Sejak pertempuran di Pulau Zhenbao (Russia: Damansky) di Sungai Ussuri –yang merupakan perbatasan Uni Soviet-RRC– pecah pada 2 Maret 1969, Komandan Detasemen Perbatasan ke-57 Uni Soviet Kolonel Demokrat Vladimirovich Leonov sibuk bukan kepalang. Dia sering tak pulang. Kepada istrinya dia sampai mengatakan bahwa keinginannya hanyalah tidur sesaat.
Sempat pulang sesaat, pada 14 Maret Leonov kembali pergi ke pos-pos terdepan di perbatasan kedua negara. Kesiapan tempur semua pasukan penjaga perbatasan diinspeksinya. Tapi, dia tak lupa menelepon istrinya guna mengabarkan hari itu dia tidak pulang dan berjanji akan pulang esoknya.
Tensi di perbatasan wilayah dua raksasa komunis itu masih tinggi kendati belum ada pertempuran susulan setelah pertempuran tanggal 2 Maret. Meski kedua belah pihak mundur dari pulau yang disengketakan, masing-masing justru memperkuat pasukan perbatasannya.
Konflik perbatasan Soviet-RRC terjadi karena perpecahan aliansi keduanya pada akhir dekade 1950-an. Perbedaan doktrin sebagai hasil interpretasi terhadap Marxisme-Leninisme menjadi pangkalnya. Hubungan kedua negara makin buruk setelah pemimpin Soviet Nikita Khrushchev mengeluarkan kebijakan luar negeri “Koeksistensi Damai” yang mengupayakan perdamaian dengan Blok Barat. Kebijakan itu dikritik pemimpin RRC Mao Zedong sebagai revisionisme.
Kritik Mao memicu kritik balasan dari Khrushchev. Hubungan kedua negara pun diwarnai saling kritik. Puncaknya, RRC menolak Soviet sebagai pemimpin gerakan Komunis dunia pada musim semi 1969.
Akibatnya, di lapangan, para serdadu penjaga perbatasan kedua negara berubah menjadi rival dari yang semula sahabat. Kendati perkelahian antara kedua pasukan telah muncul sejak paruh pertama 1960-an, intensitasnya baru naik pesat sejak awal 1967. Saling hantam menggunakan tongkat, popor senapan, atau alat-alat pemukul lain jadi pemandangan umum.
“Saat itu, episode seperti itu biasa terjadi: penjaga perbatasan Soviet atau Cina akan berpatroli di salah satu dari banyak pulau yang disengketakan, dan penjaga dari negara lain akan menemui mereka di pulau itu, mengklaim bahwa mereka melanggar wilayah kedaulatan mereka, dan menuntut mereka pergi. Sampai saat ini, konfrontasi biasanya hanya melibatkan sedikit lebih dari teriakan, perkelahian, dan penggunaan pentungan,” tulis Michael S. Gerson dalam The Sino-Soviet Border Conflict: Deterrence, Escalation, and the Threat of Nuclear War in 1969.
Baca juga: Pertarungan Dua Raksasa Komunis di Perbatasan
Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Para prajurit Soviet, sebagaimana ditulis Vladimir Rybin dalam “Heroes of Ussuri” yang dimuat dalam https://warheroes.ru, biasa pulang dengan badan memar. Kendati begitu, mereka mendapat perhatian besar dari Kolonel Leonov. Mayor Kvitko, kepala dinas medis pos terdepan Soviet, ingat betul besarnya perhatian Leonov pada para prajurit yang terluka.
“Saya ingat bahwa tahun lalu orang Cina memukul kepala Prajurit Lavrov dengan pemecah es. Kami, seperti yang diharapkan, segera membawanya ke ambulans untuk membawanya ke rumahsakit. Dan Leonov berhenti. Dia berkata: ‘Naik helikopter dan langsung ke Vladivostok. Ada spesialis berpengalaman.’ Setelah semua itu, aku tahu. Lavrov mengalami patah tulang tengkorak,” kata Kvitko, dikutip Rybin.
Betapapun seringnya perkelahian terjadi di perbatasan, tak satu peluru pun ditembakkan oleh kedua belah pihak. Baik Soviet maupun RRC sama-sama melarang keras pasukannya memulai tembakan pertama. Pola konflik baru berubah setelah bentrokan terjadi antara pasukan penjaga perbatasaan Soviet dengan nelayan-nelayan Tiongkok pada awal 1968 yang menewaskan empat nelayan. Pemerintah RRC segera memerintahkan Distrik Militer Provinsi Heilongjiang melakukan pembalasan setimpal, yang lalu diejawantahkan dengan pembentukan pasukan komando untuk menyergap pasukan penjaga perbatasan Soviet.
