Brigjen TNI NA, anggota organik Sekolah Staf dan Komando TNI, dikecam karena telah menembak enam kucing dengan senapan angin pada Selasa siang, 16 Agustus 2022. Dia mengakui perbuatannya dengan alasan menjaga kebersihan dan kenyamanan di lingkungan tempat tinggal dan tempat makan Perwira Siswa Sesko TNI dari banyaknya kucing liar. Menindaklanjuti perintah Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa, Tim Hukum TNI telah mengambil tindakan hukum kepada Brigjen TNI NA.
Pada masa revolusi kemerdekaan, kucing-kucing juga bernasib malang. Tak hanya dibunuh, tapi juga dimakan untuk bertahan hidup. Penganjurnya seorang jenderal. Hal itu terungkap dalam buku Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945–1949 karya Moehkardi, pensiunan dosen sejarah di Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang mewawancarai Mayjen TNI (Purn.) dr. Moestopo.
Pada suatu hari di tahun 1946, Jenderal Mayor TNI dr. Moestopo mengajak rombongan Kepala Staf Umum TNI Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo meninjau pos terdepan yang terpencil, tempat para kadet Militer Akademi (MA) bertugas. Sementara para peninjau sedang mewawancari para kadet, perhatian Oerip tertuju pada sebidang tanah di mana terdapat beberapa gundukan yang masing-masing terpancang sebatang kayu nisan sederhana sebagai tanda pemakaman.
“Itu makam?” tanya Oerip.
“Ya Jenderal!” jawab seorang kadet.
“Jadi, banyak korban di sini?” tanya Oerip dengan nada serius.
“Ya, ya Jenderal,” jawab kadet itu agak gagap. “Tetapi, maaf Jenderal. Itu bukan makam manusia!”
“Lha? Terus makam apa?” tanya Oerip keheranan.
“Anu Jenderal. Itu hanya kuburan… ayam, kambing, kucing dan lain-lain yang menjadi korban santapan kami,” kata kadet itu.
Baca juga: Sukarno-Hatta dan Kucingnya
Moehkardi menjelaskan, para kadet MA itu dikirim dari Yogyakarta ke front Subang dalam dua gelombang, masing-masing kurang lebih satu kompi. Gelombang pertama berangkat Juli 1946, sedangkan gelombang kedua berakhir tugas pada pertengahan Oktober 1946. Mereka bertugas kurang lebih dua bulan.
Para kadet MA ditempatkan di bawah Jenderal Mayor TNI dr. Moestopo, komandan Pasukan Teratai yang terdiri dari Barisan Maling dan Barisan Pelacur. Dr. Moestopo merangkap sebagai Kepala Staf Komando Sektor Bandung Utara-Timur di bawah Letnan Kolonel Sukanda Bratamanggala.
Para kadet MA yang ditempatkan di staf Bratamanggala, jelas terjamin makanannya. Mereka yang ditempatkan di pos-pos terdepan ada yang masih dijamin makanannya oleh dapur umum. Namun, mereka yang ditugaskan di pos-pos terpencil, dibiarkan tanpa jaminan makanan. Mereka harus mencari sendiri makanan di sekitarnya.
“Mungkin hal itu memang sengaja oleh dr. Moestopo untuk melatih fisik dan mental para kadet agar tetap bisa bertahan dalam kondisi bagaimana pun juga,” tulis Moehkardi.
Sejarawan Robert Cribb dalam Gejolak Revolusi di Jakarta, 1945–1949 Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemoni, menyebut dr. Moestopo adalah perwira yang eksentrik namun imajinatif. Misalnya, ia memiliki gagasan untuk mengolesi ujung bambu runcing dengan kotoran kuda agar dapat menimbulkan tetanus pada musuh yang tertusuk. “Ia pula yang menganjurkan anak buahnya untuk memakan daging kucing agar mampu melihat dalam gelap,” tulis Cribb.
Baca juga: Kisah Buya Hamka dan Kucing Si Kuning
Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, 13 Juni 1913. Dia seorang dokter gigi lulusan School Tot Opleiding van Indische Tandartsen (STOVIT) di Surabaya. Pada masa pendudukan Jepang, dia menjadi perwira Peta (Pembela Tanah Air). Setelah Indonesia merdeka, dia masuk tentara Republik Indonesia dan berpangkat Jenderal Mayor pada masa revolusi kemerdekaan.
Dr. Moestopo berperan penting dalam Pertempuran Surabaya pada November 1945. Dia pernah dianggap sebagai Menteri Pertahanan Ad Interim di Surabaya. Meski secara resmi namanya tidak masuk dalam Kabinet Sutan Sjahrir.
Menurut Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya, sebagai Menteri Pertahanan dan pimpinan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Jawa Timur, tindakan dr. Moestopo telah menunjukkan hasil yang gemilang dan sangat menguntungkan dalam rangka menegakkan kedaulatan Republik Indonesia serta menerima penyerahan kekuasaan dan senjata serta mendapatkan keuangan untuk biaya revolusi.
Setelah masa revolusi kemerdekaan, dr. Moestopo sempat menjabat Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat Jakarta. Dia kemudian terjun ke dunia pendidikan. Mula-mula mengadakan kursus tukang gigi pada 1950-an. Namanya diabadikan pada Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) yang berdiri pada 1961 di Jakarta. Dia pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal TNI.*