Tahun-tahun terakhir abad ke-16 menjadi masa terberat bagi Belanda. Mereka belum memiliki kuasa penuh atas tanahnya. Belenggu kuasa Prancis rupanya masih terlalu kuat di sana. Meski di bawah tekanan, upaya Belanda memajukan bangsanya sudah mulai digalakkan, salah satunya dengan melakukan ekspedisi laut mencari sumber rempah-rempah di Timur yang belakangan ramai diperbincangkan para pelaut Eropa.
Dikisahkan sejarawan Leiden Femme Simon Gaastra dalam De Geschiedenis van de VOC (Riwayat VOC), pada 23 Juni 1595, rombongan penjelajah Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman berhasil menyandarkan kapalnya di Pelabuhan Banten. Peristiwa itu menjadi pembuka kisah penjelajahan Belanda di Nusantara.
Pada persinggahan pertama itu, Belanda belum bisa mengandalkan kekuatan meriamnya. Pendekatan secara halus perlu diutamakan, mengingat mereka harus bersaing dengan Portugis yang telah lebih dahulu berkuasa atas wilayah Malaka. Mereka harus dengan rendah hati mendekati para penguasa setempat untuk memperoleh rempah-rempah dan produk lain yang diinginkan.
Baca juga: Belanda vs Inggris di Maluku
Namun keadaan seperti itu tidak lama terjadi. Dalam beberapa tahun saja, Belanda sudah dapat merubah kedudukannya. Dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Nugorho Notosusanto, dkk menyebut jika peristiwa berbaliknya posisi Belanda, dari hanya sekedar “tamu” menjadi pemilik kekuatan di Nusantara terjadi pada 1605. Ketika itu pasukan Belanda pimpinan Steven van der Haghen masuk dalam pergumulan Portugis-Spanyol di Maluku. Saat kondisi lengah, Belanda berhasil merebut benteng Portugis di Ambon.
“Belanda menjadi kekuatan yang hebat di Asia. Boleh dibilang ia menguasai perdagangan rempah-rempah, dan tidak perlu lagi menyambut perutusan Asia dengan penuh kebesaran dan kemegahan,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Mengembalikan Nama Baik
Setelah memastikan kekuasaannya di Ambon, pemerintah Belanda bergerak cepat melakukan pendekatan terhadap para penguasa lokal. Mereka berusaha mengambil simpati demi menjaga kedudukan di perairan Maluku. Karenanya pada awal abad ke-17, sejumlah orang diundang untuk mengunjungi Belanda.
Undangan itu merupakan buntut dari fitnah yang banyak dilayangkan orang-orang Portugis terhadap Belanda. Selama ini di kalangan rakyat Ambon orang-orang Belanda disebut sebagai bangsa perompak yang banyak melakukan kejahatan. Kabar itu cukup mempengaruhi kedudukan orang Belanda, mengingat banyak rakyat Ambon yang percaya.
Baca juga: Misi Gagal Spanyol-Portugis Mengusir Belanda dari Nusantara
“Matelieff membawa mereka agar mereka memperoleh gambaran yang lain tentang kita, sebab seringkali mereka caci kita sebagai perompak, tak punya negeri, dan tak punya pemerintahan. Maka ia menilai ada gunanya mempersilahkan anak-anak orang kaya itu melihat hal yang sebalinya di negeri kita,” ungkap naturalis Belanda Francois Valentijn seperti dikutip Poeze.
Yang dimaksud Matelieff (de Jonge) adalah salah seorang komandan armada laut Belanda terkemuka. Pada 1607, ia membawa tiga orang pangeran muda dari Ambon yang berusia antara 10 dan 12 tahun. Salah seorang anak adalah putra penguasa daerah yang menjadi sekutu Belanda. Ia diharapkan menjadi pengganti ayahnya di masa mendatang, dan tetap menjalin hubungan baik dengan Belanda setelah mengunjungi negeri di barat Eropa tersebut.
