KEDUA ekornya yang membentang jadi penopang sepucuk laras baja sepanjang 3,17 meter. Moncongnya yang mengarah ke depan sedikit demi sedikit mendongak hingga elevasi 70 derajat seiring Kopral Dua (Marinir) Bintang R memutar tuas elevasinya secara manual. Dalam hitungan detik, Howitzer LG-1 Mk II itu sudah dalam keadaan siap tempur dengan daya hancur seluas 200 meter persegi.
Tentu saja artileri kaliber 105 milimeter itu tidak sedang diarahkan untuk memangsa suatu sasaran pada Jumat (16/9/2022) itu. Sang kopral sekadar sedang mendemonstrasikan howitzer buatan Prancis tersebut. Satu dari sekian alutsista itu sedang dipamerkan di Naval Expo TNI AL dalam rangka HUT TNI AL ke-77 di Balai Samudera, Kelapa Gading, Jakarta Utara, 11-18 September 2022.
“Ini unit kita dari Yonhow-1 Mar (Batalyon Howitzer-1 Korps Marinir) ‘Sapu Jagad’. Ini satu dari tujuh unit kita. Kita sudah punya ini sejak 1995,” kata Kopda Bintang menerangkan kepada Historia.
Baca juga: AMX-13 Tank Prancis Rasa Amerika
Howitzer yang tergolong artileri medan ringan itu punya jarak tembak maksimal 1,75 kilometer. Alutsita beroda dua ini juga punya bobot 1.520 kilogram. Jika ekor dan laras ringkasnya dilipat, ia dengan mudah ditarik truk militer ukuran sedang –Yonhow-1 biasanya menggunakan Mercedes Unimog– atau helikopter – Bell 412 atau AS332 Super Puma.
Menurut Jeff Kinard dalam Artillery: An Illustrated History of Its Impact, howitzer LG-1 Mk II itu tergolong artileri semi-otomatis. Dengan diawaki lima kru, artileri ini paling cepat bisa menembakkan 12 peluru dalam satu menit. Sementara untuk menyiapkannya secara total dari kondisi terlipat ke kondisi siap tempur cuma butuh waktu 30 detik.
“Jadi sudah tidak sepenuhnya manual. Contohnya setelah kita menembak, selongsongnya sudah keluar sendiri (dari buntut laras),” tandas sang kopda.
Baca juga: Cerita di Balik Helikopter NBO-105
Howitzer Rasa Prancis
Meski usianya sudah tiga dekade, LG-1 Mk II tergolong salah satu yang paling modern di antara alutsista jenis artileri milik Korps Marinir TNI AL. Marinir punya Howitzer M1938 (M-30) kaliber 122 mm, Meriam Anti-udara M1939 (52-K) kaliber 85 mm, atau Meriam Anti-udara M1939 (61-K) kaliber 38 mm asal Uni Soviet.
Howitzer LG-1 varian Mk II dibuat oleh perusahaan swasta Prancis, GIAT Industries (kini Nexter Systems), bekerjasama dengan Etablissement d’Études et de Fabrications d’Armement de Bourges (EFAB). Pengembangannya dimulai pada 1987. Prancis mengembangkannya berangkat dari kebutuhan militernya akan artileri medan yang ringan, ringkas, tapi punya daya gempur bukan kaleng-kaleng.
Baca juga: Empat Senjata Jerman yang Mengubah Dunia
Howitzer LG-1 juga dikembangkan untuk menggantikan beberapa artileri militer Prancis yang uzur peninggalan era Perang Dunia II seperti Howitzer M114 dan M114F kaliber 155 mm. LG-1 Mk II juga diharapkan bisa menyaingi alutsista buatan BAE Systems Inggris Howitzer L118 kaliber 105 mm, yang sudah mendominasi pasar ekspor di kelasnya sejak 1976.
“Tahun 1987, tiga purwarupanya dibuat Etablissement d’Études et de Fabrications d’Armement de Bourges untuk percobaan lanjutan. Kemudian diikuti tiga unit pra-produksinya. Di akhir 1990 Singapura jadi pelanggan (asing) pertamanya dengan memesan 37 unit untuk dua batalyon artileri mereka, di mana unit-unitnya dikirimkan antara 1992-1993,” tulis Christopher Frank Ross dalam Jane’s Armour and Artillery.
Pada awal 1994, Indonesia mengikuti jejak Singapura. Sejumlah LG-1 Mk II dipesan untuk pembaruan alusista di Korps Marinir.
“Di awal 1994 Indonesia melakukan pesanan dan kerjasama dengan GIAT Industries untuk 20 unit howitzer ringan LG1 Mk II plus sejumlah paket amunisi dan pelatihan. Berturut-turut pesanannya terkirim pada 1995 dan 1996,” imbuh Ross.
Baca juga: Petaka Menimpa Marinir di Perairan Nongsa
Howitzer LG-1 Mk II pesanan Indonesia itu jadi andalan Korps Marinir dalam operasi di Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh sejak 1995. Sejumlah unitnya jadi penyokong sejumlah misi gabungan dalam Satgas (Satuan Tugas) Rencong Sakti VI pada 1995, Satgas Rencong Sakti VII pada 1996, hingga Satgas Rencong Sakti XXII-XXX (2003-2005).
“Daerah operasi mulai efektif sejak tahun 1990, terbagi tiga sektor dan tiga satuan tugas. Satuan Tugas Marinir (berfungsi untuk mengisolasi posisi satuan Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka pada lokasi-lokasi strategis). Pusat industri di Aceh Utara juga dikepung markas-markas militer. Di bagian Utara terdapat markas Marinir dan Kopassus dan di bagian selatan ada markas Arhanud,” kata buku terbitan KontraS, Aceh: Damai dengan Keadilan?.
Empat pucuk LG-1 Mk II itu juga jadi alutsista pendukung Satgas Merah Putih 2011 dalam rangka operasi pembebasan sandera kapal MV Sinar Kudus yan disandera para perompak Somalia. Namun tak satupun howitzer yang dibawa di lambung kapal LPD (Landing Platform Dock) KRI Banjarmasin (592) itu memuntahkan peluru lantaran keadaan sudah bisa diatasi tim pasukan khusus gabungan (AD dan AL) tanpa bantuan artileri.
Peluncur Roket Legendaris Eropa Timur
Tak jauh dari Howitzer LG-1 Mk II tadi, terdapat satu unit alutsista yang punya daya gempur besar tapi lebih mobile. Ia adalah MLRS (multiple rocket launcher system) atau peluncur roket Raketomet vzor 1970 (RM-70) buatan Cekoslovakia (kini Republik Ceko dan Republik Slowakia) versi “Vampire”.
Harold A. Skaarup dalam Ironsides: Canadian Armoured Fighting Vehicle Museums and Monuments mencatat, “Vampire” adalah versi keenam atau paling mutakhir RM-70 yang punya keunggulan lebih dari versi-versi lainnya seperti versi dasar RM-70 “Grad” atau versi fire control dan navigasi modern RM-70/85M. RM-70 “Vampire” merupakan versi yang telah ter-upgrade dengan mesin delapan silinder dan drive system semi-otomatis.
Baca juga: Tank Leopard yang Layu Sebelum Berkembang
Versi dasar RM-70 “Grad” dikembangkan AD Cekoslovakia dari MLRS BM-21 “Grad” asal Uni Soviet yang sudah eksis pada 1960-an. RM-70 menjadi varian MLRS yang lebih berat, baik bobot kendaraan, pelindung lapis baja, maupun daya hancur roketnya.
“ČSLA (Tentara Rakyat Cekoslovakia) mengadopsi sistem (peluncur roket) BM-21 Soviet tapi tak ingin menggunakan truk non-lapis baja. Mereka mengembangkan sebuah versi dengan truk Tatra 813 yang dilapisi baja. Ia juga lebih besar dari BM-21 dan juga punya loading system yang semi-otomatis,” ungkap buku Soviet/Russian Armor and Artillery Design Practices: 1945-1995.
Versi dasar RM-70 “Grad” punya bobot 33,7 ton dengan panjang kendaraan 8,75 meter. Dalam satu unit, lazimnya diawaki enam personil baik untuk mobilitasnya yang punya kecepatan maksimal 85 kilometer per jam dan untuk daya gempurnya dengan kapasitas 40 roket kaliber 122,4 mm. Persenjataan sekundernya diperkuat sepucuk senapan mesin Uk vz.59
“Roket yang digunakan biasanya masih roket Soviet 9M22 dan 9M28, atau roket lokal pengembangan mandiri dengan kaliber yang sama. Penggunaan truk Tatra 813 itu sangat berguna karena membuatnya punya ruang yang lebih dari cukup untuk membawa sistem peluncur berisi 40 roket. Roket-roketnya bisa ditembakkan satu per satu atau dengan metode volley fire dengan area penghancuran mencapai tiga hektare dalam sekali volley,” lanjut Skaarup.
Baca juga: Tank Gaek Bertahan Hidup
Selain digunakan ČSLA, mulanya RM-70 dibuat untuk pesanan di antara circle blok Timur seperti Jerman Timur dan Bulgaria. Pasca-kolapsnya Uni Soviet, RM-70 diekspor ke sejumlah negara Eropa Barat, Amerika Utara dan Amerika Selatan, Afrika, hingga Asia.
Maka RM-70, baik versi dasar maupun versi-versi lanjutan, hampir selalu eksis di berbagai palagan. Perang Sahara Barat (1975-1991), konflik Afghanistan (1978-2001), Perang Saudara Sri Lanka (1983-2009), hingga Perang Saudara Yaman (sejak 2014) dan operasi militer Rusia ke Ukraina yang masih berkobar sampai sekarang.
Indonesia sendiri, khususnya Korps Marinir, memiliki sembilan unit RM-70 “Grad” sejak 2003. Sementara RM-70 “Vampire” yang termutakhir sebanyak delapan unit baru memperkuat Batalyon Roket-1 Marinir sejak 2016, yang acap digunakan untuk beragam latihan rutin korps dan latihan gabungan.
Baca juga: Lika-liku Pesawat T-50