Baca juga: Perang Antara Negeri Kiri
“Pada 19 Februari 1969, sebuah rencana yang diprakarsai otoritas militer Heilongjiang untuk menempatkan tiga batalyon infanteri di Damansky/Zhenbao guna pertahanan melawan ‘revisionisme’ telah disetujui Staf Umum PLA, dan mungkin mengingat kemungkinan dampak internasional, Kementerian Luar Negeri RRT. Pada saat itu, perasaan permusuhan di antara elit dan massa di kedua negara terhadap satu sama lain telah dihasut sedemikian rupa sehingga peluang untuk menyelesaikan masalah perbatasan sama sekali tidak ada,” tulis sejarawan Chien-peng Chung dalam Domestic Politics, International Bargaining and China’s Territorial Disputes.
Pertempuran akhirnya pecah pada 2 Maret 1969 dengan penyergapan pasukan RRC terhadap pasukan perbatasan Soviet di Pulau Zhenbao/Damansky dekat pos luar Soviet Nizhne-Mikhailovka. Penyergapan itu membuat para petinggi Soviet, termasuk komandan lapangan Kolonel Leonov dan atasannya, Komandan Distrik Militer Timur Jauh Kolonel Jenderal Oleg Losik, kaget dan bingung tak menyangka pasukan RRC bakal senekat itu.
“Dalam waktu satu jam Kolonel Jenderal Oleg Losik, komandan Distrik Militer Timur Jauh, sedang berbicara di telepon dengan Alexei Kosygin, ketua Dewan Menteri Soviet yang kebingungan. Para pemimpin politik Rusia telah sepenuhnya lengah oleh serangan China. Brezhnev berada di luar negeri, sementara Kremlin disibukkan dengan dampak lanjutan invasi Cekoslowakia tahun sebelumnya serta pertemuan puncak yang akan datang dengan Amerika Serikat,” tulis sejarawan militer Jesse Du dalam “Russia vs. China: How Conflict at the Sino-Soviet Border Nearly Started Nuclear War”, dimuat di historynet.com, Juli 2021.
Konflik makin memanas setelah pertempuran 2 Maret itu. Masing-masing pihak memperkuat pasukannya. Sambil menunggu lampu hijau dari Kremlin, Jenderal Losik memperkuat pasukan perbatasannya dengan penambahan Divisi Senapan Motor ke-135 yang di dalamnya mencakup tank T-62, truk peluncur roket BM-21 “Grad”, howitzer 122mm, dan sedikit helikopter Mi-4. Sementara, Komandan Distrik Militer Shenyang RRC Chen Xilian menambah kekuatannya dengan mengerahkan resimen infanteri dan artileri dari Divisi ke-67 berikut penambahan RPG (granat berpeluncur roket) dan recoilless 75mm.
Baca juga: Deklarasi Perang Soviet Terhadap Jepang
Losik akhirnya mendapat perintah dari Moscow untuk mempertahankan perbatasan nasional sambil mencegah konflik militer skala besar. Perintah yang membingungkan itu diterjemahkan Losik sebagai tidak akan ada bala bantuan tentara Soviet. Dia terpaksa harus bertahan dengan pasukan perbatasan yang ada berikut persenjataannya.
Pada 14 Maret, Leonov yang amat dicintai anak buahnya menginspeksi kesiapan pasukan Soviet di pos-pos perbatasan. Dia tak pulang ke rumah karena sebelum fajar keesokan harinya, pasukan itu mesti dikerahkan ke Pulau Zhenbao/Damansky. “Leonov menuntut dari setiap penjaga perbatasan pengetahuan sangat baik tentang daerah tersebut, kemampuan untuk bertindak dengan berani dan mandiri, kesiapan tempur yang konstan, kecepatan, kerahasiaan, tindakan dadakan, kesiapan untuk melawan musuh yang kalah jumlah. Dan, seolah mengantisipasi peristiwa, dia fokus pada organisasi komunikasi, interaksi yang jelas dari detasemen, pos terdepan, dan semua unit dari tiap unit yang ada,” tulis Rybin.
Pada saat hampir bersamaan di tepi lain Sungai Ussuri, pasukan RRC juga dikerahkan ke pulau yang disengketakan itu. Alhasil sebelum tengah hari 15 Maret, pertempuran pecah. Artileri dan tembakan senapan mesin RRC terus menghujani posisi Soviet.
Dilindungi kendaraan angkut personel lapis baja BTR-60, pasukan Soviet maju menuju posisi lawan. Namun, gerak-maju mereka dihadang tembakan-tembakan RPG dan recoilles 75mm pasukan RRC.
“Beberapa menit kemudian, ketika ledakan mengelilingi sekitar kendaraan angkut personel lapis baja kami di Pulau Damansky, dia (Leonov, red.), tidak tahan, bergegas ke panasnya pertempuran,” tulis Rybin.
