THOMAS Najoan merupakan orang buangan di Tanah Merah, Boven Digul, yang suka bercanda. Orang-orang buangan suka dengan humornya. Suatu kali, dia ditanya kenapa kabur ke Australia tapi kembali lagi ke Digul.
“Australia tidak menyukai saya, maka kembalilah ke Om Bintang,” kata Thomas Najoan.
Dalam pelarian berikutnya, Thomas Najoan tertangkap lagi. Mantri polisi yang dikenal sebagai Om Bintang lalu bertanya padanya kemana dia akan pergi.
“Saya sedang mencari Stalin dan Trotsky, tapi rupa-rupanya saya selalu hanya bisa menemukan Om Bintang,” kata Thomas Najoan sebagaimana dicatat Sutan Sjahrir dalam Renungan dan Perjuangan.
“Kami semua harus menertawakannya,” kata I.F.M. Chalid Salim, orang buangan di Digul, dalam Vijftien jaar Boven-Digoel, concentratiekamp in Nieuw-Guineabakermat van de Indonesische onafhankelijkheid.
Kesepian dan ganasnya alam adalah hukuman terberat bagi orang-orang buangan di Digul yang terletak di tengah-tengah pulau Papua.
“Menciptakan tatanan rezim di Digul sangatlah mudah, dengan cara diisolasi,” tulis sejarawan Takeshi Shiraisi dalam Hantu Digoel: Politik Pengamanan Politik Kolonial. Isolasi tahanan politik itu didukung oleh aparat kolonial. Selain para pamong praja dan polisi, militer juga dilibatkan di sana.
Baca juga: Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul
Digul tentu membutuhkan perangkat hukum. Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 24 Maret 1930, menyebut di sana ditempatkan seorang mantri polisi dan tujuh opas polisi untuk mendukung politik isolasi. Mantri polisi itu adalah Om Bintang.
“Dia dengan terang-terangan membentak kami para tawanan ketika pihak berwenang ada di sekitar, tetapi memberi kami kedipan dan secara teratur memastikan bahwa kami selalu mendapat sesuatu yang ekstra,” kata Chalid Salim. Om Bintang ibarat kepala suku di Digul.
Om Bintang sendiri bukan orang tertinggi di Digul. Di tahun-tahun pertama komandan kamp adalah Kapten L. Th. Becking yang menyikat komunis di Banten. Setelahnya ada wedana pribumi yang mengurusi administrasi daerah itu. Om Bintang hanya memastikan semua aman.
Baca juga: Menjadi Gila Akibat Isolasi di Digul
Tidak jelas siapa sebenarnya Om Bintang. Dari Sjahrir diketahui dia adalah mantri polisi. Sementara Chalid Salim menyebut, “Om Bintang ini adalah mantan prajurit Ambon yang dianugerahi gelar kesatria, yang saat itu adalah seorang kepala polisi.”
Jika menilik kata Chalid Salim bahwa dia mantan prajurit Ambon dengan gelar kesatria, kemungkinan Om Bintang penerima bintang medali Ridder Militaire Willemsorde (MWO), setidaknya MWO kelas 4. Di antara penerima MWO biasanya pernah bertugas di Aceh yang sangat rawan bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Bintang memang menjadi nama belakang dari segolongan orang Indonesia. Tapi nama itu adalah nama belakang orang dari Sumatra Utara. Orang Ambon atau Maluku dengan nama belakang Bintang sulit ditemukan. Kemungkinan Bintang bukan nama sebenarnya dari Oom Bintang. Melainkan sebuah panggilan karena dia punya bintang atau medali penghargaan militer dari Kerajaan Belanda hingga disapa Om Bintang.
Saat Thomas Najoan melarikan diri atau tahun-tahun pertama di kamp, pemegang bintang MWO yang bertugas di Digul adalah Marsose Daan Kaligis yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.
Baca juga: Kisah Budisucitro, Buangan Digul Nomor 1
Ada masa di zaman Hindia Belanda daerah Sulawesi bagian utara dan Maluku menjadi daerah Keresidenan Ambon. Dulu nama keresidenan berdasar nama ibu kota keresidenan tersebut. Maka, semua orang dari seluruh wilayah keresidenan itu disebut sebagai orang Ambon. Jadi, ada masa orang Minahasa disebut juga sebagai orang Ambon oleh kawula Hindia Belanda. Sebutan om untuk laki-laki berumur kerap dipakai oleh orang Ambon dan Minahasa modern.
Daan Kaligis adalah kesatria MWO kelas 4 berdasar Koninklijk Besluit 12 November 1926 Nomor 19, atas jasanya dalam operasi militer di Bakongan, Aceh pada pertengahan 1926. Dia mendapatkannya bersama marsose Kromodikoro. Setelah operasi itu, Daan Kaligis naik jadi kopral tanpa harus sekolah kader.
Baca juga: Baku Pukul di Penjara Digul
Daan Kaligis, diberitakan De Indische Courant, 14 Desember 1937, menjadi salah satu utusan tentara Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) untuk mengikuti upacara kebesaran di Negeri Belanda bagi mendiang Jenderal Van Heutsz. Sepulang dari Eropa, pada Agustus 1927, dia sebentar ditempatkan di Magelang. Setelahnya, dia diberi cuti besar selama dua bulan. Cuti itu dimanfaatkannya untuk mudik.
Daan Kaligis, menurut arsipnya di Arsip Nasional Belanda, lahir di Motoling, Minahasa pada 11 Agustus 1891. Dia mendaftar jadi serdadu KNIL di Manado pada 3 September 1912. Beberapa hari kemudian, dia bersama beberapa pemuda Manado dikirim ke Jawa untuk mengikuti latihan di depot batalyon di Malang. Setelah itu, dia sempat ditempatkan di Magelang, Manado, dan Cimahi.
Pada 1922, Daan Kaligis dikirim ke Aceh di mana dia menunjukan keberaniannya. Sebagai Marsose, dia memburu para gerilyawan Aceh. Istilah Marsose di Aceh, berakar dari polisi militer di Belanda. Hanya saja Marsose di Aceh punya tugas tempur dan mirip polisi militer yang menjaga keamanan dan ketertiban layaknya polisi. Sangat tidak mengherankan seorang bekas Marsose dijadikan polisi di zaman Hindia Belanda.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
Daan Kaligis kemudian bertugas di Digul setelah tahun 1927. Selain menjaga musuh pemerintah kolonial yang ditawan di Digul, dia juga melakukan kegiatan lain. Diberitakan De Indische Courant, 14 Desember 1937, dia semasa di Digul ikut eksplorasi ke pedalaman untuk konsesi pertambangan dan menangkap pemburu kepala. Sebagai bekas Marsose yang punya kemampuan polisi militer, dia tentu dianggap cocok untuk bertugas menjaga Digul.
Setelah tahun 1937, Daan Kaligis minta kembali ke Malang. Dia punya keluarga yang tidak butuh tempat sunyi demi kemajuan anak-anaknya. Setelah 25 tahun berdinas, dia pensiun dari KNIL dengan pangkat terakhir sersan. Meski sudah pensiun, pada 1942 Daan Kaligis sempat dimasukan ke korps cadangan di Manado.
Daniel Kaligis yang pernah tinggal di Kebon Kelapa dan Kwitang, Jakarta, meninggal pada 20 April 1977. Kala itu beberapa penghuni Digul yang pernah dijaganya, seperti Sjahrir dan Thomas Najoan sudah mendahuluinya. Tapi Bung Hatta dan Chalid Salim masih ada.*