PARTAI Sosialis Indonesia (PSI) sudah bubar sejak 17 Agustus 1960. Banyak cerita beredar di balik pembubarannya. Resminya, ia dituduh terlibat dalam peristiwa PRRI di Sumatra. Tapi kenyataan yang terjadi, lebih rumit dari sekadar konflik pusat dan daerah.
Bubarnya PSI tak serta merta membuyarkan cerita mengenai partai yang didirikan oleh Sutan Sjahrir pada 12 Februari 1948 itu. Partai memang selesai, tapi organisasi sayapnya tak lantas surut berkiprah. Mereka tetap eksis dalam panggung politik di Republik.
Upaya menghidupkan kembali PSI pun tak pernah berhenti. Walau berkali-kali pula menemukan kegagalan, para ahli waris PSI memainkan lakonnya sendiri-sendiri untuk membangun kembali mimpi partai.
PSI bak mitos yang terus jadi buah bibir dalam perbincangan politik di Indonesia. Sejumlah orang disebut-sebut sebagai kader PSI. Sassusnya mereka memainkan peran penting di dalam berbagai bidang, mulai pemerintahan sampai pers. Tak semua bisa menerima “tuduhan” itu.
Tapi, kata Fadjroel Rachman, aktivis yang paling lekat dengan para tokoh PSI, kemenangan PSI bukan terletak pada keberadaannya di panggung kekuasaan melainkan pada gagasannya yang kini dijalankan.
Historia mengangkat soal PSI bukan hendak mengukuhkan mitos, tapi untuk meriwayatkan partai yang pernah memainkan peran penting dalam sejarah di Indonesia.*
Berikut ini laporan khusus PSI:
Ketua Umum PSI Jadi Perdana Menteri
Intelektual Muda Tukang Kritik
Dari Rehabilitasi Sampai Oposisi