MOHAMMAD Yamin adalah sosok di balik konsep teritorial Indonesia Raya yang kita anut sampai hari ini. Dari Sabang yang terletak di ujung utara Aceh sampai Merauke di Papua bagian selatan. Meliputi lima pulau besar: Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dari kawasan itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentang. Gagasan ini setidaknya terjejaki ketika Yamin berpidato dalam sidang perdana BPUPKI pada 31 Mei 1945.
“Kelima daerah itu kita namai daerah yang delapan: Sumatra, Malaya, Borneo, Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua," kata Yamin sebagaimana termaktub dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Soal Papua, Yamin yakin betul wilayah di ujung timur ini bagian dari Indonesia. Yamin mendasarkan pendapatnya atas telaah di masa silam. Menilik sejarah 1000 tahun kebelakang, Yamin mengatakan Papua telah bersatu dengan tanah Maluku maka dengan sendirinya Papua bersatu-padu dengan Indonesia. Argumentasi Yamin diuji dalam debat sidang kedua BPUPKI 10—11 Juni 1945.
“Papua Barat adalah wilayah Indonesia. Menurut paham Indonesia sebahagian besar daripada pulau Papua adalah masuk lingkungan tanah dan adat Kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin.
Baca juga: Debat Pendiri Bangsa Soal Papua
Yamin memulai pertarungan gagasannya dengan dasar historis. Pada abad 18, Papua pernah menjadi vassal Kesultanan Tidore di Maluku. Selain itu, Yamin menempatkan Papua ke dalam memori kolektif perjuangan; tempat penyemaian kemerdekaan. Salah satu wilayah Papua yaitu Boven Digul di Merauke pernah dijadikan penjara pengasingan bagi aktivis pergerakan Indonesia yang menentang kolonialisme. Bagi Yamin, melepas Digul keluar dari Indonesia berarti melanggar perasaan keadilan dan mengingkari perjuangan.
Yamin juga mendasarkan klaimnya atas pehitungan geopolitik. Menurutnya letak geografis Papua sangat strategis. Kepulauan Papua adalah gerbang utama menuju lautan Pasifik.
“Jadi dengan paham geopolitik kita tidak dapat memberikan lompatan ini kepada kekuasaan lain sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukkan kedalam Republik Indonesia,” terang Yamin.
Demikianlah Yamin menguraikan imajinasinya tentang Papua secara historis, politik, dan geopolitik. Di kalangan anggota BPUPKI, figur Yamin cukup diperhitungkan. Sederet pengakuan intelektual memang melekat dalam dirinya. Yamin seorang ahli hukum tata negara terkemuka, sejarawan yang pakar soal Kerajaan Majapahit, dan juga budayawan yang terpikat kultur Jawa. Tidak pelak, ide Yamin tentang teritorial negara Indonesia mendapat banyak dukungan, termasuk dari Sukarno.
“Masalah teritorial telah ditekankan dengan keras oleh Mohammad Yamin, yang kemudian menjadi salah seorang tokoh ideologi yang lebih cemerlang dibanding Sukarno,” tulis John David Legge dalam Sukarno Biografi Politik.
Meski demikian adu pendapat terjadi pula. Yamin berbantah dengan Mohammad Hatta mengenai Papua. Hatta melihat kecenderungan ultra-nasionalis dalam pandangan Yamin merujuk penyatuan bangsa Jerman yang terkenal dengan prinsip “Kultur und Boden”. Jadi, Hatta menolak integrasi Papua sebelum ada bukti yang benar-benar sahih menyatakan Papua sebangsa dengan Indonesia. Dalam tinjauan keilmuannya, Hatta hanya bersedia mengakui Papua sebagai bagian dari bangsa Melanesia.
Baca juga: Ketika Hatta Menolak Papua
Pada akhirnya perdebatan yang menyoal batas wilayah negara - khususnya Papua - ditentukan lewat pemungutan suara. Opsi Indonesia Raya ala Yamin menang dengan perolehan 39 suara. Opsi Hatta yang merumuskan wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda plus Malaya kalah telak setelah cuma meraup 6 suara.
Menurut sejarawan Restu Gunawan penulis buku Mohammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diterjemahkan oleh Yamin sebagai lanjutan dari Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Untuk itu, dalam masalah wilayah harus mengacu pada kitab-kitab lama. Rujukan utama Yamin adalah Negarakretagama karya Mpu Prapanca yang menyebut kekuasaan imperium Majapahit membentang sampai Papua.
“Jadi Indonesia merdeka harus meliputi wilayah tersebut. Hal itu juga didukung oleh Sukarno sedangkan Hatta tidak setuju dan menyarankan supaya urusan Papua diserahkan kepada masyarakatnya untuk memilih sendiri bergabung atau tidak. Tetapi hasil sidang BPUPKI menyatakan wilayah Indonesia dari Sabang sampai Papua,” kata Restu kepada Historia.
Selepas pengakuan kedaulatan, Papua jadi tanah sengketa antara Indonesia dengan Belanda. Yamin tetap konsisten pada gagasannya semula: memperjuangkan kedaulatan Republik sampai Papua. Pada 1956, Yamin menerbitkan buku yang berjudul Perdjuangan Irian Barat atas Dasar Proklamasi untuk meng-counter propaganda Belanda sekaligus bahan doktrin kepada rakyat Indonesia.
Dalam karyanya itu, Yamin menguraikan tuntutan rakyat Indonesia atas wilayah Papua berdasarkan 7 dasar: Proklamasi Kemerdekaan, Mukadimah Konstitusi 1945, Piagam Pengakuan Kedaulatan 1949, pengertian kekuasaan de facto atas Irian Barat, Resolusi Indonesia dan Argentina-India di PBB 1954, Putusan Konferensi Panca Negara di Bogor 1954, dan Putusuan Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955.
Presiden Sukarno mengangkat Yamin sebagai Kepala Penerangan Pembebasan Irian Barat pada 1962. Betapa besar hasrat Yamin mewujudkan Indonesia Raya yang didambakannya. Sayangnya, Yamin tidak sempat menyaksikan Sang Merah Putih berkibar di Papua. Yamin keburu wafat pada 17 Oktober 1962. Sementara Papua baru masuk ke dalam negara Indonesia pada 1 Mei 1963.