada satupun ayat yang dimengerti Hatta. Itu karena dia tidak bisa bahasa Arab.

TAG

mohammad hatta minangkabau

ARTIKEL TERKAIT

Dari Manggulai hingga Marandang Foto di Warung Padang Ini Dianggap Orang Sakti Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hatta dan Pernikahan Adat Minang Tabula Rasa yang Menggugah Selera Gerakan Kaum Intelektual di Ranah Minang Rasuna Said versus Pemerintah Hindia Belanda. Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi