Masuk Daftar
My Getplus

Pasai Kaya Lantaran Berdagang Lada

Samudra Pasai bukan kerajaan Islam tertua di Nusantara. Kaya karena penghasil lada.

Oleh: Petrik Matanasi | 22 Jun 2024
Seekor dari kawanan lumba-lumba terlihat dari anjungan KRI Dewaruci di perairan Aceh Timur sekira jam 10 pagi, 21 Juni 2024 (Petrik Matanasi/Historia)

JELANG dinihari 21 Juni 2024, KRI Dewaruci sudah memasuki perairan Aceh dalam pelayaran Muhibah Budaya Jalur Rempah. Paginya, Dewaruci sudah melewati kawasan Lhoksumawe dan Lhoksukon. Kawanan lumba-lumba sempat terlihat di perairan Aceh Timur sekitar pukul 10.00 pagi. Mereka terlihat di bawah anjungan kapal latih TNI AL itu. Beberapa di antaranya melompat.

Dari kejauhan, terlihat tangki-tangki minyak berukuran besar. Aceh dikenal juga karena minyaknya. Kawasan ini dulunya diperkirakan wilayah dari kerajaan Samudra Pasai, salah satu kerajaan besar di Aceh.

Dulu, murid-murid sekolah dalam pelajaran sejarah Indonesia diajari bahwa Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Namun setelah ada upaya pelurusan sejarah, disebutkan bahwa Peurelak atau Perlak justru yang merupakan kerajaan Islam tertua di Indonesia. Baik Samudra Pasai maupun Perlak sama-sama di Aceh. Lokasi bekas kerajaan Perlak itu kini menjadi Kabupaten Perlak.

Advertising
Advertising

“Posisi sekarang berada di Aceh Utara dan Aceh Timur,” kata Miftah Roma Uli Tua Nasution dari Balai Pelestarian Kebudayaan I Aceh, menerangkan tentang Kerajaan Pasai, kepada Historia.

Kawasan Kerajaan Pasai itu kini dilewati jalan raya Maden-Banda Aceh. Tua tak tua, Samudra Pasai tetap kerajaan Islam yang penting dan berpengaruh di Selat Malaka.

Samudra Pasai adalah penghasil lada. Kawasan Aceh sejak dulu identik dengan lada.

“Di Pasai perkebunan lada telah berproduksi sejak abad ke-14,” catat Muhamad Ibrahim dkk dalam Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Hingga sekitar tahun 1920, lada tetap tanaman penting di Aceh. Lada banyak diusahakan di pantai barat. Selain lada, sutra dan kemenyan juga dihasilkan di Pasai.

Samudra Pasai merupakan kerajaan dagang yang terbuka dengan bangsa-bangsa lain. Pasai menjadikan diri sebagai pelabuhan penting di sisi utara Selat Malaka. Perdagangan di wilayahnya itu telah mengundang banyak pedagang asing untuk dagang. Mulai dari orang orang Gujarat, Keling, Bengal (Benggala), Pegu (Burma), Siam, Kedah, hingga Beruas.

“Sebagian besar orang Pasai merupakan orang Bengal, atau keturunan asli dari orang-orang ini,” catat Tome Pires dalam Suma Oriental yang disusun antara 1512-1515.

Orang Bengali atau Benggala menjadi yang paling banyak berdagang di Pasai. Bengali kini berada di perbatasan India dengan Bangladesh –yang berada di India menjadi Provinsi Benggala Barat. Adanya relasi antara orang Bengal dan Pasai itu mengakibatkan adanya kedekatan kuliner antara daerah India dengan Aceh.

Menurut Andreas Maryoto, penulis buku Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan, pengaruh India secara garis besar masuk dalam dua gelombang: pertama, abad ke-14 dan kedua, pada masa Kesultanan Mughal. Pengaruh India di Pasai terjadi pada gelombang kedua. Saat itu, Mughal memang memiliki hubungan diplomatik dengan Aceh.

“Beberapa makanan yang bisa diduga terkait pengaruh Mughal antara lain makanan yang bersantan dan pedas,” tulis Andreas Maryoto.

Sebagai pedagang, masyarakat Pasai tentu mengenal uang. Pada 1500-an, Pires mencatat uang yang digunakan adalah koin-koin kecil yang terbuat dari timah dengan cap raja yang berkuasa di sisi-sisinya. Selain koin timah, ada pula koin kecil emas yang disebut Drama. Sembilan Drama sama nilainya dengan 1 Cruzado. Serbuk emas dan perak juga digunakan dalam perdagangan. Merica dihitung pula dengan satuan Bahar. Namun nilai Bahar di Pasai lebih rendah daripada yang digunakan di Malaka.

Perdagangan antarnegara di Pasai melibatkan banyak kapal. Termasuk yang disebut Jung. Masuknya pedagang asing ke Pasai menjadi pemasukan tersendiri bagi kas kerajaan. Besar-kecilnya kapal, menurut Tome Pires, menentukan besaran pajak pedagang dari luar. Untuk barang dari arah barat yang masuk ke Pasai dikenai pajak 6 persen. Untuk seorang budak ada pungutannya pula.

Perdagangan antarnegara membuat Pasai kaya-raya. Apalagi ketika Malaka nun jauh di seberang tenggara dan Pedir, yang merupakan musuh bebuyutan Pasai, mendapat masalah.

“Kerajaan Pasai memiliki kota bernama Pasai, sebagian orang menyebutnya Camotora (Sumatra),” catat Tome Pires.

Kota Pasai dihuni tidak kurang dari 20.000 orang. Kota ini berada di Aceh Timur. Para pedagang asing di Pasai tentu tak kesulitan mencari makanan.

Sebelum agama Islam masuk, daerah Pasai diperintah oleh raja pagan. Meurah Silu dianggap sebagai pemimpin Pasai pertama yang masuk Islam. Dia kemudian bergelar Sultan Malikussaleh, berkuasa antara 1267 dan 1297. Setelah dirinya, raja-raja Pasai bergelar sultan.

Namun keadaan akhirnya berubah. Tak selamanya keturunan Meurah Silu berkuasa. Di zaman Tome Pires bertualang ke sekitar Aceh, keluarga Meurah Silu sudah tidak berkuasa lagi.

“Seratus enam puluh tahun telah berlalu sejak raja tersebut digulingkan oleh pedagang Moor yang licik, yang pada saat itu berada di Kerajaan Pasai. Diberitakan bahwa pada waktu itu, orang-orang Moor telah menguasai pesisir pantai dan mereka akhirmya mengangkat seorang raja Moor yang berasal dari kasta Bengal,” catat Tome Pires.

Moor kerap menjadi sebutan untuk orang-orang Timur Tengah yang berkulit agak gelap. Setelah orang Bengali berkuasa, cara pergantian pemerintahan bisa berubah. Siapapun yang bisa membunuh raja bisa menjadi raja. Bekas wilayah Pasai dan Pedir kemudian menjadi wilayah dari Kerajaan Aceh yang muncul di pengujung abad ke-15.

TAG

jalur rempah samudera pasai aceh

ARTIKEL TERKAIT

Kampung Tua di Sabang Perwira Prancis Beli Lada dapat Prank Raja Perkasa Alam Kuat dan Paranoid Sabang, Singapura yang Gagal Pedir Kaya Jual Merica Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro Kopral Roeman Melawan Teungku Leman Sejumput Kisah Sersan Baidin Sersan Zon Memburu Panglima Polim Di Masa Revolusi Rakyat Aceh Menerima Pengungsi