Direktur My Lai Museum, Pham Thanh Cong, tak pernah melupakan peristiwa yang terjadi ketika dirinya berusia sebelas tahun. Peristiwa itu juga membekas pada keluarganya dan lebih dari 200 keluarga tetangganya.
Pada pagi 16 Maret 1968, dia bersama ibu dan empat saudaranya mendengar suara helikopter yang membawa pasukan Amerika Serikat (AS). Sang ibu mengajak anak-anaknya berlindung ke dalam bunker sederhana yang ditutupi jerami di dalam rumah. Namun, upaya itu sia-sia. Serdadu AS memerintahkan semua orang di dalam rumah agar keluar. Kejadian mengerikan pun terjadi setelah itu.
Sejak Yon ke-48 Vie Cong melancarkan Tet Offensive pada Januari 1968, militer AS membentuk unit khusus, Task Force Baker (TFB) di bawah pimpinan Letkol Frank Baker. TFB beroperasi di beberapa desa di Provinsi Quang Ngai, yang oleh intelijen AS ditengarai sebagai tempat mundur pasukan Yon ke-48 Vie Cong.
Pada 15 Maret 1968, Komandan Brigade ke-11, Kolonel Oran K. Henderson, memerintahkan TFB menghancurkan Yon-48 Viet Cong di sekitar Desa My Lai, basis perjuangan Vietnam sejak era pendudukan Prancis. “Selama perang melawan Prancis, Viet Minh menganggap daerah itu sebagai zona bebas dan bahkan mendirikan sebuah pabrik senjata kecil di sana,” tulis Gary W Bray dalam After My Lai: My Year Commanding First Platoon, Charlie Company.
Barker mengumpulkan tiga komandan kompi TFB dan memerintahkannya memulai operasi keesokan harinya. Operasi yang dimulai pada pukul 07.25 pagi itu akan dibuka dengan tembakan artileri. Setelah itu, Kompi Charlie di bawah pimpinan Kapten Ernest Medina, akan didaratkan menggunakan helikopter untuk mengamankan zona pendaratan di barat My Lai 4 hingga mencapai Pinkville di timur.
Ernest Medina memerintahkan komandan peleton-peletonnya agar membunuh semua lawan, menghancurkan logistik, membunuh ternak, meracuni sumur penduduk, dan membakar desa. Ernest menganggap penduduk desa sebagai Viet Cong atau paling tidak pendukung.
Menjelang subuh 16 Maret 1968, personel Kompi Charlie telah siap memulai operasi. Rasa benci mereka kepada orang Vietnam amat tinggi karena banyak rekan mereka jadi mangsa. Begitu turun dari helikopter, mereka menyebar dalam unit-unit kecil dan menyerang dengan berondongan senapan, lemparan granat, dan tembakan roket. Meski tak semua, banyak dari serangan itu dipelopori oleh Peleton 1 di bawah pimpinan Letnan William Calley. Banyak prajuritnya yang langsung main tangkap. Penduduk lalu dikumpulkan di lapangan desa.
Ketika Ernest Medina menyadari info dari intelijen ternyata meleset dan mulai menghentikan tembakan, pasukan Calley masih terus menyerang. Penduduk yang ada di lapangan diberondong tembakan. “Siapa pun yang mencoba lari langsung ditembak. Orang-orang Amerika itu melemparkan granat ke rumah-rumah jerami penduduk dan bunker-bunker di mana penduduk bersembunyi selama perang,” tulis Michael Burgan dalam The My Lai Massacre.
Pham Thanh Cong beserta ibu dan empat saudaranya diperintahkan untuk keluar bunker. Namun, setelah mereka keluar, para serdadu AS mendorong mereka kembali ke bunker. Seorang serdadu melemparkan granat ke bunker itu disusul tembakan senapan M-16. Cong dan keluarganya langsung tak sadarkan diri. Begitu siuman, Cong mendapati dirinya berada di tumpukan mayat keluarganya.
“Tentara-tentara AS itu pasti menganggap Cong sudah tewas. Sore harinya, ketika helikopter-helikopter AS pergi, ayahnya dan beberapa penduduk desa yang selamat, yang datang untuk menguburkan orang-orang yang tewas, menemukan Cong,” tulis Seymour Hersh, “The Scene of the Crime,” dalam newyorker.com.
Penduduk lain, juga penduduk di desa lain, mengalami nasib sama buruk. Tak ada pengecualian, dari bayi hingga perempuan berusia 82 tahun, menjadi korban dari pembantaian itu. Perempuan lebih menderita karena banyak dari mereka diperkosa terlebih dulu sebelum dieksekusi. Selepas pagi, pembantaian kian menjadi-jadi.
Menjelang sore, tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di empat dusun My Lai. Pembantaian berlanjut hingga 18 Maret 1968 menyasar desa-desa sekitar My Lai. Menurut catatan Museum My Lai, jumlah korban tewas sebanyak 504 orang dari 247 keluarga. Di antara jumlah itu terdapat 24 keluarga yang dibantai dari tiga generasi (kakek hingga cucu) tanpa satu pun anggota keluarga yang selamat.
Meski awalnya pembantaian itu dianggap sebagai keberhasilan gemilang dan diberitakan dengan heboh di berbagai media di AS, namun bau busuk Pembantaian My Lai akhirnya tercium juga. Keterangan justru berasal dari prajurit yang terlibat dalam operasi. Banyak dari mereka sebetulnya tak paham Konvensi Genewa. Sebagian mereka juga tak setuju dengan penyerangan warga sipil, namun tak berani menentang perintah atasan. Di antara mereka yang berani, langsung menghentikan kekerasan begitu tahu warga itu bukan Viet Cong atau simpatisannya. Pratu Paul Meadlo, yang sepanjang operasi berada di dekat Calley, mengutuk kebejatan sang komandan. Akibatnya, dia dipulangkan.
Pada April 1969, Ronald Ridenhour, veteran Brigade 11 yang menaungi Charlie, mengirim surat kepada presiden, menteri pertahanan, ketua Gabungan Kepala Staf, anggota Kongres dan Senat. Dia mendeskripsikan apa yang terjadi di My Lai dan meminta diadakan investigasi. Seorang pilot yang ikut mendrop pasukan Charlie juga memberikan kesaksian. Menurutnya, dia sempat meminta komandan Charlie menghentikan pembantaian namun malah mendapat ejekan. Upayanya untuk menolong korban justru dijawab dengan hinaan.
Pembantaian My Lai mulai menjadi perhatian media dan publik AS setelah Seymour Hersh membuat beberapa tulisan di Dispatch News Service pada November 1969. Publik marah, terlebih protes Perang Vietnam kian kuat di AS. Teolog Reinhold Niebuhr langsung mengecam. “Ini adalah saat tepat ketika kita menyadari bahwa kita bukan bangsa yang berbudi luhur,” ujarnya dikutip Kendrick Oliver dalam The My Lai Massacre in American History and Memory. Militer AS langsung menghelat pengadilan militer terhadap beberapa perwira yang terlibat. Namun, upaya penutupan amat kuat sehingga pada akhirnya hanya pengadilan terhadap William Calley saja yang berlangsung hingga selesai.
Setelah bebas, pada 2015 Calley mengemukakan permintaan maaf publiknya atas apa yang terjadi di My Lai. Para anak buahnya telah lebih dulu menyatakan penyesalan. Toh, peristiwa itu tetap membekas di benak banyak orang Vietnam yang selamat dari pembantaian. “Kami memaafkan, tapi tidak pernah melupakan,” kata Cong.
[pages]