Sedangkan dua anak lainnya berasal dari kalangan penguasa yang masih mempercayai orang-orang Portugis. Menurut Valentijn, mereka berada di tengah-tengah antara Portugis dan Belanda. Namun hati mereka masih mempercayai ucapan orang Portugis terhadap anggapan negatif orang-orang Belanda.
“Dalam beberapa tahun ini sudah berubah alasan mengapa mereka membawa orang Ambon berkunjung ke Negeri Belanda. Tujuan Matelieff bahkan bersifat murni politis,” tulis Poeze.
Misi Penyebaran Agama
Pada masa Cornelis de Houtman, sekitar tahun 1611, beberapa pemuda Ambon dibawa dengan tujuan yang berbeda. Selama di Belanda, para pemuda ini dibimbing menjadi seorang guru sekolah. Mereka diharapkan dapat menyebarkan ajaran-ajaran dari Belanda dan diterapkan di negerinya. Salah satu pelajaran yang harus diajarkan adalah agama Kristen.
Sekitar 1620, masalah agama mulai menjadi perhatian utama pemerintah Belanda. Kali ini empat orang anak –Marcus de Roy, Andrea de Castro, Laurens de Fretis, dan Laurens Queljo– dikirim ke Belanda untuk mempelajari bahasa dan agama. Salah satu tujuannya adalah “agar sesudah beberapa lama nanti lebih dekat dengan kita dan juga dengan agama kita, dan mengembangkan agama itu dengan segala kemampuan mereka,” ungkap Valentijn.
Baca juga: Ketika Bangsa Eropa Memperebutkan Maluku
Banyaknya putra para penguasa Ambon diberangkatkan ke Belanda merupakan ide Letnan Gubernur Ambon Herman van Speult. Berdasar keputusan pejabat VOC pada 1619, agama Kristen harus mulai disebarkan di Ambon dan Ternate. Tugas itu harus dijalankan oleh masyarakat setempat sehingga para pemuda cerdas di Ambon mesti diangkat menjadi pendeta. Dan menuntut ilmu agama di Belanda adalah syarat utamanya.
Keempat putra Ambon ini berangkat pada Oktober 1620 dengan menaiki kapal Walcheren. Mereka tinggal di Belanda selama 8 tahun, terhitung sejak 1621 sampai 1629. Begitu tiba di Belanda, empat tamu muda itu diterima Pangeran Maurits. Selama di sana mereka juga berkesempatan mengunjungi kota-kota penting di Belanda, tanpa sedikitpun mengeluarkan uang. Biaya hidup selama 8 tahun itu ditanggung VOC.
Untuk memudahkan pengajaran agama Kristen, mereka diharuskan tinggal di rumah Pendeta Petrus Wassenburgius di Amersfoort. Selain soal agama, pendeta itu juga memberikan pelatihan bahasa Latin. Namun tidak lama, keempat putra Ambon itu dipindahkan ke Leiden karena di sana akan dibangun seminari khusus, bernama Seminarium Indicum, yang menjadi sekolah pendidikan khusus anak-anak Hindia. Barulah pada 1630, tiga dari empat pemuda Ambon itu kembali ke tanah airnya.
“Sayang mereka tidak memperlihatkan minat terhadap agama Kristen. Mereka menginginkan sesuatu yang lain, dan karena itu diangkat sebagai kadet laut dengan gaji masing-masing 20 gulden sebulan,” tulis Poeze.
Sesudah anak-anak Ambon itu, ada beberapa orang Hindia yang juga diberangkatkan ke Belanda. Tujuannya masih tetap sama, yakni memperdalam dan menyebarkan ilmu agama. Kali ini sasarannya lebih luas, melibatkan putra para penguasa dari daerah-daerah strategis di Hindia. Pemerintah Belanda berharap nantinya merke dapat menjadi alat bagi berdirinya “Gereja Tuhan”.
Baca juga: Masuknya Kristen di Indonesia