Awal November 1948. Sudah beberapa hari, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo terbaring di tempat tidur. Kondisi kesehatannya menurun drastis. Penyakit jantung yang diidapnya sejak ditahan dalam kamp internir Jepang kembali kambuh. Lelah dan lesu kerap menghiasai wajah tua-nya.
Di hari ke-17 bulan itu, senja baru saja singgah di Yogyakarta. Sang istri Rohmah Soemohardjo tengah mengambil segelas susu dari dapur, ketika pintu yang menuju ke sayap kiri rumah tetiba terbanting dengan sangat keras.
“Anehnya, tak ada orang dan tak ada angin yang bertiup…” ungkap Rohmah dalam Oerip Soemohardjo, Letnan Jenderal TNI (22 Februari 1893—17 November 1948).
Baca juga:
Oerip Soemohardjo Bapak Tentara Yang Dilupakan
Rohmah lantas berlari ke kamar tidur. Dilihatnya Oerip masih terbaring. Kedua tangannya terlihat saling berpelukan di dada, matanya terkatup dengan seulas senyum manis di bibirnya. Sementara rokok di asbak yang terletak di samping ranjang masih terasa hangat, pertanda belum lama dimatikan. Senja itu sang jenderal telah pergi dengan damai.
Begitu paham tubuh sang suami sudah tak bernyawa lagi, Rohmah berlutut di depan ranjang. Air mata meleleh pelan di kedua pipinya. Tak ada raungan, cuma isakan kecil saja.
“Saya bersyukur suami saya dapat menghadap Tuhan dengan cara yang demikian indahnya,” ujar Rohmah.
Sepuluh bulan sebelum kematiannya, secara mendadak Presiden Sukarno memberhentikan Oerip dari jabatannya sebagai kepala staf Markas Besar Tentara (MBT). Dia kemudian ditempatkan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk urusan militer.
Oerip kecewa. Bukan terhadap pemberhentiannya sebagai kepala staf MBT. Kekesalan eks perwira menengah KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) itu justru tertuju kepada kebijakan pemerintah RI yang memilih bersepakat dengan Belanda melalui Perjanjian Renville.
Dia kecewa Sukarno-Hatta tak mempercayai kemampuan tentara-nya sendiri. Bagi sang jenderal, berunding dengan Belanda hanya mengulangi kesalahan para leluhur sejak terjadinya pengkhinatan terhadap Pangeran Diponegoro. Menurut Rohmah, Oerip lebih menyukai perang gerilya dibanding perundingan. Suatu sikap yang juga dianut oleh atasannya, Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Begitu ditempatkan di DPA, semangatnya seolah sirna. Tak ada gairah dan minatnya sama sekali mengurusi politik negara. Terlebih ketika tetiba Insiden Madiun meletus pada 18 September 1948, kegeramannya tak tertahankan.
“Saya tahu siapa yang melakukan ini semua. Saya akan membalaskan kematian teman-teman kita…” katanya suatu hari kepada Rohmah.
Baca juga:
Pak Oerip Nyaris Terkena Ranjau
Oerip memang layak kecewa. Sejak awal berdirinya RI, dia termasuk orang yang sangat bersemangat untuk membangun suatu tentara yang kuat dan mewakili kepentingan rakyat. Itu pula yang diinginkan oleh Panglima Besar Soedirman. Kendati Soedirman berasal dari Pembela Tanah Air (PETA), namun soal prinsip tersebut, dia seratus persen satu keyakinan dengan Oerip yang berasal dari KNIL.
Ketika Oerip dan Soedirman “membangkang” terhadap keputusan Perjanjian Renville, Presiden Sukarno cepat menggantinya dengan orang yang dianggap “sesuai dengan selera revolusi”. Pada mulanya, dia digantikan juniornya yakni Komodor Soerjadarma, Namun Soerjadarma hanya beberapa saat berlaku sebagai kepala staf MBT. Selanjutnya Kolonel T.B. Simatupang-lah yang kemudian menggantikan posisi yang semula diduduki Oerip.
Menurut Didi Kartasasmita (eks Panglima Komandemen Jawa Barat), naiknya Simatupang sudah dia prediksikan sejak Oerip diberhentikan Sukarno. Kolonel T.B. Simatupang dan Kolonel A.H. Nasution, sangat sesuai dengan selera Sukarno kala itu. Lantas kenapa Sukarno tidak menyingkirkan Soedirman? Tentunya Bung Karno tidak ingin adanya resistensi dari kalangan PETA yang jumlahnya mendominasi angkatan perang Republik saat tersebut, ungkap Didi dalam otobiografinya, Pengabdian bagi Kemerdekaan (disunting oleh Tatang Sumarsono).
Ketidakpuasan itulah yang kemudian menggerogoti jiwa Oerip. Ketika dia dipindahkan ke DPA, sejatinya dia tahu bahwa para politisi “tidak lagi membutuhkannya”. Karena itulah, menjelang kematiannya, Oerip sempat mengajukan surat pengunduran diri dari dunia militer.
“Saya bisa memahami bagaimana perasaan Pak Oerip…” ujar Didi.
Bukan hanya Didi yang memahami situasi jiwa yang dialami Oerip, Panglima Besar Soedirman pun menilai penyebab kematian Oerip memang tidaklah wajar. Seperti termaktub dalam buku karya Tjokropranolo, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Soedirman menunjuk berubahnya kebijakan yang ditempuh oleh para pemimpin politik-lah yang membuat Oerip mengalami tekanan batin dan meninggal dalam kekecewaan. Geestelijke harakiri atau bunuh diri jiwa, demikian istilah sang panglima besar untuk penyebab kematian Oerip.
Baca juga: