Suatu waktu sekitar tahun 1967 di Solo, Jawa Tengah, kelompok Pemuda Marhaen dan Pemuda Muhamadiyah berseteru. Perkelahian fisik bahkan sampai terjadi. Polisi harus turun tangan melerainya.
Mereka yang berkelahi lantas digelandang ke tahanan polisi. Ketua Pemuda Marhaen Hartomo juga ikut ditahan karena perkelahian yang tak jelas akar masalahnya itu. Pada hari ketiga, seorang polisi datang dan bertanya pada para tahanan.
“Siapa di sini yang saudaranya Jenderal Hartono?” tanya polisi itu.
Mendengar pertanyaan itu, Hartomo pun mengacung. Ia lalu dibebaskan.
Begitulah pengalaman yang diceritakan Rurisa Hartomo dalam buku kumpulan kisah tentang ayah berjudul Melukis Kenangan Bersama Ayah, yang 8 November 2023 kemarin diluncurkan di Gedung Wayang Orang Bharata.
Polisi yang menahan baru tahu pada hari ketiga bahwa Hartomo adalah adik dari Letnan Jenderal Hartono. Jika hari pertama polisi tahu Hartomo adik Hartono, Hartomo bisa bebas pada hari-hari pertama.
Letnan Jenderal Hartono saat itu adalah orang nomor satu di Korps Komando (KKO) Angkatan Laut.. Hartono memimpin pasukan yang kini bernama Korps Marinir itu sejak 1961.
“KKO-AL sejak tahun 1960-an telah amat diperbesar kekuatannya,” tulis Letnan Jenderal Sayidiman Suryohadiprojo dalam Mengabdi Negara sebagai Prajurit TNI: Sebuah Otobiografi.
Baca juga: Yang Seteguh Batu Karang: Kisah Grace Walandaow Hartono
Pembesaran KKO itu mulanya untuk Operasi Pembebasan Irian Barat (Trikora), lalu dalam rangka Konfrontasi Malaysia (Dwikora). KKO adalah pasukan elit yang dekat dengan Presiden Sukarno. Kedekatan itu membuat pembangunan KKO mendapat perhatian lebih, yang menjelang Trikora pendanaannya datang dari kredit Uni Soviet.
“Selain AU, AL, khususnya KKO-nya yang ditakuti, adalah penerima senjata dari Uni Soviet terbesar kedua. Akibat adanya persaingan antarangkatan, AD juga tidak terlalu dekat dengan AL kalau bukan persaingan yang tajam,” tulis sejarawan Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966).
Ketika sebagian perwira TNI setelah Peristiwa G30S mulai tidak loyal kepada presiden dan cenderung menguntungkan negara-negara blok Barat, Hartono termasuk yang setia kepada Sukarno sebagai presiden.
“Putih kata Bung Karno, putih kata KKO. Hitam kata Bung karno, hitam kata KKO,” kata Hartono sekitar November 1965.
Baca juga: Jalan Panjang Korps Marinir
Menurut Yussuf Solichien Martadiningrat dalam Against All Odds: Ada kemauan, Tidak Ada yang Tidak Mungkin, ucapan itu menjadi “boomerang” bagi KKO. Hartono dicap mendukung G30S dan antek Sukarno kendati setia kepada Sukarno merupakan hal lumrah yang banyak dilakukan bahkan dipertontonkan banyak orang.
Kala itu Presiden Sukarno makin terpuruk. Orang-orangnya terus disingkirkan dan kekuasaannya terus dipereteli. Suatu hari, seperti diceritakan Abdul Haris Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas: Masa Kebangkitan Orde Baru Jilid VI, Sukarno bertanya apakah KKO sanggup menghadapi RPKAD (kini Kopassus) yang jadi andalan Soeharto dan jenderal anti-Sukarno lain yang katanya akan menyerbu istana. Atas pertanyaan itu Hartono menjawab: Sanggup!
Persaingan antar-angkatan di tubuh militer Indonesia menjadi kian kentara pasca-G30S. Perhatian lebih presiden terhadap matra udara dan laut ikut memantik kecemburuan sebagian kalangan dalam Angkatan Darat (AD), yang merupakan kekuatan politik utama dalam segitiga perpolitikan nasional masa Demokrasi Terpimpin. Kendati banyak kalangan dalam AD tetap menjadi pendukung Sukarno pasca-G30S, AD yang sudah dipegang Letjen Soeharto menjadi penggerak utama dalam upaya-upaya mengikis kekuasaan presiden dan mengendalikan perpolitikan tanah air. Ujung tombak AD saat itu adalah RPKAD, yang memulai pembasmian PKI dan orang-orang yang dianggap simpati kepada parpol terbesar itu di berbagai wilayah Jawa.
“Sebagaimana terlihat dalam krisis serta konflik yang menimbulkan pembunuhan massal, AD, khususnya RPKAD, harus berlaku sangat hati-hati di Jawa Timur karena KKO terkenal sebagai ‘Soekarnois’. Dengan basis di Surabaya dan Probolinggo, KKO sangat populer di kalangan masyarakat Jawa Timur. Dalam kenangannya, Pipit Rochijat menggambarkan bagaimana para pemuda memandang remeh kemampuan RPKAD, ketika pasukan ini muncul dan pamer ketrampilan di Kediri, setahun setelah Peristiwa Gestapu,” tulis Hermawan Sulistyo.
Baca juga: KKO Terjebak di Gunung Wian
Malam tanggal 10 Maret 1966, dalam perjalanan ke Bogor, rombongan Presiden Sukarno singgah ke markas KKO di Cilandak. Menurut Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno, malam itu Hartono –merupakan panglima KKO merangkap Wakil Menteri/Panglima Angkatan Laut (yang kini setara Wakil Kepala Staf Angkatan Laut– tidak ada di tempat namun dari sana rombongan Sukarno mendapat tambahan satu regu pengawal yang ikut menuju Istana Bogor.
Hartono terus berdiri mendampingi Sukarno sebagai panglima tertinggi yang sah. Menurutnya, dikutip El Bahar tanggal 27 Desember 1966, perjungan revolusi kita yang besar itu tidak bisa diselesaikan oleh satu golongan saja. Ketika akhirnya Sukarno kehilangan kekuasaannya dan menjadi tahanan rumah, KKO dan beberapa kalangan sempat mengupayakan penyelamatan Sukarno dengan menculiknya dan membawanya ke Surabaya namun gagal. Hartono sendiri akhirnya didubeskan ke Korea Utara setelah itu.
Pada 6 Januari 1971 Hartono ditemukan meninggal dunia. Pemerintah Orde Baru menyatakan bunuh diri, namun loyalis Presiden Sukarno ini diduga kuat dibunuh oleh konspirasi tingkat tinggi.*