Begitu bantuan empat tank T-62 tiba pada tengah hari, Kolonel Leonov langsung menaiki sebuah tank. Dia memimpin langsung serangan. Tank-tank lain diperintahkannya untuk tidak ke pulau tapi mengitari pulau di atas sungai yang membeku untuk mengapit posisi lawan.
Sebuah panggilan radio dari Letkol Yanshin yang meminta bantuan tembakan artileri perlindungan mengusik Leonov. Dia segera mengontak Komandan Divisi ke-135 Mayjen V.K. Nesov agar memberi perlindungan terhadap pasukan Yanshin, namun tidak mendapat jawaban. Lantaran tak ada lampu hijau sementara para personel di lapangan berjuang antara hidup dan mati, Leonov berinisiatif mengambil tanggung jawab.
“’Bongkar amunisi artileri!’ dia memerintahkan komandan tank,” tulis Rybin mengutip perkataan Leonov.
Tank Leonov berhasil memberi perlindungan kepada pasukan infanteri sambil terus bermanuver. Di bawah hujan tembakan RRC yang tak satupun berhasil mengenainya, tank tersebut terus maju dan memuntahkan peluru senapan mesinnya ke pasukan RRC di tepi sungai wilayah RRC.
Namun, laju tank Leonov akhirnya terhenti ketika seorang personel militer RRC tiba-tiba keluar dari belukar dan menembakkan RPG-nya ke tangki bahan bakar cadangan tank –sumber lain menyebut tank Leonov terkena ranjau. Dengan susah payah Leonov keluar dari tanknya. Namun belum banyak langkah kaki diayunkan sang kolonel dari tanknya, peluru seorang penembak jitu RRC menghujam dadanya. Leonov roboh dan menjadi korban tewas dengan pangkat tertinggi dalam pertempuran.
Pertempuran memburuk sore harinya. Pasukan Soviet yang didukung heli Mi-4 terus merangsek karena unggul persenjataan. Pasukan RRC gigih bertahan. Wang Guoxiang, salah satu komandan peleton RRC, mendapati salah seorang personelnya yang bertelanjang dada di bawah suhu minus 30 derat sampai tuli akibat berulangkali menembakkan RPG ke kendaraan angkut lapis baja Soviet. Wang sendiri kemudian juga tuli sementara.
Sementara, di markasnya Kolonel Jenderal Losik terus diliputi kecemasan. Lampu hijau untuk membentuk unit-unit tempur dari satuan reguler yang diperlukannya tak kunjung tiba dari Moskow. Padahal, dia amat membutuhkan izin tersebut. Situasi yang terus memburuk akhirnya mendorong Losik berinisiatif membentuk unit tempur yang diperlukannya dan memberi izin penggunaan roket BM-21 “Grad” serta howitzers 122mm.
“Pukul 17.00, saat cahaya memudar, artileri Soviet dan, khususnya, penggunaan tempur pertama artileri roket ‘Grad’ (‘Hail’), memberikan pukulan yang memekakkan telinga dan menghancurkan ke sisi sungai Tiongkok yang mengakhiri pertempuran 15 Maret,” tulis Dmitri S. Ryabushkin dalam makalah berjudul “New Documents on the Sino-Soviet Ussuri Border Clashes of 1969”.
Salvo roket BM-21 “Grad” dan howitzer selama 10 menit Soviet itu kemudian diikuti serangan dua kompi tank dan infanteri Soviet ke pulau.
“[Setelah salvo] kami mengubah posisi kami sekali lagi. Sekarang tepi Cina sudah sepenuhnya terlihat. Dari sisi itu terdengar suara seorang wanita berteriak melalui pengeras suara. ‘Enyah!’, ‘Grup Nesov, pergi!’ dan ‘Vaschenko, Vachenko, jangan tembakkan salvo!’ sambung Ryabushkin mengutip kesaksian seorang prajurit Soviet.
Korban jatuh dalam jumlah besar di pihak RRC. Kendati mati-matian bertahan, sekira pukul enam petang pasukan RRC ditarik mundur dari pulau. Sementara, pasukan Soviet ditarik mundur ketika langit sudah gelap. Penarikan mundur itu mengakhiri konflik perbatasan kedua negara lantaran keesokannya pertempuran tak terjadi lagi. Masing-masing pihak tak ingin memicu konflik global sehingga mengalihkan pertempuran ke meja perundingan.
“Setelah lebih dari sembilan jam pertempuran yang memekakkan telinga, keheningan yang menakutkan menyelimuti pulau kecil yang kini dipenuhi lubang bekas tembakan, puing-puing, dan mayat,” tulis Jesse Du.