SATYA GRAHA Graha masing ingat pertemuan itu. Ketika mendaftar menjadi anggota Markas Besar Pertempuran Djawa Timoer di Madiun, dia diwawancarai langsung oleh pimpinan pasukan Mayjen TNI Moestopo. Saat wawancara berlangsung, pelayan datang menyuguhi secangkir kopi. Alih-alih dinikmatinya, Moestopo malah menggeser cangkir kopi itu ke hadapan Satya.
“Nih kamu minum saja kopinya, soalnya hanya satu cangkir,” ujar sang jenderal.
Moestopo dikenal sebagai sosok egaliter sekaligus nyeleneh. Ketika memimpin Divisi Mobil yang beroperasi menggunakan kereta api, dia kerap nekat menyerang militer Belanda dari atas kereta api yang dikendarai dengan kecepatan tinggi. Sambil bertempur, dia berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu kereta api yang terbuka dan berteriak: “Hei Nederlandse soldaat! Als je witt vechten, kom dan hier tevoorschijn: Generaal Moestopo! (Hei serdadu Belanda! kalau kalian ingin berkelahi, ayo hadapi aku: Jenderal Moestopo!).
Kereta api tempur itu tak jarang berhenti sekonyong-konyong di tengah jalan. Itu dilakukan masinis sekadar memenuhi perintah komandannya yang kebelet buang air kecil.
Namun, yang paling mengesankan anak buahnya adalah kebiasaan Moestopo mengkonsumsi daging kucing. Menurut sejarawan Robert B. Cribb, itu dilakukan sang jenderal guna “memelihara kemampuan tempurnya”. Alasannya “supaya dapat melihat dalam gelap layaknya mata seekor kucing,” tulis Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949.
Saat memimpin Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) di front Subang, Jawa Barat, Moestopo pernah mendorong anggota pasukannya untuk melaksanakan kebiasaannya itu. Tentu saja, anggota Pasukan Terate yang sebagian besar maling dan pencopet “dengan penuh dedikasi” melaksanakan perintah itu.
Baca juga: Moestopo kehilangan tas, dicuri anak buahnya sendiri
Tradisi nyeleneh itu sempat diketahui oleh Kepala Staf TRI, Letjen TNI Oerip Soemohardjo. Ceritanya, suatu hari di tahun 1947, Moestopo mengajak Oerip meninjau pos terdepan pasukannya. Di suatu pos, tiba-tiba perhatian Oerip tertuju kepada deretan makam dengan nisan sederhana terpancang di atasnya.
“Itu makam?” tanya Oerip
“ Ya, Jenderal!” jawab salah satu anggota pasukan Moestopo.
“Jadi, banyak korban di sini?”
“ Ya... Ya... Jenderal,” ujar sang prajurit tergagap-gagap.
Dengan mimik serius, Oerip memperhatikan kembali makam-makam tersebut. Wajahnya sedikit mendung.
“Tetapi maaf Jenderal. Itu bukan makam manusia," kata si prajurit agak segan.
“Lha, terus makam apa?”
“ Ehmm... Anu Jenderal… Itu hanya makam ayam, kambing dan kucing, yang menjadi korban santapan kami sehari-hari.”
Konon, kompleks pemakaman binatang itu idenya Moestopo. Untuk apa? Ya, apa lagi jika bukan untuk menghormati jasa-jasa kucing dalam perjuangan karena “sudah disantap”.