Zaman pendudukan Jepang agaknya memberi kesempatan emas pada Soegiono Mangoenwijoto untuk berdarma bakti kepada bangsa. Oleh karenanya, alih-alih menjadi guru seperti ayahnya, pria kelahiran Ponjong, Gunung Kidul, 12 Agustus 1926 ini memilih jadi tentara, profesi yang digandrungi banyak pemuda di masanya. Ia pun masuk tentara sukarela Pembela Tanah-air (PETA) sebagai budancho (komandan regu) yang setara sersan.
Pilihan Soegiono tepat. Hanya berbilang satu-dua tahun setelahnya, Indonesia merdeka. Pengalaman Soegiono pun dibutuhkan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannya. Soegiono tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk bergabung dengan badan perjuangan.
“Sejak tanggal 31 Agustus 1945 ditunjuk sebagai Komandan seksi BKR di Yogyakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1945, dengan pangkat Letnan Dua,” catat Pusjarah ABRI dalam Biografi Pahlawan Nasional dari Lingkungan ABRI.
Soegiono turut serta dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Setelah 1950, ia meneruskan karier sebagai tentara di Jawa Tengah.
Baca juga: Peringatan Serangan Umum 1 Maret Menuju Hari Besar Nasional
Sekitar 1950, Soegiono pernah jadi komandan Kompi 4 Batalyon 411 Brigade C di Purworejo. Lima tahun kemudian, pangkatnya naik menjadi kapten. Ia kemudian ditugaskan di Batalyon Infanteri 436 di Magelang. Batalyon itu kemudian berkembang menjadi pasukan khusus dengan kemampuan kontra gerilya Jawa Tengah yang dikenal sebagai Banteng Raider I.
Dari Batalyon 436, Soegiono kemudian ditempatkan di Batalyon 441 di Semarang pada 1958. Di sana, Soegiono menjadi wakil komandan batalyonnya. Batalyon ini juga dikenal sebagai Batalyon Banteng Raider III.
Baca juga: Dari Banteng Raiders ke Baret Merah
Setelah 1961, Mayor Soegiono pindah batalyon lagi. Juga ke Batalyon Banteng Raiders. Kali ini ke Batalyon 454. Batalyon ini adalah Batalyon Banteng Raider II. Di 454, karier Soegiono menanjak sampai menjadi komandan batalyon.
“Sugijono mempunyai andil yang besar pula dalam pembentukan Yon Banteng Raiders di Srondol, Semarang, ketika menjabat sebagai wakil komandan batalyon 441,” kata buku Monumen Pancasila Çakti.
Setelah bertahun-tahun di Banteng Raiders, Soegiono merasakan juga jadi perwira teritorial. Tak ada lagi kesempatan bagi Soegiono untuk menjadi bintang pertempuran seperti perwira Banteng Raider bernama Untung alias Kusman, yang meraih penghargaan dari presiden usai memimpin regu penerjun di Irian Barat.
Baca juga: Mayor Untung di Palagan Irian Barat
Dekade 1960-an menjadi masa di mana Soegiono menjadi komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 0718 di Pati dan kemudian sebagai komandan Kodim di Yogyakarta. Seperti di Banteng Raider, semasa menjadi Dandim di Yogyakarta Soegiono bertemu lagi dengan Kolonel Katamso. Katamso menjadi komandan Komando Resort Militer (Korem) 072 Yogyakarta.
Bersama Katamso, Soegiono gugur setelah diculik “rekan-rekannya” yang mendukung G30S pada Oktober 1965. G30S merupakan gerakan sekelompok perwira menengah progresif yang dipimpin Letkol Untung, mantan Banteng Raiders, untuk mengamankan presiden dari kudeta Dewan Jenderal. Soegiono yang kehilangan nyawa akibat gerakan itu lalu diangkat dan sebagai Pahlawan Revolusi.