PANGLIMA Komando Mandala, Mayor Jenderal Soeharto dibekap rasa gelisah. Perintah untuk menginvasi Irian Barat dari Panglima Tertinggi Presiden Sukarno belum tiba. Padahal, rencana operasi besar-besaran dengan sandi “Jayawijaya” telah dipersiapkan. Tidak mau berdiam diri dengan menunggu, Soeharto mendahuluinya dengan melancarkan sebuah operasi penerjunan.
Pada 9 Agustus 1962, Soeharto menginstruksikan infiltrasi ke kota-kota penting. Operasi yang diberi sandi “Jatayu” ini terbagi atas tiga kelompok pasukan. Masing-masing bernama Elang, Gagak, dan Alap-alap. Operasi penerjunan ditetapkan pada 14 Agustus 1962. Sebelum terjun, Soeharto sempat memberikan pengarahan dan motivasi kepada anak buahnya.
“Untuk meninggikan moril pasukan, beliau menyatakan agar mereka tidak usah kuatir karena rakyat di daerah Irian Barat siap menyambut kedatangan pasukan Indonesia,” ujar Kolonel (Purn.) Rachman kepada Saleh Djamhari dan tim pusat penerangan sejarah ABRI dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat.
Baca juga: Kala Soeharto Jadi Panglima (2-Habis)
Pasukan Elang berjumlah 134 dipimpin oleh Kapten Radix Sudarsono menuju Sorong. Pasukan Gagak berjumlah 141 orang dipimpin oleh Mayor Untung Sutopo menuju Kaimana. Pasukan Alap-alap berjumlah 132 orang dipimpin oleh Letnan Udara Dua B. Matitaputty menuju Merauke. Pasukan yang diterjunkan dalam Operasi Jatayu berjumlah 407 personel. Mereka semua diangkut dengan sembilan pesawat Hercules.
Menurut R. Ridhani dalam Mayor Jenderal Soeharto: Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat, misi ini terkesan spontan. Perintah penerjunan diterima secara mendadak. Tidak bisa dimungkiri ada pasukan yang cemas dan was-was. Untuk jaga-jaga, mereka dibekali dengan uang gulden West Nieuw Guinea.
Pukul 02.00 dinihari, pasukan penerjun mulai didrop ke masing-masing sasaran. Dari atas pesawat, sasaran penerjunan kelihatan seperti daratan landai. Tetapi ketika terjun, ternyata yang tampak rata itu lapisan awan. Begitu lama rasanya pasukan penerjun ini berada di udara. Namun penderitaan sesungguhnya baru dimulai saat menjejaki daratan Irian Barat.
Kapten Radix Sudarsono tersangkut di pohon raksasa dengan posisi kepala di bawah. Pisau komandonya tidak mampu memotong tali parasut. Dengan tali yang sudah dipersiapkan, Kapten Radix berusaha turun dari pohon. Sewaktu turun, dia terplanting ke tanah sehingga sempat tidak sadarkan diri.
“Untunglah waktu itu pasukan PGT belum memakai baret tetapi memakai helm yang dapat menjadi pengaman kepala dari benturan pohon,” tutur Radix dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat. Petaka belum berakhir. Keesokan pagi, daerah penerjunan ditembaki oleh pesawat Neptune Belanda karena melihat parasut di pohon-pohon.
Baca juga: Pasukan Penerjun Operasi Naga Kesasar di Hutan Papua
Selama seminggu lamanya, Kapten Radix hidup sendiri di hutan terpisah dari pasukannya. Keadaan itu membuat Radix frutrasi. Untuk mengatasi itu, dia terpaksa melepaskan tembakan yang sebelumya dilarang untuk menjaga kerahasiaan. Tembakannya disambut dengan tembakan-tembakan yang lain. Kurang lebih dua minggu Pasukan Elang baru dapat terkonsolidasi. Itupun terkumpul sekira 60 persen dari seluruh personel yang diterjunkan.
Selain itu, keadaan alam sangat ganas dan tandus. Makanan sulit didapatkan. Dedaunan liar ataupun binatang apa saja yang ditemui terpaksa jadi santapan demi bertahan hidup. Dari belantara, Pasukan Elang berjalan menuju Sorong sejauh 70 km. Untungnya ada penunjuk jalan bikinan penduduk setempat. Di tengah perjalanan, mereka menemukan perkampungan penduduk yang sudah ditinggalkan. Disitulah Pasukan Elang bisa makan lebih baik karena menemukan talas, singkong, pisang, dan sayuran yang layak dimakan.
Pada waktu Pasukan Elang mendekati Kota Klamono terlihat dari teropong berkibar bendera PBB dan bendera putih. Kapten Radix memerintahkan beberapa anak buahnya menyelidiki penjuru kota. Sepulang dari pengamatan, mereka melaporkan bahwa telah terjadi gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.
“Ternyata kegiatan ini merupakan penerjunan pasukan yang terakhir di daratan Irian Barat,” tulis M. Cholil dalam Sejarah Opersi-Operasi Pembebasan Irian Barat.
Operasi Jatayu ternyata tidak mendapat dukungan lebih lanjut sebagaimana terencana dalam operasi pamungkas Jayawijaya. Pada 15 Agustus 1962, perjanjian perdamaian ditandatangani di New York yang menyepakati Belanda angkat kaki dari Irian Barat. Indonesia memenangkan pertempuran justru lewat meja diplomasi.
Baca juga: Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Sesampainya di Klamono, badan dan kaki Kapten Radix beserta pasukannya penuh kudis. Sepanjang perjalanan menyusuri hutan, pacet dan lintah menggigiti mereka. Seorang dokter Belanda berbaik hati mengobati Pasukan Elang yang terlunta-lunta itu.