Partai Kristen Indonesia (Parkindo) punya basis massa yang kuat di Sumatra Utara. Sejumlah kader Parkindo asal Tapanuli bahkan menjadi pemuka di kancah nasional. Sebut saja Todung Sutan Gunung Mulia (salah satu pendiri Parkindo), Melanchton Siregar (Ketua Umum Parkindo terakhir), dan Mr. Johannes Chrisos Tomus Simorangkir (anggota Konstituante, pakar hukum tata negara).
Pada pemilu 1955, Parkindo menempati urutan keenam dengan perolehan 1.003.325 suara (2,6 %). Torehan suara itu berhasil menyegel delapan kursi untuk wakil Parkindo di DPR. Sumatra Utara menjadi daerah penyumbang suara terbanyak dengan 291.319 pemilih. Peringkat yang sama juga ditempati Parkindo untuk pemilihan anggota Konstituate dengan perolehan 988.810 suara (2,61%) dan berhak atas 16 kursi.
“Pada waktu itu agaknya 80% umat Kristen telah memilih Parkindo di Sumatra Utara pada pemilu pertama itu. Kalau Parkindo leading di Tapanuli Utara dan Nias, itu adalah sesuatu yang mudah dipahami. Tetapi Parkindo juga leading di Kota Kabanjahe, ibu kota Kabupaten Karo yang dikenal sebagai basis PNI sejak zaman revolusi,” catat L. Lumbangaol dalam testimoni biografi Melanchton Siregar: Pendidik dan Pejuang yang disusun Payung Bangun.
Baca juga: Melanchton Siregar, Guru yang Bergelar Kolonel Tituler
Memasuki paruh kedua 1950, Parkindo dilanda prahara. Salah satu kadernya yang juga anggota Konstituante, Saladin Sarumpaet, terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dalam maklumat pembentukan kabinet PRRI pada 10 Februari 1958 di Padang, Sumatra Barat, Saladin diumumkan sebagai menteri pertanian merangkap menteri perburuhan.
Pada 16 Februari 1958, KSAD Mayjen Abdul Haris Nasution mengeluarkan perintah penangkapan sejumlah petinggi PRRI. Mereka antara lain: Sjafruddin Prawiranegara, Moh. Sjafei, Boerhanuddin Harahap, Soemitro Djojohadikusumo, termasuk Saladin Sarumpaet, dan Abdulgani Usman. Ketua Parkindo Tapanuli W. Lumbantobing dan istri Saladin Saladin Sarumpaet bahkan sempat ditahan aparat.
Saladin bersama istrinya Julia br. Hutabarat, seperti disebut dalam Pelayanan Kontemporer dalam Masyarakat Majemuk: Pengabdian Ephorus Ds. Dr. Tunggul S. Sihombing, merupakan pelopor pendiri Parki, cikal bakal Parkindo. Saladin dalam suratkabar terbitan Sibolga, Pelopor, 18 Februari 1958, mengatakan kabinet PRRI adalah suatu bentukan yang akan menyerahkan mandatnya kepada susunan pemerintahan Bung Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX. Kendati demikian, PRRI tetap saja terang-terangan bertentangan dengan pemerintah, bahkan siap angkat senjata menghadapi operasi militer TNI. Bagi pemerintah pusat di Jakarta, PRRI dilekatkan dengan predikat pemberontak.
Baca juga: Operasi Bersama Gempur Sumatra
Perintah penangkapan yang dikeluarkan Nasution diikuti dengan pelarangan aktivitas partai-partai tertentu di daerah bergolak. Sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern menyebut partai-partai yang dibekukan itu antara lain Masyumi dan PSI, juga Parkindo dan IPKI, karena dinilai membantu kaum pemberontak PRRI. Dihadapkan pada situasi demikian menempatkan Parkindo dalam tekanan. Apalagi bagi Ketua Parkindo Sumatra Utara Melanchton Siregar. Sumatra Utara menjadi salah satu daerah yang bergolak dengan berdirinya Dewan Gajah pimpinan Panglima Teritorium I/Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon.
Kedekatan pribadi antara Melanchton dengan Simbolon boleh jadi batu sandungan. Simbolon adalah adik kelas Melanchton semasa sekolah guru HIK di Solo. Keduanya juga terbilang dekat, ketika Simbolon menjabat panglima sedangkan Melanchton kepala jawatan pendidikan di Sibolga pada awal 1950-an. Namun, Simbolon kemudian malah bergabung dengan PRRI bahkan menjadi menteri luar negerinya. Selain itu, salah seorang adik kandung Melanchton, Mayor Henry Siregar, komandan Batalion 131/Melati turut menggerakkan pasukannya menyokong PRRI.
Menurut Payung Bangun, Melanchton agak terkejut bahkan kecewa atas perkembangan yang sedemikian jauh di daerah, khususnya Sumatra Utara. Padahal, ketika Dewan Gajah berdiri, Parkindo Sumatra Utara mengeluarkan pernyataan dukungan terhadap dewan tersebut. Dukungan itu semata-mata berdasar atas kepercayaan dan hubungan karibMelanchton dengan Simbolon. Dari Simbolon, Melanchton memperoleh keterangan bahwa Dewan Gajah bertujuan mengoreksi pemerintah untuk pembangunan daerah serta perbaikan kehidupan prajurit.
Baca juga: Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon
“Demikian pula dijelaskannya kepada saya bahwa tidak ada maksud untuk memisahkan diri dan tidak ada maksud untuk mengganti Bung Karno sebagai presiden. Setelah mendengar itu, saya dan teman-teman dari Parkindo memutuskan untuk membuat pernyataan dukungan itu,” kata Melanchton dikutip Payung Bangun.
Untuk mempertanggungjawabkan keterlibatan kader Parkindo dalam PRRI, Melanchton bersama Ketua Umum Parkindo Albert Mangaratua Tambunan dipanggil menghadap Presiden Sukarno. Keduanya atas nama Parkindo menyatakan tidak dapat menerima adanya pemberontakan tersebut. Sempat terjadi perdebatan mengenai kata “mengutuk” yang terdapat dalam naskah pernyataan yang akan ditandatangani.
Tambunan dan Melanchton tidak dapat menerima kata 'mengutuk' karena bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Bagi mereka, hanya Tuhan saja yang berhak mengutuk. Terbentur dengan prinsip yang diyakini kedua pimpinan Parkindo itu, Sukarno akhirnya berkenan meralat naskah pernyataan untuk Parkindo.
Pemakaian kata “menyalahkan” disepakati untuk menggantikan kata “mengutuk”. Tambunan dan Melanchton pun membubuhkan tandatangan mereka sebagai pernyataan menyalahkan pemberontakan PRRI. Dengan adanya pernyataan tersebut, Parkindo tidak turut dibubarkan seperti nasib Masyumi dan PSI.
Baca juga: Rumah Tahanan Masyumi